- Bentang alam Gunung Mangkol merupakan wilayah perbukitan yang sangat penting di Pulau Bangka. Namun hutan dan satwanya terancam akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan timah liar.
- Dari luasan sekitar 6.009,521 hektar, sekitar 2.700 hektar Gunung Mangkol mengalami kerusakan. Sementara, 2.600 hektar lagi digarap menjadi perkebunan masyarakat.
- Rusaknya Gunung Mangkol menyebabkan kekeringan dan banjir di Pangkalpinang dan Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
- Sejak 2016 lalu, Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah melalui Yayasan Gunung Mangko Lestari melakukan upaya pelestarian wilayah yang ditetapkan sebagai tahura tersebut. Misalnya, melakukan penghijauan bersama masyarakat dan memberi pemahaman untuk tidak membuka kebun.
Bentang alam Gunung Mangkol memiliki luas sekitar 6.009,51 hektar yang berada di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah ini terdiri Bukit Pau, Bukit Tengkorak, Bukit Kelambu, Bukit Anyir, Bukit Berambai, Bukit Gadong, Bukit Tanyas, dan Bukit Mata Ayam. Sebagian besar arealnya, yang berada di ketinggian sekitar 395 meter dari permukaan laut, dirambah untuk perkebunan dan pertambangan timah liar.
Bentang alam Gunung Mangkol merupakan rumah bagi sejumlah satwa seperti trenggiling, mentilin [tarsius bangka], kukang, serta berbagai jenis burung. Satwa-satwa itu hidup di tengah rimbunnya beragam jenis pohon seperti nyatoh, pelawan dan meranti, yang terkadang juga dihiasi tanaman anggrek bulan. Ada juga air terjun yang setiap akhir pekan, sebelum wabah corona melanda, ramai dikunjungi wisatawan lokal.
“Dahulu, orang yang berkunjung ke Gunung Mangkol, kadang melihat trenggiling membongkar tanah atau tebing mencari serangga. Burung juga banyak. Namun, seiring perburuan liar disertai rusaknya habitat, yang sering terpantau adalah kawanan monyet,” kata Purwanto, Ketua Komunitas Pemuda Pecinta Alam “Bujang Squad Mangkol,” pertengahan April 2020.
Baca: Rimba Keratung, Hutan Larangan di Desa Serdang yang Tidak Terjamah Perkebunan
“Kalau penambang, sudah sering diperingatkan hingga dibawa ke jalur hukum. Namun masih saja ada, apalagi mendekati hari raya Idul fitri. Biasanya, mereka bekerja menjelang malam. Anggota kami yang biasa bermalam di basecamp sering melihat,” lanjutnya.
Menurut Purwanto, warga membuka kebun baru saat musim menanam lada. “Biasanya setelah panen, selang dua atau tiga bulan. Ada saja warga setempat yang membuka lahan, meskipun sudah dilarang,” katanya.
Baca: Dampak Radioaktif Tambang Timah, Masyarakat Bangka Rentan Terpapar Corona?
Gunung Mangkol berstatus sebagai Tahura [Taman Hutan Raya] berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor: 575/setjen/Menlhk-II/2016 yang sebelumnya menyandang status hutan lindung. Dengan kata lain, tidak ada kepemilikan pribadi atas lahan di sini.
Akan tetapi, warga mengklaim mempunyai “Kelekak” peninggalan orang tua mereka dahulu. “Kelekak” adalah sebutan untuk suatu area hutan atau sebidang tanah yang ditanami tanaman khas daerah [umumnya durian] yang dimiliki secara pribadi maupun bersama. Ini merupakan warisan leluhur untuk anak cucu di kemudian hari.
Baca juga: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah
“Kebun ini peninggalan buyut keluarga kami, turun temurun. Dulu hanya ada pohon durian yang sekarang sudah menghasilkan. Sekarang, saya tanami lada meskipun banyak juga yang mati, jika tidak ditanam malas rasanya mengurus dan membersihkan kebun,” kata Yusuf, warga Desa Terak yang berkebun lada di lereng Gunung Mangkol, 13 April 2020.
Di Gunung Mangkol juga terdapat bangunan peninggalan kolonial Belanda, semacam bak penampungan yang “mengkondisikan” air. Fungsinya, mulai dari menyaring, menjernihkan, mengatur debit hingga menyalurkannya ke Kota Pangkalpinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Berdampak kekeringan dan banjir
Rusaknya bentang alam Gunung Mangkol menjadi salah satu faktor terjadinya kekeringan pada 2015. Bahkan, banjir besar setahun setelahnya hadir, yang merendam Kota Pangkalpinang dan sejumlah daerah di Kabupaten Bangka Tengah.
“Penambangan dan perkebunan tak terkendali di Gunung Mangkol tentu saja menjadi ancaman serius bagi ekosistem daerah aliran sungai sebelah hulu. Akibatnya, dapat merusak keseimbangan air permukaan dan air tanah. Material erosi juga terbawa, menyebabkan sedimentasi yang dapat menimbulkan banjir di hilir,” kata Dr. Robi Hambali, peneliti hidrologi dari Universitas Bangka Belitung melalui pesan singkat, Kamis, [16/4/2020].
Lanjutnya, kebun di Gunung Mangkol dengan kemiringan tajam, perlu memperhatikan faktor kelestarian lingkungan serta mengindahkan kaidah konservasi.
“Bila perlu, teknik perkebunan bertingkat atau terasering diterapkan. Jika tidak, dapat berdampak serupa dengan pertambangan,” paparnya.
Upaya pelestarian
Sejak 2016, Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah melalui Yayasan Gunung Mangko Lestari [YGML] melakukan upaya pelestarian wilayah yang ditetapkan sebagai tahura tersebut. Berdasarkan data YGML, sekitar 2.700 hektar dalam kondisi kritis dan 2.600 hektar telah dibuka untuk kebun.
“Kami turun ke masyarakat, menjelaskan pentingnya Gunung Mangkol bagi Pulau Bangka, terutama Bangka Tengah dan Pangkalpinang. Pendekatan melalui penanaman pohon durian, nyatoh, dan lainnya, kami lakukan. Tentu saja melibatkan komunitas pemuda serta pemerintah desa setempat,” kata Ahmadi Sofyan, dari Yayasan Gunung Mangko Lestari, Senin [13/4/2020].
Sofyan menyatakan, pelestarian ini melibatkan mereka yang memiliki kebun di sekitar Gunung Mangkol. “Kami tidak bersikap tegas atau keras, hanya memberi pemahaman. Harapannya, mereka turut memiliki dan bertanggung jawab terhadap Gunung Mangkol,” ujarnya.
“Semoga upaya ini ke depannya dapat menyelamatkan bentang alam Gunung Mangkol yang sangat penting bagi Pulau Bangka,” tegasnya.