- Sebanyak 147 puisi yang ditulis penyair Nusantara [Indonesia, Malaysia dan Singapura] yang terkumpul dalam “Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah di Pangkal” yang diterbitkan Forum Pegiat Literasi Pasaman [2019], menunjukan kegelisahan mereka terhadap berbagai persoalan lingkungan hidup hari ini. Misalnya tentang harimau sumatera yang populasinya terus berkurang.
- Sungai merupakan tema yang juga diangkat para penyair Nusantara.
- Masyarakat Nusantara menempatkan alam sebagai guru. Sikap ini yang kemudian melahirkan tradisi, seni, dan bahasa. Perubahan atau kerusakan bentang alam saat ini, seperti yang berlangsung di Sumatera, menyebabkan hilangnya tradisi atau nilai harmonis manusia dengan makhluk hidup lainnya.
- Salah satu dampak adanya perubahan bentang alam adalah banyak bahasa lokal atau “bahasa ibu” kehilangan pengguna atau penuturnya. Para penyair Nusantara diharapkan mengembalikan “bahasa ibu” sehingga alam turut terjaga.
Berbagai persoalan lingkungan hidup yang melanda Indonesia, ternyata membuat gelisah sejumlah penyair di Nusantara. Melalui puisi, mereka mencemaskan berbagai perubahan bentang alam yang terjadi.
Begitu yang terbaca dari 147 puisi yang ditulis 147 penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang terkumpul dalam buku Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah di Pangkal yang diluncurkan dalam acara “Baca Puisi Pasaman 2019” dengan tema “Sungai, Lembah dan Sejarah Pasaman” yang digelar Forum Pegiat Literasi Pasaman di Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, 28-29 Desember 2019 lalu.
Kecemasan terhadap lingkungan hidup di Nusantara, khususnya Sumatera, diungkapkan penyair Ubai Dillah Al Anshori dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Dalam puisi berjudul Surat Buat Hilir Ubai ingin menggambarkan jika pesan kasih sayang alam dari hulu tidak pernah berbalas dari hilir yang terus tenggelam dalam berbagai kebutuhan yang mengeksplorasi sumber daya alam.
akulah perempuan penunggu kabar, akulah hulu
engkaulah hilir
berapa banyak surat ditujukan, balas tak sampai pulang…
…akulah hulu
yang tenggelam pada rindu.
“Kami berharap pertemuan ini mendorong para penyair di Nusantara untuk menyuarakan berbagai persoalan lingkungan hidup. Mulai habisanya hutan, terancamnya satwa khas seperti harimau, gajah, serta tergerusnya peradaban yang lahir dari kearifan terhadap lingkungan,” kata Arbi Tanjung, Ketua Forum Pegiat Listerasi Pasaman kepada Mongabay Indonesia, 29 Desember 2019.
Lebih jauh, katanya, para penyair juga memahami perjuangan Imam Bonjol—tokoh pejuang kemerdekaan asal Pasaman— bukan sebatas peperangan karena adat dan agama dalam Perang Padri dengan VOC [Belanda]. “Di balik itu ada semangat menjaga bentang alam Pasaman yang kaya sumber daya alam,” kata Arbi.
Baca: Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat
Saat ini, Pasaman yang berada di garis katulistiwa atau equator, seperti wilayah lainnya di lanskap Bukit Barisan, tak luput dari upaya eksploitasi sumber daya alam. Baik perkebunan monokultur maupun penambangan. Namun, berbagai aktivitas tersebut tidak mengubah kondisi sosial masyarakat menjadi lebih baik.
Kecemasan atau keprihatinan ini terbaca dalam puisi Rebah ke Pangkal yang ditulis penyair Rizkia Hasmin dari Rao-Pasaman.
…Biarlah hujan turun di Rao
sebab kapas-kapas telah tandas disapu angin rebut
dan pisang bertandan-tandan
habis disungkah kera
nasib baik mana yang akan bertandang
sementara meja-meja penuh togel…
Harimau sumatera yang populasinya kian berkurang, dan beberapa bulan terakhir terlibat konflik dengan manusia di berbagai wilayah di Sumatera, juga mendapat perhatian sejumlah penyair.
Misalnya, puisi Belang yang Lupa Pulang yang ditulis penyair muda Ami Khairunnisa [19], mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara:
…Dengan ragu, taringku muncul satu demi satu
Mereka tak lari, aku memang kawanan mereka
Terus kudekati
empat dari mereka terbujur kaku, kejang membiru
Aku kalut, seseorang dengan kerambik di balik punggungnya
Menodongku, “Kau ingin belangmu hilang?”
Baca: Cara Tidak Biasa Menjaga Bukit Barisan
Penyair Jek Atapada dari Kupang Nusa Tenggara Timur [NTT] mampu membaca hubungan manusia dengan harimau sumatera dalam penggambaran manusia pejuang di Minangkabau dalam puisi Patri Harimau nan Salapan.
… Delapan kepak harimau dari rahim Ranah Minang
Memuja sunyi di Benteng Bukit Tajadi
Beradu peluru mesiu dengan daging
Bersama gerimis senja yang melukai…
Penyair muda Ramadhan Alhafiz [19] dari Deli Serdang, mencoba menggambarkan Sungai Lolo yang kini terus mengalami kerusakan, tapi tetap menjadi harapan hidup bagi nelayan sungai dalam puisi Pencari Ikan di Sungai Lolo.
…Dalam benaknya ada istri dan anak dengan harap,
Bersama biduk menjala kadang menyeburkan tubuh barangkali
Udang berenang di dasar sungai lalu sembunyi…
Baca juga: Seniman Harus Berperan Dalam Penyelamatan Bentang Alam, Caranya?
Kehilangan bahasa ibu
Dalam diskusi bertema Ekologi, Sastra dan Sejarah, Mongabay Indonesia menjadi salah satu narasumber, terlihat jelas bagaimana para penyair Nusantara sangat mencemaskan perubahan bentang alam yang saat ini menuju kerusakan.
Secara ekologi, masyarakat Sumatera dari Lampung hingga Aceh, memiliki kesamaan yakni mereka menempatkan “alam sebagai guru” sehingga hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya dalam memaknai bentang alam setara atau saling memberi.
Sikap inilah yang melahirkan sejumlah tradisi, seni, bahasa, yang semuanya beranjak dari tanda-tanda alam. Mulai dari pohonan, sungai, danau, gunung, bukit, batu, beserta makhluk hidupnya seperti harimau, gajah, dan lainnya.
“Kesamaan itu mungkin dapat dilihat bagaimana manusia Sumatera memperlakukan harimau sebagai saudara tua. Ini berlaku bagi masyarakat dari Lampung hingga Aceh,” kata Arbi Tanjung.
“Namun hari ini hubungan harmonis itu mulai hilang karena perubahan bentang alam sebagai aktivitas ekonomi yang berbasis sumber daya alam,” ujarnya.
Sejumlah penyair dari Riau, mempersoalkan berbagai kerusakan hutan dan rawang [rawa gambut] di Riau, yang memunculkan bencana kebakaran hutan dan lahan atau konflik harimau dengan manusia. Akibatnya, masyarakat sulit sekali memposisikan alam sebagai guru.
“Padahal selama ini berbagai produk kebudayaan masyarakat melayu di Riau semuanya berakar dari alam. Alam rusak, apalagi yang akan dipelajari,” kata Tarmizi Rumahhitam.
Dr. Hermawan, dosen sastra STKIP Rokan Hulu, Riau, mengatakan kerusakan bentang alam berdampak juga pada penggunaan “bahasa ibu” atau lokal. “Bahasa ibu kini mulai jarang digunakan sejalan dengan kerusakan bentang alam. Ini mungkin karena bahasa ibu memang beranjak dari alam, sehingga ketika alam rusak, generasi sekarang kehilangan makna dalam menggunakannya, sehingga mereka lebih suka dengan bahasa kaum urban yang lebih cepat ditangkap maknanya dalam berkomunikasi,” katanya.
Ubai Dillah Al Anshori, penyair, pegiat literasi, dan pengamat sastra, berpendapat, penggunaan dan penggalian bahasa ibu sangat penting. Tapi, gaya ucap dan daya kritis dalam penyampaian tentunya tidak harus terikat pada tradisi sastra yang lalu.
“Jelasnya, alam harus dipertahankan sebagai guru meskipun hal yang dijelaskan adalah berbagai persoalan kekinian,” tegasnya.