- Mahasiswa Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya membuat kantong plastik ramah lingkungan dengan bahan utama kentang.
- Inovasi plastik ramah lingkungan ini dilakukan Hamdan Kafi Magfuri, mengingat dampak kantong plastik yang selama ini kita gunakan butuh proses panjang terurai di alam.
- Memanfaatkan kentang yang tidak lolos sortir untuk dijual di pasar, kentang tersebut digiling halus untuk diambil sari patinya. Lalu diolah dan dicampur plastisizer dan kitosan, dan dicetak pada cetakan lembaran.
- Kantong plastik ini terurai dalam waktu 28 hari di dalam tanah, sehingga tidak akan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Mahasiswa Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya, Hamdan Kafi Magfuri, memanfaatkan kentang sebagai bahan dasar pembuatan kantong plastik ramah lingkungan.
Inovasi plastik ramah lingkungan dilakukan Hamdan mengingat dampak plastik yang selama ini kita gunakan butuh proses panjang terurai di alam. Berbekal riset sejumlah penelitian sebelumnya, Hamdan fokus memanfaatkan kentang yang tersedia banyak di Indonesia sebagai bahan utamanya
“Kentang merupakan komoditas terbesar di Indonesia. Dengan inovasi ini tentunya akan menaikkan pendapatan petani kentang. Rencananya, petani kentang pun dapat memproduksi sendiri plastik ramah lingkungan tersebut,” imbuhnya.
Memanfaatkan kentang yang tidak lolos sortir untuk dijual di pasar, Hamdan menggiling halus kentang itu untuk diambil sari patinya. Selanjutnya, sari pati diendapkan beberapa hari hingga menghasilkan endapan tepung. Kemudian, endapan ini dicampur plastisizer dan kitosan, dicetak pada cetakan lembaran, serta dipanaskan selama setengah sampai satu setengah jam pada suhu 120 derajat Celcius. Plastisizer diperoleh dari glisoerol dan asam asetat, yang berfungsi untuk mendapatkan sifat plastik, yakni memadatkan adonan.
“Kitosan diperoleh dari tepung kulit udang dan cangkang kepiting. Fungsinya untuk menaikkan sifat mekanik plastik agar memiliki kekuatan menahan beban,” terangnya.
Baca: Sampah Plastik, Harus Ada Inovasi Pemanfaatannya
Hamdan menjelaskan, plastik berbahan dasar kentang ini memiliki karakteristik yang baik, yaitu memiliki kekuatan tarik sebesar 28 MPa. Standar SNI mensyaratkan daya tarik sebesar 27 MPa. Plastik ini, kata Hamdan, juga memiliki kemampuan yang sama dengan plastik konvensional dalam hal menahan air.
“Plastik berbahan sari pati kentang ini aman untuk makanan, karena tidak mengeluarkan zat karbon seperti plastik pada umumnya,” lanjutnya.
Kantong plastik berbahan dasar sari pati kentang ini diklaim dapat terurai dalam waktu 28 hari di dalam tanah, sehingga dipastikan tidak akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Penyimpanannya harus pada tempat yang minim kontak langsung udara bebas. Selain aman bagi lingkungan, sampah plastik ini juga dapat digunakan untuk pakan ternak maupun pupuk tanaman.
“Harapannya, plastik ramah lingkungan ini dapat dirasakan oleh semakin banyak masyarakat Indonesia,” ujarnya baru-baru ini.
Baca: Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar
Plastik ramah lingkungan perlu dukungan
Direktur Eksekutif Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia [KPPL-I], Puput TD Putra, mengapresiasi dan mendukung inovasi anak bangsa yang mengembangkan plastik ramah lingkungan. Menurutnya, inovasi ini harus didukung secara kebijakan dan investasi oleh pemerintah.
“Harus dipastikan kedepannya produk ini lulus uji kelayakan dan mendapat label SNI Ecolabel,” terangnya, pertengahan Januari 2021.
Selama ini, plastik yang digunakan masyarakat untuk kemasan atau kantong pembawa barang, masih konvensional, meski sudah ada produk plastik yang biodegradable dan berlabel SNI Ecolabel. Pemerintah dan dunia usaha, kata Puput, harus bersinergi mencari solusi mengenai dampak yang ditimbulkan sampah plastik.
Pemerintah dan pengusaha harus mulai melihat dan memakai produk plastik ramah lingkungan, sebagai solusi pengganti kemasan atau kantong plastik konvensional.
“Di sisi lain, pemerintah dan pengusaha harus mempunyai konsep edukasi untuk penyadaran ke publik atau konsumen.”
Baca juga: Ada Mikroplastik pada Ikan dan Garam di Bengawan Solo dan Brantas
Selama pandemi corona, konsumsi plastik mengalami lonjakan. Ini dikarenakan pola konsumsi masyarakat yang berubah, memanfaatkan layanan pesan antar, maupun makanan dibawa pulang. Sedangkan pengolahan daur ulang sampah juga terdampak pandemi, yang mengakibatkan sampah menumpuk.
Puput yang juga Ketua Umum Koalisi Kawali Indonesia Lestari [KAWALI], mengajak masyarakat dan semua pihak untuk mendukung upaya pengurangan sampah secara nasional, khususnya plastik. Penting sekali untuk mengolah sampah mulai dari sumbernya, dan tidak membuang sampah sembarangan.
“Pemerintah dan produsen juga harus merealisasikan program pengadaan tempat sampah jenis tertentu di setiap pusat keramaian atau lingkungan. Tujuannya, membiasakan masyarakat membuang sampah pada tempat yang benar,” paparnya.
Ancaman bernama plastik
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah [Ecoton], mengeluarkan pernyataan agar di tahun 2021 masyarakat berhenti “makan” plastik. Ini tidak lepas dari adanya kandungan mikroplastik dalam air sungai, yang menjadi bahan baku air minum warga. Ecoton menyebut masyarakat mengkonsumsi sekitar 1 gram plastik yang berasal dari air, makanan, dan udara yang dihirup.
“Dalam plastik terkandung 7 bahan berbahaya, sehingga harus ada regulasi pelarangan penggunaan plastik sekali pakai di kabupaten dan kota yang dilalui Sungai Brantas dan Bengawan Solo,” ungkap Tonis Afrianto, Manager Kampanye Ecoton.
Selain itu, produsen yang menghasilkan kemasan plastik harus turut bertanggung jawab dengan menyediakan tempat khusus sampah. “Bila ini tidak dilakukan, bisa jadi pesisir utara Jawa akan tergerus mikroplastik,” imbuhnya.
Temuan mikroplastik oleh tim Ecoton di pesisir utara Jawa Timur, seperti Surabaya, Gresik, Lamongan, dan Tuban, sama dengan temuan di Sungai Brantas, Sungai Surabaya, dan Sungai Bengawan Solo. Mikroplastik ukuran kurang dari 3 mm hingga 5 mm, tidak hanya ditemukan di air, melainkan juga dalam tubuh biota air, seperti ikan, udang, dan kerang, serta garam di pesisir Surabaya.
“Ini berdasarkan temuan banyak sampah plastik di ekosistem perairan,” lanjutnya.
World Economic Forum 2020 menyebutkan, hanya 39 persen masyarakat mendapatkan layanan pengumpulan sampah. Sementara, 61 persen masyarakat yang tidak mendapatkan layanan membuang sampah ke sembarang tempat.
Selain itu, buruknya pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah, menurut World Economic Forum 2020, ditunjukkan dari data yang hanya 30 persen sampah domestik terkelola baik.
“Kami mengajak masyarakat diet plastik, atau beralih ke kemasan ramah lingkungan yang dapat digunakan berulang,” pungkas Tonis.