- Guna mengamankan pangan di masa pandemi, pemerintah berencana cetak sawah, antara lain di lahan gambut. Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands Internasional Indonesia mengingatkan, jangan sembarangan mau cetak lahan gambut, perlu kajian mendalam dan komprehensif.
- Tanaman yang cocok di lahan gambut pun ada seperti sagu dan talas. Tanaman ini antara lain yang jadi rencana Badan Restorasi Gambut. Nazir Foead, Kepala BRG mengatakan, tanaman pangan paling mungkin dan bisa cepat di lahan gambut adalah hortikultura, seperti talas, sagu, lidah buaya, dan nenas.
- Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi Untuk Desa Sejahtera menyayangkan, pemerintah tak melirik sumber pangan lokal yang lahir dari kearifan lokal masyarakat. Rencana pencetakan sawah, baginya merupakan kebijakan karena ‘kepanikan semata.’ Jika pemerintah ingin serius, pandemi ini bisa jadi kesempatan untuk menata sistem pangan Indonesia yang berkelanjutan, memberdayakan sumber daya lokal dan menguatkan pangan itu sendiri.
- Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan mengingatkan, jangan sampai rencana pencetakan sawah di lahan gambut menimbulkan permasalahan baru. Secara tradisional, masyarakat Indonesia memiliki sejumlah makanan pokok. Jadi, memaksakan seluruh rakyat Indonesia tergantung pada beras tidak sesuai tradisi dan kearifan lokal nusantara yang beragam.
Masa pandemi Coronavirus disease 2019 (COVID-19) tak hanya memunculkan krisis kesehatan, juga kekhawatiran terjadi krisis pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan dunia potensi kelangkaan dan darurat pangan di situasi ini. Kebijakan pembatasan wilayah (lockdown) di sejumlah negara menyebabkan distribusi pangan internasional terganggu.
Tampaknya, pemerintah berpikir pangan pokok hanya beras hingga kebijakan yang muncul pun cetak sawah ratusan ribu hektar. Parahnya, antara lain akan dilakukan di lahan gambut. Padahal, Indonesia, punya cerita kelam pembukaan satu juta hektar gambut untuk sawah di Kalimantan Tengah, era Orde Baru, dan itu gagal. Masalah yang muncul dari kerusakan gambut pun dirasakan hingga kini, salah satu kebakaran hutan dan lahan berulang.
“Setiap negara terutama negara-negara produsen beras akan lebih memprioritaskan kebutuhan dalam negeri mereka sendiri dan rantai pasok bahan pangan akan terganggu karena kebijakan lockdown (di sejumlah negara),” kata Jokowi.
Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar
Dia meminta jajaran terkait memetakan kebutuhan bahan pokok dalam memasuki kemarau dan mengawasi rantai pasok dan stok pangan yang ada di pasaran.
“Pastikan dalam supply chain petani mendapatkan perlindungan yang baik. Hindari praktik-praktik yang tak sehat dan harus menerapkan prinsip tata kelola yang baik.”
Hal itu ditanggapi Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dia mengatakan, presiden memeritnahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka persawahan baru, terutama di lahan gambut yang sudah disiapkan pada masa lalu, seluas 900.000 hektar di Kalimantan Tengah.
“Sudah siap 300.000 hektar. Juga dikuasai BUMN ada sekitar 200.000 hektar,” kata Airlangga.
Dia mengatakan, sudah mendapatkan laporan dari BMKG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahwa kecukupan curah hujan di Pulang Pisau, Kalteng, masih bagus sampai November 2020, dan kebutuhan air relatif ada. Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, katanya, diminta berkonsentrasi menciptakan lumbung pangan di lokasi itu.
Wacana yang muncul mengingatkan kembali sejarah kelam proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalteng di era Orde Baru, tahun 1995. Proyek untuk lahan pangan itu gagal total, terbengkalai dan menimbulkan kerusakan lingkungan serius hingga kini.
Pembuatan kanal besar-besar menyebabkan pengeringan gambut dan berdampak kebakatan tahunan dan bencana asap berulang sejak 1997. Saat penghujan, wilayah itu kebanjiran.
Kalangan pakar dan pegiat lingkungan pun mengkritik rencana pemerintah mencetak sawah baru di lahan gambut. Rencana ini harus dipertimbangkan hati-hati dan matang agar tak mengulang kesalahan sama.

Hati-hati, jangan sembarangan buka gambut
Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands Internasional Indonesia jadi salah satu saksi hidup dan membuat dokumentasi melalui kamera Betamaxnya dalam mengawasi proyek PLG secara sukarela. Dia mengingatkan, perlu ada evaluasi dari kegagalan PLG masa Orde Baru kalau hendak jalankan kebijakan ini.
Kala itu, di PLG ada program transmigrasi dengan memindahkan 500.000 keluarga dari Jawa, Bali dan Jawa Barat. Mereka yang tidak pernah kerja di gambut dihadapkan pada persoalan jenis lahan rumit ini.
“Yang paling saya ingat itu pertama, amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red) itu tidak ada. Itu kan dibikin buru-buru setelah proyek jalan. Perencanaan benar-benar tidak ada,” katanya.
Dia pun merekam bagaimana monyet dan bekantan saat itu berlarian karena habitat mereka rusak. Kala itu, proyek itu memotong kubah gambut yang menyebabkan air kanal masuk ke sungai dan terjadi banjir di Kota Banjarmasin dan banyak ikan mati.
Pada 2000-an, Nyoman bertemu dengan seorang warga transmigran di Jambi. “Dia korban transmigran dari Bali dipindahkan ke Kalteng. Karena bingung karena tidak cakap mengelola gambut. Mereka jadi perambah dan ikut rombongan dari Kalteng, ke Sumsel, kemudian Jambi.”
Dia bilang, perlu ada kajian biofisik, sosial, ekonomi dan budaya yang lengkap. “Tidak boleh main-main dan tidak boleh sepotong-sepotong.”
Kajian itu, kata Nyoman, paling sedikit selama satu tahun, untuk melihat pasti kondisi gambut pada dua siklus musim. “Kalau kita cuman liat sesaat, ini gambut dangkal tapi ternyata banjir saat musim hujan. Jadi harus melihat dari kacamata lebih luas dan komprehensif.”
Kajian sosial ekonomi penting untuk mengetahui siapa yang akan mengerjakan lahan dan kesiapan masyarakat lokal kalau ada pendatang. Juga perlu kajian sejarah gambut di wilayah itu, apakah sudah mengalami penurunan permukaan lahan gambut subsiden dan bencana banjir serta kebakaran di sana.
Hal terpenting lain, katanya, pemetaan wilayah dalam penentuan pemanfaatan lahan gambut, dengan detail kesatuan hidrologi gambut (KHG) dan ketebalan gambut.

Nyoman mengatakan, kesalahan berulang jangan sampai terjadi apalagi Presiden Jokowi sebagai pencetus kelahiran BRG dan Indonesia pun memiliki komitmen dalam perubahan iklim. “Jika gambut dibuka untuk pertanian, pasti akan terjadi pelepasan emisi gas rumah kaca.”
Kebijakan ini perlu sangat hati-hati ini karena tidak sesuai regulasi pemerintah, seperti PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Peraturan Presiden No 1/2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut guna pemulihan ekosistem lahan gambut. Juga, Instruksi Presiden No 5/2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Baca juga: Mengkritisi Salah Arah Kebijakan Cetak Sawah
Cerita Nyoman mirip ungkpan Azwar Maas, Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada. ”Pengalaman pahit itu proyek satu juta hektar. PLG ini jadi kegagalan karena kubah gambut dibelah.”
Dia pun memberikan pandangan, rawa gambut memiliki karakteritik dan kualitas tidak sama. Perlu kajian, terkait topografi lahan, status lahan, kondisi beragam, sistem tata air, aksesbilitas dan siapa yang akan menggarap.
”Untuk pengembangan pangan, terutama padi itu membutuhkan air relatif segar. Untuk mendatangkan air segar sampai jauh dari sungai perlu sistem air makro, mesin dan mikro yang terhubung.”
Lahan terlantar, misal, juga memiliki kondisi beragam, pengendalian air lebih sulit. “Terserah mau buat seperti apa, perencanaan bagaimana, tetapi variasi aktual di lapangan perlu diperhatikan, baik kondisi biofisik maupun pembasahan, di bawah penguasaan siapa, luas berapa, apakah itu satu kesatuan yang bisa dikelola pada sistem air yang sama? Itu yang harus diperhatikan.”
Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan mengingatkan, jangan sampai rencana pencetakan sawah di lahan gambut menimbulkan permasalahan baru. “Kita berkewajiban mengingatkan pemerintah, jangan sampai kegagalan pencetakan sawah di lahan gambut di masa lalu terulang kembali.”
Kemitraan menyampaikan, pemerintah perlu belajar dari berbagai proses alih fungsi lahan gambut seperti jadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit yang menyebabkan pengeringan terhadap jutaan hektar lahan gambut.
“Pengeringan ini menimbulkan kebakaran hutan dan lahan setiap tahun, menimbulkan kerugian besar secara ekonomi, kesehatan, dan sosial. Kerugian dari kejadian karhutla 2015 mencapai Rp221 triliun, sementara kerugian tahun lalu sampai Rp 73 triliun.”
Nilai kerugian itu, katanya, di luar penghitungan sektor kesehatan, pendidikan, kehilangan plasma nutfah, emisi karbon.
Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang II Kemenko Perekonomian mengatakan, cetak sawah 300.000 hektar masih dalam kajian.
Saat ini, sawah masih soal peningkatan produktivitas 1.300 hektar lahan di Sukkamandi, Jawa Barat, melalui analisa pupuk. Angka 300.000 hektar itu, terdiri dari 1.300 pilot projek di Sukamandi, 15.000 hektar lahan Perhutani di Pulau Jawa, 50.000-100.000 hektar di Pulau Sumatera dan Kalimantan dan koordinasi pemanfaatan lahan dengan KLHK. Di Kalimantan, 200.000 hektar lahan gambut.
Dia bilang Kemenko Perekonomian hanya memonitor. “Wah mungkin detail ke BUMN karena kami hanya koordinasi. Detil tahapan langkah ada di tim teknis.”
Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut mengatakan, pembukaan lahan gambut jadi lahan pangan adalah gambut dangkal, memiliki fungsi budidaya, semak belukar, dan bekas terbakar, bukan fungsi lindung dan konservas.
“Jadi bukan buka hutan gambut, tapi semak belukar bekas terbakar yang gambutnya tipis. Kita lihat lokasi yang APL (alokasi penggunaan lain-red), bukan kawasan hutan,” katanya kepada Mongabay.
BRG pun memberikan opsi ada 110.000 hektar lahan di Kalteng untuk jadi sumber pangan. Data Litbang PUPR mengatakan, ada 145.000 hektar. BRG masih menghitung berapa persen wilayah tumpang tindih dengan eks PLG.
Menurut Nazir, data BRG soal lahan pangan itu bukan untuk padi atau mencetak sawah tetapi tanaman hortikultura, peternakan dan perikanan, seperti, sagu, talas yang cocok di lahan gambut.

Upaya ini, katanya, sejalan dengan langkah 3R (restorasi, revitalisasi dan revegetasi) yang sejak 2016 dilakukan BRG guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebelum tanam komoditi pangan, katanya, lokasi itu juga perlu dianalisa secara komprehensif, mulai dari analisis spasial, verifikasi lapangan, masyakat dan pasar yang mau membeli.
Sebelumnya, BRG memiliki demplot percontohan sawah seluas 86 hektar. Secara aspek ekonomis, masih belum memenuhi dengan hasil panen rata-rata dua ton per hektar, ada juga panen empat ton per hektar. Menurut para ahli, perlu paling tidak empat kali tanam agar bisa budidaya optimal.
Sumber pangan lokal banyak
Yang paling mungkin bisa cepat, kata Nazir, adalah hortikultura, seperti talas, sagu, lidah buaya, dan nenas. Komoditi sentral yang hendak BRG tawarkan adalah, sagu di Riau dan Papua, talas di Pontianak, kopi di Riau dan Jambi.
“Kita juga mau coba jasa lingkungan dan karbon. Jadi, lahan gambut bekas semak belukar itu, kalau bisa ditanami agroforestri. Tata air baik karena dijaga dengan sekat kanal, kan bisa kita hitung berapa sih emisi karbon yang terhindarkan.”
Menurut dia, luasan lahan yang diberikan opsi oleh BRG ini masih memerlukan verifikasi lapangan karena lokasi terpecah-pecah. Tidak semua, kata Nazir, bisa langsung digunakan baik untuk warga pengelola, infrastruktur dan aksesbilitas.
“Kan yang harus diutamakan petani. Kedaulatan pangan itu based on petani, produktif di lahan mereka dan secara ekologi gambut bisa dipertanggung jawabkan.”
Berdasarkan pengalaman BRG dalam bekerja di Desa Peduli Gambut dan pengalaman proyek lahan gambut masa era Orde Baru, katanya, perlu kajian lebih komprehensif. Pertimbangan faktor ekonomi, sosial dan ekologi jadi penting. “DIskusi masih berlangsung, harus sangat hati-hati dan tidak bisa dalam waktu dekat.”
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi Untuk Desa Sejahtera menyayangkan, pemerintah tak melirik sumber pangan lokal yang lahir dari kearifan lokal masyarakat. Rencana pencetakan sawah, baginya merupakan kebijakan karena ‘kepanikan semata.’
Selama ini, pemerintah tak memiliki upaya serius menjaga lahan pertanian. Hal ini terlihat dari makin berkurang luasan sawah, realisasi pencetakan minim, petani nelayan berkurang dan didukung angka impor pangan tinggi.
“Jika pemerintah ingin serius, pandemi ini bisa jadi kesempatan untuk menata sistem pangan Indonesia yang berkelanjutan, memberdayakan sumber daya lokal dan menguatkan pangan itu sendiri,” katanya.
Kemitraan pun menilai upaya krisis pangan masa pandemi ini perlu ditanggapi dengan bijaksana sebelum pencetakan sawah baru di lahan gambut. “Pemerintah harus menghentikan konversi lahan sawah di seluruh Indonesia dan menggalakkan diversifikasi pangan,” kata Laode.
Secara tradisional, masyarakat Indonesia memiliki sejumlah makanan pokok hingga memaksakan seluruh rakyat Indonesia tergantung pada beras tidak sesuai tradisi dan kearifan lokal nusantara yang beragam.
Kedaulatan pangan nasional, katanya, tidak dapat bergantung hanya pada pencetakan sawah baru.

Percepat perhutanan sosial dan reforma agraria
Tak hanya itu, dibandingkan membuka lahan baru yang rentan, lebih baik mengoptimalkan pemanfaatan lahan-lahan kritis untuk produksi pertanian pangan. Melalui percepatan program reforma agraria dengan identifikasi lahan HGU yang terlantar dan tidak dimanfaatkan pun dapat sebagai lahan pertanian.
“Pemerintah mempercepat program perhutanan sosial dengan mendistribusikan izin pengelolaan kepada masyarakat.”
Melalui bantuan sarana produksi dan pendampingan pun lahan-lahan dapat dikelola masyarakat untuk menghasilkan bahan pangan, seperti padi gogo, jagung, sorgum, ubu, ketela dan lain-lain,
Nyoman bilang, pemerintah jangan hanya berpikir pemenuhan karbohodrat, dari padi saja. “Daripada pusing mikirin padi, kenapa Indonesia tidak mencari yang berdampak jauh lebih luas, yakni sagu?”
Apalagi, itu salah satu komoditi yang cocok di lahan basah. Pelepasan emisi pun sangat rendah karena tak membutuhkan drainase.
Selain itu, pemenuhan sumber proten masih mayoritas impor pun perlu jadi pertimbangan. Impor pakan Indonesia, katanya, cukup tinggi untuk kedelai, jagung, gandum dan lain-lain. lain-lain
Kepulauan Meranti, Riau, kini jadi sumber pangan sagu dalam pemenuhan sumber karbohidrat dan pakan hewan ternak. “Ampas sagu seringkali hanya dibuang dan mencemari lingkungan bisa diolah untuk pakan ternak.”
Apalagi, katanya, presiden sudah meresmikan kilang sagu di Sorong Selatan, melalui Perum Perhutani dengan kapasitas 100 ton per hari. Hal ini, katanya, bisa mengoptimalkan bahkan bisa ditambah dengan membangun kilang sagu lain.
Kegagalan-kegagalan masa lampau, katanya, harus diminimalisir agar tidak menyia-nyiakan uang negara yang saat ini sedang mengalami krisis. “Gambut ini lahan basah, jangan tanam dengan sesuatu yang tidak cocok. Padi lahan basah tapi kalau padi tenggelam sampai pucuk-pucuk, kan busuk. Kalau sagu, tidak peduli tuh. Justru dibuang airnya, mati dia.”
Keterangan foto utama: Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Di masa pandemi ini, bisa mengoptimalkan pangan lokal seperti sagu ini daripada menyeragamkan harus produksi beras. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Ubi. Beragam jenis ubi ada di negeri ini. Mengapa semua harus seragam dengan beras kalau beragam sumber pangan tersedia? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia