- Grupel merupakan pohon dengan nama ilmiah Lisea. Sp yang tumbuh di dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh.
- Tumbuhan ini ada di ketinggian 700 sampai 1.700 meter dari permukaan laut. Tingginya mencapai 35 meter dengan diameter hingga 35 sentimeter.
- Grupel terkenal karena tekstur bunga yang terlihat di sel kayunya. Bagian pohon yang digunakan sebagai kerajinan adalah akar atau bongkol dan kayunya. Uniknya, semakin lama umur kayu ini, semakin bagus untuk diolah.
- Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono [SBY], pada 29 November 2010, pernah menerima sebuah kursi perdamaian yang terbuat dari grupel, saat berkunjung ke Banda Aceh.
Anda pernah dengar nama grupel?
Pohon dengan nama ilmiah Lisea. Sp ini tumbuh di dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh. Tumbuhan ini begitu istimewa karena hidup pada ketinggian 700 sampai 1.700 meter dari permukaan laut.
Jenis ini dapat tumbuh di tanah kritis maupun bebatuan. Tingginya dapat mencapai 35 meter dengan diameter hingga 35 sentimeter.
“Pohon yang satu keluarga dengan Lauraceae ini memang unik, mengeluarkan aroma wangi atsiri,” terang Khalisuddin, masyarakat Kabupaten Aceh Tengah, baru-baru ini.
Khalisuddin yang juga Sekretaris Forum Penyelamat Danau Lut Tawar mengatakan, pohon ini sudah sulit didapat. Sejauh ini, hanya segelintir orang saja yang pernah melihat langsung di hutan karena memang jumlahnya tidak banyak lagi.
“Pohon grupel yang telah ditebang dan diolah menjadi perlengkapan rumah tangga, seperti meja, kursi, lemari dan lainnya masih ada yang disimpan masyarakat Gayo. Namun, untuk pohonnya, sudah sangat sulit.”
Baca: Lut Tawar, Danau Indah yang Didera Masalah
Lelaki yang saat ini menjabat Camat Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah, mengatakan, dia sangat ingin membudidayakan grupel. “Ini kekayaan dataran tinggi Gayo selain ikan depik [Rasbora tawarensis] dan kopi arabika,” tuturnya.
Mengutip Lintas Gayo, grupel terkenal karena tekstur bunga yang terlihat di sel kayunya. Bagian pohon yang digunakan sebagai kerajinan adalah akar atau bongkol dan kayunya.
Uniknya, semakin lama umur kayu ini, semakin bagus untuk diolah. Medio 1990-an bahan kayu ini begitu banyak dicari pengrajin kayu.
Foto: Indahnya Leuser, Hutan Alami yang Harus Kita Pertahankan
Hadiah untuk Presiden SBY
Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono [SBY], pada 29 November 2010, pernah menerima sebuah kursi perdamaian saat berkunjung ke Banda Aceh. Kursi khusus dari kayu grupel itu dihadiahkan kepada SBY karena dianggap berhasil menyelesaikan konflik bersenjata panjang di provinsi paling barat Indonesia itu.
Malio Adnan, pengrajin kayu grupel di Aceh Tengah yang menghadiahkan kursi perdamaian untuk SBY menuturkan, kayu ini memang semakin sulit ditemukan.
“Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah masih ada, namun tidak banyak yang kenal,” ungkapnya.
Baca: Uniknya Si Akar Langit, Pohon Harry Potter dari Lamongan
Malio menyebutkan, kayu ini unik karena seratnya yang sangat indah berbentuk garis melingkar dan ditengahnya terdapat titik. Kayunya juga sangat wangi sehingga diincar oleh banyak orang.
“Kayu ini juga dapat bertahan lama atau tidak mudah busuk meskipun tertimbun lama didalam tanah.”
Malio menambahkan, sisa-sisa kayu grupel masih ditemukan terkubur di sejumlah kebun kopi di Aceh Tengah. “Saya tidak tahu kenapa kayu ini tidak busuk meski telah puluhan tahun terkubur.”
Hingga saat ini, menurut Malio, ada masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang membawa kayu grupel untuk dibuatkan kursi, lemari atau alat rumah tangga.
“Saya berharap, Pemerintah Aceh peduli pohon ini, karena flora kebanggaan bersama. Pohon tersisa juga dijaga, tidak ditebang,” paparnya.
Ama Mustafa, warga Aceh Tengah lainnya mengatakan, kayu grupel pernah diekspor ke berbagai negara, khususnya Korea, Singapura dan Malaysia, era 90-an.
“Saat itu, petani kopi menggali tanah di kebunnya untuk mencari kemungkinan kayu tersebut terkubur untuk selanjutnya dijual ke penampung yang berikutnya dijual ke luar negeri.”
Mustafa masih ingat, saat itu ada pengusaha dari Korea Selatan yang tinggal di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, untuk mencari grupel.
“Saat konflik bersenjata berkecamuk di Aceh, dia pindah ke luar Aceh, namun tetap menampung penjualan.”
Sementara, kayu grupel yang dibuat asbak pernah dijadikan oleh-oleh bagi mereka yang datang ke Aceh Tengah. “Tidak hanya berwisata tetapi juga yang datang untuk urusan dinas,” tegasnya.