Virus Corona belum habis menggemparkan dunia internasional. Kabar teranyar, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif Corona. Ia dirawat di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
Selain itu, Solo yang menjadi kampung halaman Presiden Jokowi juga ditetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) corona usai dua warganya dinyatakan terserang virus yang menyebar dari China itu. Sekolah diliburkan selama dua minggu dan segala aktivitas publik ditunda.
Dari kepanikan global ini, tiba-tiba mencuat fakta betapa berharga kekayaan lingkungan Nusantara berupa jamu dan empon-empon yang dikabarkan mampu menangkis virus menakutkan itu.
Tak ayal, warisan leluhur ini diburu dan harganya melejit. Pertanyaan pendek, bagaimana nasib empon-empon di era kiwari?
Belum lama ini, saya berkolaburasi dengan kolega kampus lintas bidang meneliti kesinambungan pengetahuan etnomedisine yang tersekam dalam Serat Centhini (1814-1823) dengan memori kolektif para bakul bahan jamu di pasar tradisional.
Baca juga: Covid-19 Mewabah, Herbal Naik Daun
Dipilihlah Pasar Bulu dan Pasar Jamu Nguter, di Sukoharjo. Laiknya Mas Cebolang dalam tokoh Serat Centhini yang lelana mengumpulkan dan mencatat kawruh Jawa yang berserak, saya memasuki lorong pasar bercakap dengan barisan pedagang empon-empon. Bola mata saya menabrak aneka empon-empon tergeletak di ranjang plastik dan tampah.
Perlu diketahui, Pasar Nguter merupakan salah satu pasar jamu legendaris yang terkenal secara nasional. Telah berlangsung lama proses pewarisan kewirausahaan jamu yang terwadahi dalam ruang ekonomi itu.
Segenap informan tersebut mengaku melanjutkan usaha milik orangtuanya yang juga lama menggumuli pengetahuan dan bisnis jamu di Pasar Nguter.
Maka, dapat dikatakan bahwa bukan hanya modal usaha dan toko yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya, namun juga aneka resep dan pengetahuan perihal jamu merupakan hal pokok untuk diwariskan.
Mereka mengatakan, seiring menyusutnya fungsi pekarangan sekitar sebagai penyedia bahan-bahan jamu, maka banyak bahan didatangkan dari Wonogiri yang relatif masih banyak memiliki pekarangan desa.
Penjual jamu di Pasar Nguter memperoleh bahan itu dengan cara membeli langsung dari petani. Jarak antara Wonogiri dan Sukoharjo juga berdekatan, sehingga murah untuk ongkos pengangkutan (transportasi).
Cara bisnis dan pengembangan usaha jamu diajari oleh orangtuanya, mulai dengan menjaga warung, melihat cara meracik, hingga dilibatkan langsung melayani pembeli. Para pedagang tidak memperoleh pengetahuan jamu dari sekolah formal (farmasi atau kedokteran), melainkan dari mengamati aktivitas keluarga, mendengarkan penuturan orangtua (tradisi lisan), kemudian mencatat aneka resep dan berani mempraktekannya.
Model tradisi lisan ini sama seperti yang dikembangkan pujangga penulis Serat Centhini. Dia keluar-masuk kampung di tanah Jawa, mendatangi penduduk, mengamati keseharian mereka, dan bercakap-cakap. Setelah itu, pengetahuan yang berhasil digali ini dikumpulkan menjadi sebuah karya yang tebal.
Bisa dikatakan, Serat Centhini merupakan dokumentasi pengetahuan jamu tradisional yang pernah lestari di Jawa pada masa silam. Dicermati ada 80an ramuan dan jenis penyakit yang tersurat dalam Serat Centhini berhasil dikonfirmasi dan di-crosscheck kepada para informan.
Sekalipun usia Serat Centhini sudah dua abad lebih, ternyata kini masih bisa ditemukan beberapa jumlah bahan atau gampang dikenali. Namun tidak menutup kemungkinan, tidak sedikit pula aneka bahan hilang lantaran macetnya transfer knowledge (pengetahuan) resep lintas generasi dan bahannya sulit didapatkan di pasaran maupun pekarangan.
Menurut naskah Centhini dan sejumlah informan, orang Jawa mengobati penyakit batuk dengan bahan asem kawak, kelapa, kunir, dan terasi merah. Jenis obat lainnya untuk batuk, yaitu asem kawak diramu dengan kunci dan minyak kelapa.
Sementara ramuan batuk tanpa dahak yang tidak dikenali adalah sunti dan gadarusa. Tatkala orang Jawa terganggu oleh sakit berak darah, maka lekas diobati dengan asam merah, bawang merah, garam, dan minyak kelapa.
Sedangkan berak lendir diatasi dengan lempuyang, kencur, kelapa, podhisari, dan sidawayah. Kemudian, bahan yang hilang dari ramuan ini adalah jebug.
Penyakit mejen atau impoten diobati dengan arang pohon jati, asam kawak, garam, jinten hitam, kencur, kunir, dan pondhisari. Orang Jawa dikenal tidak hanya memiliki satu ramuan untuk satu jenis penyakit.
Bahan lainnya mencegah impoten ialah jinten hitam, majakan, dan pondhisari. Ramuan yang tersedia di lingkungan sekitar bukan sekadar mengobati penyakit, tetapi juga untuk upaya bersifat preventif.
Menjaga kebugaran tubuh bisa ditempuh dengan mengonsumsi adas, cabe, manis jangan, kadhawung, kencur, ketumbar, merica, mungsi, pala, dan pulasari. Tubuh yang didera panas dingin dapat diobati dengan bengle, ringin, dlingo, dan sirih. Ramuan lainnya yang tidak diketahui untuk panas dingin adalah murmak daging dan pisang seba.
Dalam Serat Centhini tertulis penyakit telinga tuli, dan bisa disembuhkan dengan dadap serep. Sayangnya, bahan itu tidak dikenali lagi oleh kalangan pembuat jamu di Pasar Nguter.
Mereka lebih tahu bahan ayam cemani, daun kelor, merica, dan minyak wijen. Bagi pria yang mengalami masalah di atas ranjang (vitalitas), maka disarankan penulis Serat Centhini dan pedagang jamu mengonsumsi 3 potong lung pare dan 3 iris bengle.
Ramuan lainnya untuk penyakit serupa, yakni manis jangan, kemenyan, kunci,laos, dan sunthi. Bahan yang disebutkan terakhir itu sudah tidak diketahui oleh pedagang jamu. Bagi yang belum dikarunia momongan, Serat Centhini menuntun pembaca mengkonsumsi delima, garam, dan minyak wijen.
Ditemukan fakta-fakta jamu tradisional dalam Serat Centhini dan pasar desa ini menegaskan bahwa pengetahuan jamu memang penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dicermati dari aspek temporal, aneka informasi jamu yang tertuang dalam Serat Centhini mampu melewati lorong waktu yang panjang (2019). Pedagang jamu di Pasar Nguter yang setiap hari berkutat dengan ramuan untuk mengobati penyakit maupun upaya preventif bagi tubuh, masih bisa menceritakan aneka dan fungsi ramuan yang tersurat dalam Serat Centhini.
Padahal, mereka memperoleh segenap pengetahuan itu bukan langsung dari Serat Centhini, melainkan dari tuturan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dikenalinya berbagai jenis ramuan juga tidak diperolehnya dari sekolah formal.
Jamu sebagai kekayaan pengetahuan Jawa dalam Serat Centhini adalah fakta sejarah lingkungan, bukan fiksi atau khayalan sebagaimana yang sering dialamatkan tatkala menilai kisah dalam karya sastra. Jamu yang terawat dalam memori kolektif masyarakat maupun didokumentasi Serat Centhini merupakan kearifan lingkungan yang harus dilestarikan, bukan komoditas pasar semata.
Selagi mencuat kasus Virus Corona, mestinya pemerintah Indonesia getol mengangkat jamu berikut empon-empon. Unsur lokal ini sejatinya mencerminkan pula etos kemandirian leluhur Jawa di bidang pengobatan.
Tanpa perlu pergi ke dokter (Barat) dan shinse (Tionghoa), mereka sudah mempunyai ramuan untuk menanggulangi sakit yang memanfaatkan bahan dari alam sekitarnya. Bahan ramuan yang mulai langka juga harus disiasati dengan menghidupkan “apotek hidup”.
Banyak menanam empon-empon di beberapa tempat guna menjaga kesinambungan pengetahuan jamu tradisional. Jangan sampai redupnya kasus pagebluk Corona, warisan kakek moyang ini kembali dicampakkan. Padahal, ia sudah membuktikan kehebatannya di tengah gejolak dunia internasional.
Foto utama: jahe merah, salah satu empon-empon yang jadi buruan setelah Corona mewabah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
* Heri Priyatmoko, penulis adalah Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Founder Solo Societeit. Artikel ini merupakan opini penulis.