Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau beberapa waktu belakangan ini, semakin menegaskan betapa abainya pemerintah pada penyelamatan ruang hidup rakyat. Deforestasi boleh diklaim menurun, tetapi problem hilangnya tutupan hutan masih bergulir. Kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu bukti konkret, jika upaya pemerintah tersebut tidak serius.
Ambilah contoh pelajaran kebakaran hutan di wilayah Kalimantan Tengah beberapa tahun silam. Kekalahan pemerintah, dalam hal ini Presiden, pada keputusan sidang citizen law suit, dan masih terulangnya karthutla tahun ini, menjadi bukti bahwa para pemegang kebijakan tidak mawas diri dan tampak abai dalam urusan lingkungan hidup ini.
Adapun, karhutla yang paling menjadi sorotan akhir-akhir ini berada di provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, meski demikian data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkata lain. Doni Monardo selaku pimpinan BNPB tanggal 15 September 2018 menyebut, jika terhitung sejak 14 September 2019 karhutla hampir tersebar di sepertiga wilayah Indonesia. Ada tujuh provinsi yang tersandera api, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua, dengan sebaran titik panas sebesar 4.012.
Jika berkaca secara historis, maka periode bulan Januari sampai Agustus 2019, terpampang jelas luasan lahan yang terbakar sebesar 328.724 hektar, 27% di antaranya merupakan lahan gambut, dan yang lainnya berwujud lahan mineral.
Di Riau sendiri sejak Januari 2019 hutan dan lahan yang terbakar seluas 6.425 hektar. Jika melihat sejarah karhutla di Riau, pada tahun 2014 silam, wilayah ini pernah berasap hingga ke negara tetangga. BNPB mencatatkan dari 286 titik api di Sumatera, 160 diantaranya ada di Riau. Kebakaran hutan hebat lainnya juga terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2015, BNPB menemukan sekitar 196.987 hektar luas lahan gambut yang terbakar, lalu untuk lahan non-gambut seluas 133.876 hektar.
Baca juga: Warga Kalteng Menang Gugat Presiden, Berikut Poin-Poin Putusan Pengadilan
Kebakaran Hutan dan Alih Fungsi Lahan
Kebakaran hutan ini secara nasional turut mempengaruhi degradasi tutupan hutan nasional, ia juga menegaskan bahwa deforestasi masih terjadi secara masif. Salah satu faktor berkurangnya hutan ditengarai akibat dari alih fungsi hutan dan deforestasi. Baik untuk industri perkebunan seperti sawit atau hutan tanaman industri guna menyokong produksi industri bubur kertas dan aneka produk turunannya.
Jika merujuk pada data KLHK, ada penyusutan kawasan hutan antara tahun 2015 sampai 2017. Hutan yang awalnya eksis dengan luasan 128 juta hektar, berselang dua tahun kemudian menyusut menjadi 125 juta hektar. Kurang lebih ada lebih dari 2,07 juta hektar kawasan hutan yang hilang.
Menurut BPNB di tahun 2019, total 99 persen karhutla merupakan akibat dari ulah manusia. Kosongnya lahan pasca dibakar berimpilikasi pada penggunaan lahan untuk sektor lain. Ada sekitar 80 persen lahan yang terbakar berubah menjadi lahan perkebunan. Tidak bisa dipungkiri memang jika kini perkebunan sawit bertambah luas. Tercatat ada seluas 14,3 juta hektar perkebunan sawit, yang lebih luas dari pulau Jawa yang hanya 12, 82 juta hektar.
Perlu diketahui jika kebakaran hutan dan lahan paling besar dilakukan oleh korporasi, sebagaimana diakui oleh KLHK yang menolak menyebutkan data korporasi pembakar hutan. Menurut data pemerintah ada 9 perusahaan (tersebar di Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng, Kalbar, Kalsel) yang tertangkap membakar hutan dan lahan. Semuanya berafiliasi dengan sawit.
Bupati Kabupaten Pelalawan, Riau, pernah melaporkan jika ada perubahan yang signifikan terhadap hutan dan lahan yang telah ludes terbakar. Dia menyebut mayoritas lahan tersebut telah berubah menjadi perkebunan sawit. Di wilayah lain tidak hanya sawit, tetapi juga berubah menjadi kawasan produksi seperti untuk kebutuhan kertas dan aneka produk dibuat dari bahan baku pohon.
Sementara itu jika mengulik hasil kajian Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2018, disebut sekitar 2,8 juta hektar perkebunan sawit berada di kawasan hutan. Dimana 35 persen dikelola masyarakat sementara 65 persennya dikelola korporasi. Artinya mayoritas penguasa HGU untuk sawit ialah korporasi besar.
Data lain, adalah hasil riset TuK Indonesia, menyatakan sekitar 5,1 juta hektar lahan sawit dikuasai 25 kelompok perusahaan yang menguasai 62 persen lahan sawit di Kalimantan. Terluas di Kalimantan Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Kemudian, 32 persen di Sumatra (terluas di Riau diikuti Sumatra Selatan), 4 persen di Sulawesi dan 2 persen di Papua.
Baca juga: Lembaga Keuangan Harus Bertanggungjawab Cegah Karhutla di Konsesi Sawit, Caranya?
Peran Signifikan Pemerintah dalam Karhutla
Ketika melihat kebakaran hutan dan lahan, maka ini menunjukkan bagaimana rumitnya alur birokrasi dan tidak sinkronnya hubungan inter kementerian. Kementerian ATR/BPN mengurus dan memberikan HGU, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan HTI, serta Kementerian Pertanian mengeluarkan izin perkebunan.
Dalam konteks deforestasi dan pembakaran hutan, tampak terjadi upaya sistematis untuk membuka dan mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan, hutan tanaman industri, izin usaha pertambangan dan lainnya. Hutan sengaja dibakar untuk membuka lahan, yang pada akhirnya menjadi sebab terjadinya kebakaran lahan gambut.
Guna mencegah dan menghentikan kebakaran hutan, maka pemerintah harus melakukan moratorium izin sawit dan aneka industri lainnya. Pemerintah pun perlu mencabut dan mengusut korporasi yang melakukan pembakaran hutan, serta menghukum korporasi untuk melakukan reforestasi masif seperti sedia kala fungsinya.
Selain itu pemerintah wajib mematuhi putusan MA pasca kalah dalam Peninjauan Kembali (PK) terkait gugatan warga (citizen law suit) di Kalimantan Tengah dengan membuat peraturan teknis preventif maupun mitigasi, guna memperkuat UU PPLH Nomor 32/2009.
Hal mendesak lainnya yang perlu dikerjakan pemerintah, yakni mengubah tata ruang serta tata wilayah nasional, yang lebih mengutamakan keselamatan ruang hidup rakyat, seperti mendukung kelestarian hutan dan menyelesaikan problem ekologis lainnya.
* Wahyu Eka Setyawan, penulis adalah Manajer Kampanye Walhi Jawa Timur. Artikel ini merupakan opini penulis.