- Pencemaran suara di laut ternyata memberikan dampak buruk bagi mamalia laut serta makhluk hidup, karena mamalia laut menggunakan suara sebagai sarana untuk berkomunikasi, mengenali lingkungannya, serta membangun kewaspadaan.
- Sumber suara di laut yang mempengaruhi kehidupan makhluk hidup laut yaitu sumber alami, lalu lintas kapal dan eksplorasi–eksploitasi gas dan minyak, penelitian oseanografi dan perikanan, serta kegiatan militer.
- Kebisingan di laut telah menimbulkan efek jangka pendek dalam cara memangsa makanan, bersosialisasi, dan vokalisasi. Polusi suara pun menyebabkan perubahan perilaku dalam cara menyelam serta berpindahnya mamalia laut dari habitatnya.
- Kebisingan laut dapat menghalangi suara biologis yang penting mencari mangsa, navigasi, komunikasi antara ibu dan anak, menarik perhatian, atau melemahkan mangsa.
Seiring berkembangnya teknologi, makin banyak pula manfaat yang dapat diambil dari laut. Pada saat bersamaan, teknologi pun berdampak negatif. Pencemaran laut misalnya. Bahasan mengenai pencemaran laut bukan lagi hal langka, termasuk pencemaran suara. Sementara pencemaran suara di darat mempengaruhi manusia serta lingkungan darat, pencemaran suara di laut pun membawa dampak yang amat berarti bagi kehidupan laut.
Beberapa tahun belakangan, pencemaran suara di laut alias kebisingan laut merupakan salah satu masalah yang banyak mendapat sorotan. Studi mengenai dampak pencemaran suara di laut atau bising laut ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang cukup menarik, antara lain mengenai dampaknya terhadap mamalia laut.
Tidak banyak orang tahu bahwa pencemaran suara di laut ternyata memberikan dampak yang berarti terhadap mamalia laut serta makhluk hidup lainnya yang bermukim di samudera. Pasalnya, mamalia laut menggunakan suara sebagai sarana untuk berkomunikasi, mengenali lingkungannya, serta membangun kewaspadaan.
Ada beberapa kejadian menarik mengenai pengaruh kebisingan laut ini terhadap mamalia laut atau cetacean. Misalnya beberapa kasus terdamparnya paus di Indonesia, seperti terdamparnya paus sperma di Kabupaten Aceh Timur pada 17 Juni 2018, seekor paus pilot sirip pendek atau short finned pilot whale (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Pantai Tandaiyo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada 25 Mei 2018.
Sedangkan BPSPL Denpasar mencatat pada 2015-2018, ada 107 ekor hewan laut dilindungi terdampar. Terbanyak pada 2015 yakni 51 ekor. Terdiri dari 78 paus, 13 hiu pasus, 12 ekor lumba-lumba, dan 4 dugong. Polusi udara, penggunaan sonar bawah laut untuk navigasi, perburuan, dan luka-luka adalah penyebab terbanyak terdamparnya di wilayah monitoring BPSL Denpasar.
Bising laut ternyata menjadi salah satu bentuk pencemaran yang ada di laut yakni pencemaran suara atau kebisingan di laut.
baca : Paus Sperma Ini Mati di Perairan Aceh Timur
Suara di Laut
Suara merupakan tekanan bolak-balik dan kumpulan molekul dalam medium elastik, yang terdeteksi oleh penerima sebagai perubahan tekanan. Struktur dalam telinga dan kebanyakan alat penerima buatan manusia sensitif terhadap perubahan tekanan suara ini.
Sensitivitas yang dimiliki makhluk hidup menyebabkan munculnya batas toleransi terhadap frekuensi suara tertentu yang dianggap tidak mengganggu. Jika frekuensi suara yang muncul berada di luar ambang toleransi, gangguan-gangguan akan muncul.
Di darat, revolusi industri telah menyebabkan munculnya kebisingan pada taraf yang sangat mengganggu. Demikian pula laut. Meski mungkin manusia tak terlalu merasakannya, kebisingan di laut terlihat pada perubahan perilaku mamalia laut.
Sebagai media, laut memiliki sejumlah suara yang bersumber dari fenomena alam seperti hujan, gelombang, gempa bumi, dan sebagainya. Seiring pesatnya laju industrialisasi, laut dikepung kapal-kapal dan anjungan minyak lepas pantai. Penggunaan sonar untuk keperluan navigasi dan riset juga meningkat sehingga suara dalam lingkungan laut bertambah riuh.
Sebelum tahun 1950, level pencemaran suara di laut diperkirakan belum terlalu tinggi. Paus dapat lancar berkomunikasi dengan menggunakan sonar. Demikian pula anjing laut yang mengandalkan sonar untuk berburu makanan, mencari pasangan, dan berkomunikasi.
Namun penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun 1950-1975 terjadi kenaikan suara hingga mencapai level 10 desibel. Padahal, 150 tahun aktivitas manusia di laut pada masa-masa sebelumnya hanya sedikit berpengaruh terhadap polusi suara di laut.
Sepuluh desibel merupakan level yang signifikan. Dalam hitungan logaritmik, angka tersebut naik sepuluh kali lipatnya. Suara juga merambat lebih cepat dan lebih jauh dalam air dibanding udara. Intensitas tinggi suara di lautan juga tidak berkurang dalam ratusan mil.
baca juga : Kebisingan Laut Berpengaruh Buruk bagi Paus dan Lumba-lumba
Sumber Suara di Laut
Sumber suara di laut yaitu sumber alami, lalu lintas kapal dan eksplorasi–eksploitasi gas dan minyak, penelitian oseanografi dan perikanan, serta kegiatan militer.
Sumber Alami. Suara di laut yang timbul akibat proses alami terbagi dalam dua jenis yaitu proses fisika serta proses biologi. Proses fisika ini antara lain aktivitas tektonik, gunung api, gempa bumi, angin, dan gelombang. Sedangkan contoh proses biologis misalnya muncul dari hewan-hewan laut seperti mamalia laut dan ikan.
Lalu Lintas Kapal. Kapal-kapal yang beroperasi di laut menimbulkan kebisingan yang berpengaruh pada ekosistem laut. Kapal-kapal ini umumnya menghasilkan suara sebatas 1000 Hz.
Kapal-kapal tanker raksasa yang beroperasi mengangkut minyak biasanya mengeluarkan suara dengan level 190 desibel atau sekitar 500 Hz. Untuk ukuran kapal yang lebih kecil biasanya hanya menimbulkan gelombang suara sekitar 160-170 desibel.
Kapal-kapal ini menimbulkan sejenis tembok virtual yang disebut “white noise” yang menghasilkan kebisingan konstan. Di area yang lebih kecil, white noise dapat menghalangi komunikasi antar mamalia laut. Selain tanker, kapal-kapal besar sejenis cargo yang membawa peti kemas menghasilkan kebisingan yang memicu pencemaran suara di laut.
Eksplorasi–Eksploitasi Gas dan Minyak. Kegiatan eksplorasi serta eksploitasi gas dan minyak banyak menggunakan survei seismik, pembangunan anjungan minyak/rig, pengeboran minyak, dan seterusnya. Sebagian besar survei seismik menggunakan airguns sebagai sumber suara. Alat ini berisi udara yang memproduksi sinyal akustik yang dengan cepat mengeluarkan udara terkompresi dalam kolom air. Metoda ini menimbulkan suara dengan intensitas hingga 255 desibel.
Intensitas sebesar ini sangat mengganggu kehidupan hewan-hewan laut. Tekanan air juga dapat menyebabkan kerusakan pendengaran. Seperti layaknya dinamit, penggunaan airguns berpengaruh langsung terhadap pendengaran manusia. Sinyal akustik yang ditimbulkan dapat menimbulkan konflik antar mamalia laut seperti misalnya paus jenis mysticete, sperm, dan beaked yang menggunakan frekuensi suara rendah.
Demikian pula aktivitas pembangunan rig dan pengeboran minyak setiap hari yang menghasilkan suara serta menimbulkan kebisingan yang berisiko bagi mamalia laut.
baca juga : Banyak Satwa Laut Terdampar, Apakah Terpengaruh Gempa?
Penelitian Oseanografi dan Perikanan. Survei menggunakan Acoustic Thomography of Ocean Climate (ATOC) menggunakan kanal suara untuk memperlihatkan rata-rata temperatur laut. Sistem ini digunakan untuk meneliti faktor-faktor pemicu naik-turunnya temperatur laut. Aneka hewan laut (terutama paus jenis tertentu) bergerak menjauh, namun selang beberapa saat kembali untuk mencari makanan.
Derum speaker yang dipasang tepat pada titik sumber berkekuatan 220 desibel dan terdeteksi hingga 11.000 mil (=17.703 km) jauhnya. Penggunaan bahan peledak atau pukat harimau tak hanya menimbulkan polusi suara namun juga merusak secara langsung ekosistem laut.
Kegiatan Militer. Sejumlah aktivitas militer menghasilkan sumber suara yang menimbulkan kebisingan di laut. Salah satu contohnya yaitu aktivitas kapal naval milik U.S. Army yang menggunakan sonar aktif ketika berlatih maupun saat menjalankan aktivitas rutin.
Angkatan Laut Amerika (U.S Navy) pernah mengembangkan suatu sistem yang dinamakan Low Frequency Active Sonnars (LFA) yang sangat berdampak negatif terhadap kehidupan dan perilaku mamalia laut. Sistem ini mengganggu jalur migrasi ikan paus. Komunikasi ikan paus biru dan ikan paus sirip bahkan terhenti sama sekali.
Penelitian lebih lanjut bahkan menunjukkan bahwa pengunaan LFA mempengaruhi kesehatan manusia. Sejumlah penyelam Navy yang terpapar transmisi sekitar 160 desibel dari sistem tersebut terbukti mengalami masalah kesehatan seperti vertigo serta terganggunya gerakan tubuh di area perut dan dada.
Bukti-bukti lain akibat pengaruh sonar disebutkan oleh Vonk and Martin (1989), Simmonds and Lopez-Jurado (1991), Frantzis (1998), serta Frantzis and Cebrian (1999). Mereka meneliti bahwa bunyi keras yang ditimbulkan oleh aktivitas militer menjadi penyebab terdamparnya paus jenis beaked di Pulau Canary dan Laut Ionia. Selain itu, paus jenis sperm mengalami perubahan perilaku dalam vokalisasi ketika merespons sonar ini.
Pada Maret 2000, 17 mamalia laut (termasuk dua spesies paus jenis beaked dan minke) pun terdampar di Bahama akibat latihan militer Amerika Serikat yang menggunakan sonar.
Mamalia Laut dan Suara
Ada tiga golongan mamalia yang berkembang di bumi dan beradaptasi di laut. Golongan tersebut termasuk paus, lumba-lumba, anjing laut, singa laut, walruse, dugongs, dan sapi laut. Golongan cetacean terdiri dari 76 spesies mamalia laut yang diketahui sebagai paus dan lumba-lumba. Nenek moyang kelompok ini diduga memasuki laut 55 juta tahun lalu.
Jenis mamalia laut terentang dari mereka yang berukuran kecil hingga raksasa, yakni paus biru (blue whale), finback, paus sikat (right), sei, humpback, paus gray yang termasuk sub-orde baleen ahale (mysticete), sperm, paus pembunuh, paus pilot, paus putih, juga lumba-lumba hidung botol yang termasuk sub-orde toothed whales (odonticeti).
Beberapa paus besar jenis baleen seperti grys dan humpback bermigrasi musiman, berkembang biak pada musim dingin di daerah tropis, dan kembali ke kutub pada musim panas. Golongan kedua mamalia laut termasuk anjing laut, singa laut, dan walrus. Berbeda dengan paus, mamalia laut ini menghabiskan sebagian besar waktunya di daratan es.
Pemahaman mengenai pendengaran mamalia laut dan mekanisme aural penting diketahui untuk mengenal potensi dampak suara terhadap kehidupan mereka.
Mamalia laut tinggal di lingkungan dimana tidak terdapat cahaya yaitu kedalaman yang jauh dari permukaan. Pada kedalaman lebih dari 200 meter, cahaya tak lagi menembus laut. Keadaan ini membuat mamalia laut lebih mengandalkan suara dibandingkan cahaya untuk berkomunikasi serta mewaspadai lingkungan sekitarnya.
Selain itu, banyak mamalia laut yang tinggal di lingkungan yang membatasi penglihatannya, seperti daerah turbiditas. Mamalia laut yang tinggal di kawasan tersebut pun mengandalkan kemampuannya dalam menangkap suara, misalnya lumba-lumba sungai yang penglihatannya terbatas hanya pada membedakan yang gelap dan terang.
menarik dibaca : Begini Pengaruh Nyepi terhadap Laut dan Penghuninya
Echolocation. Echolocation adalah kemampuan binatang memproduksi frekuensi yang sedang atau tinggi serta mendeteksi echo suara untuk menentukan jarak suatu objek serta mengenali keadaan fisik di sekitarnya. Echolocation memberikan informasi yang detail dan akurat tentang keadaan sekeliling. Echolocation memproduksi frekuensi tinggi.
Contohnya adalah lumba-lumba laut yang menghasilkan frekuensi 50 Hz hingga 30 kHz. Frekuensi yang digunakan mamalia laut ini memberikan resolusi yang tinggi. Bagaimana pun, frekuensi tinggi memiliki banyak keterbatasan di dalam air. Echolocation tak hanya penting untuk mendeteksi dan menangkap mangsa namun juga melihat lingkungan sekitar.
Navigasi. Mamalia laut mysticete memproduksi frekuensi rendah. Pada frekuensi ini, penjalaran suara di lingkungan laut lebih cepat. Mamalia laut seperti paus menghasilkan suara berfrekuensi rendah untuk bermigrasi. Dengan frekuensi suara yang rendah, kebisingan tentu menjadi gangguan yang sangat serius, terutama untuk pertahanan mamalia laut.
Komunikasi. Dalam berkomunikasi, mamalia laut menggunakan suara dengan sinyal akustik tertentu. Sinyal tersebut bervariasi, tergantung kebutuhan serta keadaan lingkungan. Fungsi komunikasi mamalia laut sangat beragam seperti seleksi intraseksual dan interseksual, memandu anak dan kelompok, mengenalkan individu, juga menghindari bahaya.
Menarik Perhatian Mangsa. Mamalia laut juga menggunakan suara untuk melemahkan atau menarik perhatian mangsa. Riset memperlihatkan bahwa mamalia laut memproduksi suara intens ketika mencari makanan. Informasi mengenai penggunaan suara dalam hal ini sangat terbatas, namun dapat dipahami bahwa fungsi suara untuk proses biologis cukup vital bagi mamalia laut.
Vokalisasi Mamalia Laut. Terdapat berbagai macam tipe mamalia laut yang masing-masingnya menghasilkan skala frekuensi yang berbeda –mulai dari yang berfrekuensi tinggi (130-150 kHz) hingga frekuensi rendah seperti paus biru (10-15 Hz).
Pengaruh Kebisingan Laut
Keterbatasan ilmu pengetahuan dalam memperkirakan risiko polusi suara terhadap mamalia laut didasarkan oleh berbagai asumsi. Mamalia laut yang memiliki pendengaran pada skala tertentu akan sangat dipengaruhi oleh suara. Mamalia laut yang tidak berkelompok seperti misalnya pasangan ibu-anak lebih berisiko diserang. Paus jenis beaked dan sperm yang dalam perjalanan menuju zona konsentrasi kebisingan juga mudah diserang.
Ketika respons perilaku tidak ditemukan, dapat diasumsikan bahwa tidak ada konsekuensi biologis akibat suara keras. Namun penelitian ini juga perlu memperhatikan perubahan perilaku mamalia laut untuk menginformasikan pengaruh akibat kebisingan laut.
Penelitian menunjukkan bahwa kebisingan di laut telah menimbulkan efek jangka pendek dalam cara memangsa makanan, bersosialisasi, dan vokalisasi. Polusi suara pun menyebabkan perubahan perilaku dalam cara menyelam serta berpindahnya mamalia laut dari habitatnya. Jika hanya berdampak jangka pendek, tak akan berpengaruh signifikan.
Jika gangguan terus berulang, dalam jangka panjang akan menimbulkan stress, melemahkan, dan pada akhirnya mempengaruhi kelahiran. Hewan mengubah perilaku alaminya demi menjauhkan diri dari sumber kebisingan. Bagi mamalia laut yang tidak berkelompok, sumber suara bising merupakan ancaman yang sangat membahayakan. Aktivitas lalu lintas kapal sangat berpotensi mencerai beraikan populasi mereka.
Selain perubahan perilaku dan menjauhnya mamalia laut dari habitatnya, hasil observasi menunjukkan bahwa polusi suara juga mempengaruhi sejumlah ikan dan invertabrata. Spesies lainnya di laut juga menunjukkan reaksi terhadap suara yang masuk ke laut (airguns) dalam level yang sama seperti sejumlah mamalia laut, misalnya beberapa jenis kura-kura.
Gangguan bunyi dapat menghasilkan frekuensi atau intensitas yang berkonflik, bahkan menghalangi suara biologis yang penting. Mamalia laut jadi tak dapat mendeteksinya. Padahal, suara-suara biologis ini penting seperti untuk mencari mangsa, navigasi, komunikasi antara ibu dan anak, menarik perhatian, atau melemahkan mangsa.
Klasifikasi dampak polusi suara terhadap mamalia laut. Dampak yang tidak berhubungan langsung seperti merusak jaringan tubuh dan kejang urat akibat tekanan udara tiba-tiba.
Dampak yang berhubungan langsung seperti merusak telinga dan gangguan pendengaran sementara atau permanen. Sedangkan dampak kepada perilaku seperti perubahan perilaku, modifikasi perilaku dan bermigrasi (jangka pendek maupun panjang)
Dampak yang menimbulkan stres seperti menurunkan tingkat kelangsungan hidup, mudah terserang penyakit, berpotensi dipengaruhi efek kumulatif yang negatif (misalnya kombinasi polusi kimia dengan stress suara) dan peka terhadap suara
Perlu Penelitian
Mamalia laut merupakan bagian dari ekosistem laut yang perlu dilindungi. Polusi suara di laut ternyata berdampak cukup besar bagi kehidupan para mamalia laut, bahkan bagi makhluk laut lainnya. Sayangnya, sebagian besar riset mengenai pencemaran suara di laut masih bersumber dari luar negeri. Masih sangat jarang peneliti Indonesia dalam bidang ini.
Padahal, sebagian besar sumber kebisingan laut ada di Indonesia seperti eksplorasi serta eksplotasi gas dan minyak lepas pantai serta padatnya lalu lintas kapal. Masalah kebisingan laut yang telah menjadi sorotan para ilmuwan luar negeri seharusnya menjadi peringatan yang serius bagi Indonesia.
Sebagai langkah awal, para peneliti tanah air perlu mengidentifikasi kawasan yang rawan terhadap pencemaran suara, yang selama ini menjadi habitat mamalia laut. Langkah selanjutnya adalah mengusahakan agar kegiatan-kegiatan yang memicu pencemaran suara di wilayah tersebut dapat dikurangi semaksimal mungkin.
***
*Agus Supangat. Peneliti oseanografi di pusat perubahan iklim – ITB. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.