- Lebih dari 3400 warga dan aktivis lingkungan menandatangani petisi yang meminta Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) membatalkan uji materi atas Pergub Bali dan Perwali Denpasar tentang pelarangan Plastik Sekali Pakai ke MK
- Koalisi Alianzi Zero Waste Indonesia juga menyatakan dukungan petisi penolakan uji materiil itu dan membedah alasan ADUPI
- Ada perbedaan perspektif soal regulasi pembatasan plastik sekali pakai
- Sejauhmana regulasi bisa dieksekusi?
Selama seminggu, lebih dari 3400 akun yang menandatangani petisi berjudul Asosiasi Daur Ulang Plastik (ADUPI): STOP Menggugat Pelarangan Plastik Sekali Pakai di Bali! Dibuat 24 April 2019 oleh sejumlah lembaga dan pribadi yang mengatasnamakan Komunitas Peduli Sampah Bali.
Petisi itu untuk menanggapi pengajuan permohonan uji materiil oleh ADUPI terkait Pergub Bali dan Peraturan Walikota Denpasar tentang pembatasan timbulan sampah plastik yang dilaksanakan pada awal 2019.
baca : Asosiasi Daur Ulang Ajukan Uji Materiil Pergub Larangan Plastik Sekali Pakai
Dalam website-nya, Aliansi Zero Waste juga menguatkan dukungan pada pemerintah yang sudah membuat regulasi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil oleh ADUPI itu. Pernyataan publik itu diunggah pada 29 April.
Petisi ini menyebut gugatan ADUPI sangat lemah dan tidak beralasan. “Tingkat aktivitas daur ulang plastik di Indonesia hanya mencapai 9%, sehingga bagaimana mungkin ADUPI bisa mengklaim kekurangan bahan ketika ada 91% sampah plastik yang masih berada di luar sana?” sebut petisi ini.
Juga dipertanyakan, apakah memang ketiga jenis plastik tersebut selama ini bisa dan telah 100% didaur ulang dan menjadi sumber penghasilan utama ADUPI? “Kenyataannya tidak, karena sampah kantong plastik, sedotan plastik dan styrofoam bernilai dan berkualitas terlalu rendah sehingga jarang sekali diambil oleh bank sampah dan pendaur ulang, makanya ketiga plastik tersebut adalah sampah yang paling sering muncul di sungai dan pesisir laut Bali yang indah! Klaim kerugian ADUPI sungguh tidak berdasar dan tidak konstruktif,” papar pembuat petisi ini.
baca juga : Bali Larang Plastik Sekali Pakai Mulai 2019
Dalam petisi, sejumlah nama lembaga dan individu yang tercantum adalah Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Vaughan Hatch, Yayasan BaliFokus/Nexus3, Yayasan Gelombang Udara Segar, Yayasan Idep Selaras Alam, Yayasan Reef Check Indonesia, Yayasan Wisnu, Coral Reef Alliance (CORAL), Evie Hatch, Griya Luhu, Idepmedia, Jane Fischer, dan PlastikDetox Bali.
Petisi ini menambahkan, jika klaim kerugian produsen plastik telah mengabaikan kerugian yang diderita warga Bali. Berdasarkan publikasi dari The Economist, kerugian perikanan, pariwisata dan keanekaragaman hayati dari sampah plastik secara global mencapai $13 miliar per tahun.
Berbagai resiko akibat plastik mulai dari tahap pra-produksi, produksi, penggunaan sampai pasca penggunaan telah dibahas dalam sebuah laporan berjudul “Plastic and Health: The Hidden Cost of A Plastic Planet” yang diterbitkan Center for International Environmental Law (CIEL) pada Februari 2019 yang lalu.
Bahkan di seluruh dunia, tidak ada satu negara pun yang berhasil mendaur ulang plastik sampai 100%, bahkan negara maju sekalipun. Secanggih-canggihnya sistem daur ulang plastik, tetap saja ada keterbatasannya sehingga pencegahan dan pembatasan tetap penting dilakukan. “Ayo sama-sama dukung petisi ini supaya bisa terus dijalankan untuk melindungi kesehatan, ekologi dan modal hidup warga Bali serta menjaga keindahan Pulau Bali, kebanggaan bangsa Indonesia,” tutup petisi ini.
Catur Yudha Hariani dari PPLH Bali mengatakan petisi ini dibuat secara kolaboratif oleh sejumlah pegiat lingkungan untuk mendorong penegakan hukum dan perbaikan pengelolaan sampah di Bali. Pengurangan plastik sekali pakai adalah salah satu cara.
Jaya Ratha dari CORAL menyebut negara-negara di Afrika sudah mulai memasukan pelarangan plastik dalam regulasinya. Bahkan Kenya memberlakukan penalti sampai 4 tahun buat yang melanggar. Jika ada penolakan dari perusahaan pemasok plastik dengan alasan ekonomi, lapangan pekerjaan, dan lainnya, di sisi lain ekonomi baru juga bertumbuh. Misalnya alternatif pengganti plastik, petani pisang dapat lebih banyak kesempatan karena daun pisang mulai dipakai lagi, daur ulang kertas makin marak sebagai pengganti plastik, dan lainnya. “Masa Indonesia kalah sama negara-negara seperti Kenya, Rwanda, Maroko,” gugahnya.
menarik dibaca : Operasi Kantong Plastik di Pasar. Memangnya Efektif?
Tahun 2019 ini, pemerintahan di Bali memutuskan melarang kantong plastik, sedotan plastik dan styrofoam melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP) dan Peraturan Walikota (Perwali) Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik.
Pada 14 Maret 2019 Mahkamah Agung (MA) mengirim surat pemberitahuan dan penyerahan surat permohonan hak uji materiil dari ADUPI pada Gubernur Bali. Kuasa hukum ADUPI, Henri Prihantono membantah ini bukan gugatan tapi uji materiil. “Terdapat perbedaan acara pemeriksaannya. Gugatan adalah istilah hukum perdata dengan berita acara hukum perdata, sedang Uji Materi proses Judicial Review dengan proses hukum perundang-undangan,” elaknya dikonfirmasi soal petisi ini pada Senin (29/4).
Henri kembali menyebutkan alasan-alasan uji materi seperti sudah dipublikasikan Mongabay-Indonesia, yaitu Pergub Bali dan Perwali Denpasar itu dinilai sebagai peraturan yang berlebihan, dianggap berisi ketentuan hukum baru dan melanggar hak untuk bekerja/berusaha.
Pernyataan lain adalah, ADUPI disebut masyarakat pengelola sampah plastik yang memiliki landasan hukum sah. “ADUPI tidak sepaham dengan kebijakan pelarangan yang disusun secara arogan dan terkandung kesalahan penyusunan untuk kepentingan law disorder karena pelarangan bukan satu-satunya penyelesaian masalah plastik,” tambah Henri.
ADUPI menurutnya sangat setuju pada program waste management atau pengelolaan sampah plastik namun terdapat kesalahan pola dan metode penyusunan ketentuan hukum atas pelarangan PSP pada Pergub Bali karena berdasar amanat UU adalah pengurangan dan pembatasan.
Dalam surat permohonan keberatan atau pengujian materiil ke MA disebutkan materi gugatan adalah Pasal 7 dan 9 (ayat 1). Pasal 7 bunyinya, setiap produsen dilarang memproduksi PSP, setiap distributor dilarang mendistribusikan PSP, setiap pemasok dilarang memasok PSP, dan setiap pelaku usaha dan penyedia PSP dilarang menyediakan PSP. Sementara Pasal 9 ayat 1 menyebutkan setiap orang dan pelaku usaha dilarang menggunakan PSP.
perlu dibaca : Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?
Penegakan Regulasi
Dikutip dari website-nya, AZWI menyatakan ada dua daerah yakni Peraturan Gubernur Bali dan Peraturan Walikota Bogor tentang pelarangan plastik sekali pakai sedang dimohonkan ke Mahkamah Agung untuk uji materiil (judicial review). Oleh industri plastik dan industri daur ulang plastik, dengan alasan pelarangan tersebut tidak sesuai dengan UU Pengelolaan Sampah.
Alasan tersebut disebut dibantah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Prinsipnya begini, dalam Undang Undang No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, ‘pengelolaan sampah’ diklasifikasikan ke dalam ‘pengurangan sampah’ dan ‘penanganan sampah’. Pengurangan sampah terdiri dari pembatasan sampah, guna ulang sampah, dan daur ulang sampah. Beberapa daerah tersebut seperti Provinsi Bali, Kota Banjarmasin, Kota Balikpapan, dan lainnya menerapkan kebijakan pembatasan sampah kantong plastik sekali pakai dengan tidak menyediakan kantong plastik sekali pakai di gerai ritel modern, bahkan kota Banjarmasin sudah masuk ke pasar-pasar tradisional. Secara filosofis, sebenarnya dalam UU Pengelolaan Sampah, hierarki yang paling tinggi dalam pengelolaan sampah adalah mencegah atau membatasi timbulnya sampah,” ujar Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK.
Dalam pernyataan publik ini disebutkan, koalisi beberapa lembaga swadaya masyarakat dan ahli hukum lingkungan hidup serta ahli hak asasi manusia, turut mendukung sikap KLHK, di antaranya adalah Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PPLHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Amnesty International, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, dan berbagai individu pakar hukum lingkungan hidup lainnya.
Koalisi ini telah mengajukan dokumen sahabat pengadilan (Amicus Curiae) ke Mahkamah Agung, berisi penalaran akademis dari perspektif hukum mengenai kesesuaian pelarangan plastik sekali pakai dengan UU Pengelolaan Sampah, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU tentang Hak Asasi Manusia. Detail penjelasannya tertera dalam website AZWI di atas.
baca juga : Bogor Tanpa Tas Plastik, Bisakah ?