- Di balik peristiwa satwa laut terdampar, ada penyebab yang menarik diungkap.
- Dari sejumlah kasus terdampar hidup atau mati, ada kemungkinan kerusakan lingkungan.
- Namun, pemerintah belum mampu menjawab penyebabnya karena identifikasi sampel belum sampai menjawab kemungkinannya.
- Masalah klasik pendanaan juga diikuti mekanisme kerja dan kemampuan mengidentifikasi.
Pada tahun 2020, peristiwa terdamparnya megafauna atau hewan besar laut yang dilindungi makin banyak dilaporkan dan dicatat. Salah satu tantangan yang belum terjawab menentukan penyebab terdamparnya.
Dari catatan reaksi cepat yang dilakukan BPSPL Denpasar pada 2020, ada empat spesies terbanyak yang ditemukan terdampar hidup dan mati di wilayah kerja BPSPL Denpasar yang meliputi wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Satwa tersebut adalah 44 Penyu Hijau, Lekang, Sisik, dan Belimbing. Kemudian 12 Paus Orca, Sperma, Pilot, dan Sperma Kerdil. Ada juga 8 Lumba-lumba dan 6 Hiu Paus. Sisanya dugong satu ekor.
Peristiwa terdampar dinilai cukup tinggi di perairan Indonesia. Dikutip dari Buku Pedoman Penanganan Mamalia Terdampar pada 2015 tercatat 46 ekor, kemudian 106 ekor (2016), dan 120 ekor (2017). Di sisi lain ini ini pertanda peningkatan kesadaran pendokumentasian.
baca : Seekor Hiu Paus Terdampar di Hutan Bakau Teluk Kendari, Bagaimana Nasibnya?
Mamalia laut di Indonesia yang terdiri dari jenis paus, lumba-lumba dan duyung merupakan target prioritas konservasi nasional dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Mamalia Laut Periode 2018-2022. RAN ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.79 Tahun 2018. RAN tersebut diharapkan menjadi rujukan nasional dalam upaya upaya pelestarian dan penyelamatan mamalia laut di Indonesia sehingga pelaksanaannya lebih sistematis dan terukur, khususnya dalam mengurangi ancaman terhadap mamalia laut.
Dalam penanganan mamalia terdampar, hal yang didorong adalah mempelajari tiap kasus seperti nekropsi dan tes DNA. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah peneliti dan otoritas.
Barmawi, Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Tingkat Muda BPSPL Denpasar mengatakan belum ada hasil analisis dari peristiwa terdampar karena belum ada pemeriksaan komprehansif. Saat ini jaringan kerja penanganan mamalia terdampar ini masih mengumpulkan data. “Selama ini tes baru sebatas konfirmasi spesies,” urainya.
Menurutnya belum bisa menjawab penyebab terdampar seperti permasalahan lingkungan, faktor habitat, dan lainnya. Ia sendiri belum bisa memastikan berapa sampel yang dites DNA. Karena dari tes inilah bisa menjawab beberapa indikator.
Barmawi menyebut pihaknya mengalokasikan Rp100 juta pada 2020 untuk pemeriksaan spesimen tapi digabung dengan paket lain. Tahun ini, 2021 anggaran meningkat menjadi Rp120 juta.
Ia belum memastikan dari dana tersebut berapa jumlah sampel yang sudah dites DNA. “Jika jenisnya tidak diketahui, selama ini tes DNA untuk mengkonfimasi jenis tersebut,” lanjut Barmawi.
Hambatannya adalah sarana tes selain memerlukan kepakaran level tertentu. Tim lapangan selama ini membawa sampel ke beberapa lembaga. Misalnya lembaga Eijkman, institut penelitian biologi molekuler. Namun karena jauh dan cukup mahal, sampel dibawa ke Universitas Airlangga, Surabaya sehingga lebih cepat terutama untuk wilayah kerja Jawa Timur. Untuk di Bali dikirim ke IBRC. Ia mengatakan biaya tes bervariasi antara Rp600.000-Rp1 juta. “Tes DNA spesifik. Bagaimana kalau di NTT, NTB tak ada lab DNA. Sampel tidak dites,” sebutnya. Ia mempertanyakan efektifitas tes DNA kalau hanya bisa konfirmasi spesiesnya. Hal ini sedang dibahas untuk menentukan skala prioritas.
Barmawi berharap tes DNA bisa mengidentifikasi penyebab untuk bisa dihindari dan menimbulkan akibat, yakni terdampar.
baca juga : Dua Paus Sperma Mati Terdampar di Pesisir Bali Selatan
Sementara Dwi Suprapti dari Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Aquatic Indonesia (IAM Flying Vet) memberi catatan soal perlunya kepastian sumber pembiayaan dan mekanisme pendanaan untuk melakukan pemeriksaan sampel. Menurutnya masih ada keterbatasan pendanaan dan kejelasan siapa yang bertanggungjawab.
Tak jarang ia mengalami situasi ketidakpastian. Misalnya ketika ada peristiwa yang membutuhkan biaya pengujian laboratorium namun dana tidak tersedia. Dana ini terkadang sangat diperlukan dalam pemeriksaan sampel baik pengujian histopatologi, genetik, toksikologi dan sebagainya untuk peneguhan diagnositik.
Ia menyebut sudah banyak sampel yang dikumpulkan dari peristiwa terdampar. Tapi sebagian besar baru dikoleksi, belum diperiksa menyeluruh. “Dikoleksi saja, belum tahu siapa yang akan membiayainya?” keluhnya. Sementara dikoleksi saja dulu sambil menunggu dana. Hingga kini sudah tersedia hampir 100 sampel yang belum diuji. Makin besar jumlah sampel dinilai semakin baik dalam analisis terutama dalam upaya menentukan penyebab keterdamparan ataupun dalam upaya pemetaan DNA satwa laut.
Dwi meyakini Indonesia punya kemampuan menganalisis sampel ini termasuk DNA. Walau sejauh ini sampel yang teruji kurang, sedangkan yang dikoleksi sudah cukup banyak.
Ia mendorong sejumlah solusi. Selain upaya fundrising yang sedang diupayakan oleh IAM Flying Vet untuk mendapatkan donor khusus, pihaknya sedang membuat kesepakatan kerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beserta Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang menaungi IAM Flying Vet.
Melalui kerjasama ini diharapkan selain dapat mensinergikan kegiatan juga sekaligus pendanaannya. Didukung langsung oleh KKP maupun mengkoneksikan IAM Flying Vet dengan NGO terkait yang memiliki perhatian khusus terhadap satwa laut. Sehingga berharap sampel-sampel yang terkumpul bisa diproses.
Ia memberi contoh, saat ini BPSPL Pontianak (UPT dibawah KKP) bersama WWF Indonesia sedang mengembangkan Laboratorium Biologi Molekuler di Politeknik Negeri Pontianak. Lab ini menurutnya bisa jadi salah satu lab rujukan untuk pengujian sampel DNA satwa laut. Namun tak hanya dana saja yang dibutuhkan, peningkatan skill atau kompetensi dokter hewan serta laboran yang menguji sampel satwa laut juga diperlukan.
perlu dibaca : Kalbar Akhirnya Punya Laboratorium Pengujian DNA Satwa Akuatik
Dari kejadian terdampar secara nasional, menurutnya penyebab keterdamparan cukup variatif, diantaranya yaitu akibat penyakit, usia, bycatch, tertabrak kapal, depredasi, anakan yang terpisah oleh induknya, disorientasi hingga keracunan. Belum mengerucut ke satu hal utama. Misalnya peristiwa 21 penyu mati di perairan Paloh pada 2018 diidentifikasi penyebabnya berdasarkan nekropsi dan pengujian di laboratorium analitik universitas Udayana Bali menunjukkan adanya cemaran aspal dalam pencernaan penyu sehingga keracunan.
Untuk itu dalam penanganan peristiwa satwa laut terdampar hendaknya dilakukan oleh petugas pengambil sampel yang terlatih, juga mendapat mandat. Idealnya perlu surat khusus. Saat ini umumnya yang mengkoleksi sampel adalah pihak otoritas, seperti BPSPL-KKP yang merupakan otoritas perikanan, dokter hewan sebagai otoritas veteriner, BKSDA sebagai otoritas pengelola spesies dilindungi dan kadang ditambah akademisi.
Selama ini, dalam pengambilan sampel, IAM Flying Vet meminta mandat terlebih dahulu dari BPSPL setempat dan atau KKHL-KKP. Kecuali kejadian insidental, permintaan diajukan via telepon maupun pesan WA.
Selama 2020, tim reaksi cepat BPSPL Denpasar mencatat ada 86 peristiwa menyangkut satwa dilindungi di wilayah kerja Bali, Jatim, NTB, dan NTT.
baca juga : Miris.. Gerombolan Paus Pilot Terdampar di Sabu Raijua, Malah Dikonsumsi Warga
Terdampar 2021
Tahun inipun tampaknya peristiwa terdampar akan terus muncul. Di Bali saja pada Januari dilaporkan seekor paus diduga berjenis Bryde (Baleoneptera brydei) atau Bryde whale ditemukan masyarakat terapung di Pantai Batu Belig, Canggu, Badung. Paus tersebut berbau menyengat, dengan kondisi badan menggelembung, dan sangat besar.
Selain itu seekor Dugong dilaporkan terdampar mati pada 24 Januari di Lombok Tengah. Dari siaran pers disebutkan, BPSPL Denpasar mendapatkan laporan lewat media sosial yang mengabarkan kejadian dugong mati yang diseret warga ke tepi di Pantai Ariguling, Desa Tumpak Pujut, Lombok Tengah pada Minggu (24/01) lalu.
Mendapati kabar tersebut, petugas bersama Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) NTB turun ke lokasi untuk mengecek kebenaran informasi. Saat petugas tiba di lokasi, kondisi dugong sudah membusuk dan dipotong-potong oleh warga, dagingnya pun telah dibagi-bagikan.
Jaja, penemu bangkai dugong yang berprofesi sebagai pemandu wisata selancar (guide surfing) menjelaskan bahwa dugong atau yang dikenal dengan nama lokal duyung kerbau ditemukan sudah mengambang di tengah laut depan warungnya pada jam 06.30 WITA dengan luka di bagian kepala.
Bangkai dugong disebutkan diseret warga ke pantai dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat sekitar. Alasannya, jika dibiarkan akan membusuk, menimbulkan bau serta penyakit.
Pada Januari 2020 juga ada kejadian yang mirip di Sumbawa. Seekor Dugong diambil dagingnya dan kepala dikuburkan.
baca juga : Begini Kajian Dokter Hewan dan Ahli Oseanografi tentang Penyebab Mamalia Laut Terdampar
Dari sejumlah peristiwa terdampar lain, tantangan penanganan adalah warga yang menunggangi satwa untuk pamer foto dan keterbatasa sarana seperti alat penarik dan pengubur.
Megafauna laut prioritas yang dilindungi penuh adalah penyu (6 jenis), hiu paus, dugong, cetacean (34 jenis), dan pari manta (3 jenis). RAN penanganan mamalia terdampar menyebutkan sejumlah target hingga 2022 oleh pemerintah. Misalnya mengembangkan pusat data dan informasi online meliputi populasi dan sebaran, biologi, medis, dan patologi.
Selain itu juga kondisi, luas dan sebaran habitat. Untuk spesies duyung, memetakan kondisi dan model interaksi (sosial, ekonomi dan budaya) masyarakat lokal dalam pemanfaatan duyung, baik legal maupun ilegal. Penyebab turunnya populasi dan sebaran duyung, serta rusak/berkurangnya luasan, dan sebaran habitatnya.
Target lain, melaksanakan survei dan monitoring sebaran kemunculan, keterancaman, jalur migrasi, dan sebaran habitat penting Cetacea. Membuat basis data Cetacea terkait aspek sosial, ekonomi, dan budaya termasuk kearifan lokalnya.