- Kasus lahan sampai kebun plasma terjadi antara warga di Desa Pulau Pandan dan Temenggung, Jambi, dengan perusahaan sawit PT Sinar Agung Persada Mas (SAPM).
- Pulau Pandan dan Tumenggung, juga dua desa yang hadapi kerusakan lingkungan berat karena penambangan emas ilegal.
- Perusahaan memberikan 10 hektar kebun sawit di blok Katarina untuk tanah kas desa (TKD) Pulau Pandan dan Temenggung, 31 Maret lalu. Katanya, sebagai wujud kepedulian. Ternyata, lahan itu ‘sumbangan’ itu ternyata bersengketa dengan warga. Pemerintah desa tak berani ambil risiko kalau lahan sengketa.
- Abdullah, Direktur Walhi Jambi mengatakan, investasi perkebunan sawit kerap memicu konflik dan perlu pengawasan ketat. Perkebunan sawit juga rawan menimbulkan masalah lingkungan. Terlebih, Pulau Pandan dan Temenggung, kerusakan lingkungan karena penambangan emas ilegal luar biasa kalau dibiarkan bisa memicu erosi dan pendangkalan lebih cepat. Kalau hujan besar pasti banjir.
Firdaus, warga Pulau Pandan, Jambi, berupaya menuntut dan mendapatkan lahannya kembali dari Bambang Hermanto, bos PT Sinar Agung Persada Mas (SAPM). Walau Firdaus punya sertifikat hak milik, lahan tetap kena klaim perusahaan.
Bambang Hermanto, alias Sengkuang bin Jan adalah anak Harjanto bin Liu alias Yan Sumatera, pemilik SAPM yang menguasai ratusan hektar kebun sawit di Desa Pulau Pandan dan Temenggung, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kini, Bambang selaku Direktur SAPM.
SAPM mengantongi izin hak guna usaha (HGU) pada 2014 seluas 476 hektar sesuai Surat Keputusan BPN RI Nomor 65/HGU/BPN RI/2014. Pada 2016, pemerintah memberikan tambahan 200 hektar, hingga total 676 hektar. Perusahaan sawit ini berafiliasi dengan grup Wilmar Internasional.
Sejak 2008, secara teratur SAPM menjual buah sawit ke PT Agro Indah Persada (AIP), anggota RSPO.
Di lapangan, operasi SAPM terjadi berbagai masalah, seperti persoalan plasma, lingkungan, sampai perkara lahan dengan warga.
Kasus sengketa lahan dengan Firdaus bermula saat kebun karet ayahnya, M Sayuti jadi kebun sawit SAPM.
Firdaus mengatakan, kebun karet itu dibeli ayahnya, dari pemilik awal M Sabar, seorang guru ngaji. Perusahaan membabat lahan berisi karet itu tanpa ada ganti rugi kepada Firdaus. Padahal lahan ini sudah tersertifikat hak milik atas nama ayahnya.
Firdaus menyodorkan secarik copian surat jual beli tanah yang ditandatangani M Sayuti dan M Sabar 10 Agustus 1982. Dalam surat itu tertulis tanah seluas 10 hektar di Bukit Pinang Pinang Dusun Bukit Melindung, Desa Datuk Nan Tigo, Kecamatan Limun, Kabupaten Sorolangun-Bangko (Sarko) itu dijual Rp2,5 jut.
Desa Datuk Nan Tigo, kini berubah jadi Desa Pulau Pandan dan Desa Temenggung, sementara Sarko kini pecah dua sebagai Kabupaten Sarolangun dan Merangin.
“Kalau ditanyo, alasannyo perusahaan sudah beli, kalau sudah beli dengan siapo? Mano bukti jual belinyo, dio dak biso nunjukin.” Firdaus emosi.
Baca juga: Ketika Perusahaan Sawit Serobot Lahan Warga Tiga Desa di Jambi
Tanah itu kini menjadi kamp karyawan dan kantor perusahaan, sisanya kebun sawit.
Pria 56 tahun itu juga menunjukkan fotocopy surat kuasa ahli waris yang ditandatangani lima anak M Sabar: Farida, Karnisah, M.Latif, Bengkeng dan Akmal, di atas materai pada 8 Maret 2009. “Buktinyo jelas, ado.”
Di tengah perseteruan dengan Bambang, sertifikat tanah itu hilang. Firdaus mendatangi BPN meminta sertifikat dicetak ulang. Dia diminta mengumumkan ke media perihal kehilangan selama tiga hari, sebagai syarat.
Seorang perempuan warga Lubuk Linggau mengaku memegang sertifikat yang dicari Firdaus setelah melihat pengumuman di koran. Sertifikat itu bernomor GS 916 A No hak milik 454 dan No GS 916 B No hak milik 455, dikeluarkan BPN pada 1978.
“Sayo cari (perempuan yang pegang sertifikat) dapat. Saya tanyo mau diganti berapo, dio dak mau, mungkin meraso bukan hak dio, kalau dio beli pasti minta uang ganti,” katanya.
Firdaus tak tahu bagaimana setifikat itu bisa sampai Lubuk Linggau dan dipegang orang yang bukan keluarganya, bahkan dia tak kenal. Dia menduga, mungkin sertifikat tak sengaja terbuang karena dulu dianggap tidak berharga, dan orang banyak tahu kalau lahan itu milik M Sayuti yang dibeli dari M Sabar.
Setahun lebih Firdaus bolak-balik menemui Bambang di Lubuk Linggau menuntut ganti rugi tanah warisan bapaknya. Bambang bergeming. Firdaus minta bantu anggota LSM yang mengaku berkantor di Jakarta, janji memberinya 15% jika berhasil.
“Dio bilang ‘kuat ini, bapakkan pegang sertifikat’ gitu katanya. Diajak panen sawit sayo ngikut. Pas nunggu mobil, polisi datang, sayo lari, sawit sayo tinggal, sayo takut nanti urusannyo panjang.”
Firdaus frustasi. Penuh rasa marah dia kembali menemui Bambang di Lubuk Linggau. Map berisi sertifikat tanah dia banting di meja. “Sayo bilang, sudahlah sekarang gini bae, kau sanggup beli berapo tanah itu,” kata Firdaus mengulang kejadian 2018.
Bambang ngotot telah membeli lahan itu bilang surat yang dibawa Firdaus tak berguna. Firdaus marah dan mengancam membakar sertifikat. “Ini sertifikat asli, atau aku bakar ini kalau kau bilang sertifikat ini dak ado guno.”
Karena emosi, Firdus digelandang ke kantor polisi dianggap membuat onar di rumah Bambang. Disaksikan Bambang, dia diinterogasi polisi, dibentak-bentak. “Sayo trauma dibentak-bentak, akhirnyo sayo balek,” katanya.
Selang beberapa lama, Budi Ristono orang kepercayaan Bambang—kini jadi manajer SAPM—datang menemui Firdaus untuk menyelesaikan masalah tanah. Firdaus minta Rp50 juta, tetapi Bambang menolak.
“Jadi dio cuma kasih Rp20 juta, kato Budi itu uang ganti pembuatan sertifikat. Jadi bukan jual beli.” Firdaus tak mau.
Warga lain, Arsal juga alami hal serupa, tanah diserobot perusahaan. Mantan Kepala Desa Pulau Pandan itu mengaku tanahnya di dua lokasi seluas 4,2 hektar dan 2,7 hektar digarap perusahaan. Sejak 2013, hingga kini belum selesai.
“Kato perusahaan sudah beli, kalau sudah beli dengan siapo tunjuk orangnyo, kalau beli dengan orang sini (Pulau Pandan) pasti sayo tahu,” katanya.
Tanah Arsal awalnya kebun karet yang dulu bantuan program pemerintah. Arsal sempat protes setelah kebun terbabat SAPM, jalan masuk perusahaan dia portal. Dia menuntut ganti rugi lahan.
“Kalau Pak Arsal sudah diganti rugi, kita sudah jual beli, terus dia minta ganti rugi lagi. Tahun 2012, kita sudah ganti rugi semua,” kata Budi Ristono, manajer SAPM.
Perusahaan mengaku telah mengganti rugi 4,2 hektar tanah Arsal. “Sekarang ada lagi 2,7 hektar atas nama istrinya.”
Lahan 2,7 hektar Arsal berada di blok 5 atau blok Katarina. Budi bilang, perusahaan mengganti rugi semua lahan di blok Kartarina seluas 64 hektar, termasuk tanah Arsal.
Dia mengaku. Arsal sendiri telah membuat surat pernyataan tidak ada lagi pihak ketiga yang akan menuntut ganti rugi.
“Nyatanya, sekarang dia nuntut lagi.”
Budi balik menuding Arsal memalsukan tandatangan untuk pembuatan sertifikat yang diatasnamakan istrinya, Nova Rahayu. “Saksi jual beli dipalsukan semua. Kita sudah lapor, sudah di BAP di Polres,” ujar Budi.
Untuk tanah Firdaus, perusahaan mengklaim memberi ganti rugi dengan M Sabar. Karena itu, Bambang menolak memberi ganti rugi pada Firdaus.
Budi bilang, saat pembayaran ganti rugi, Sabar tidak memegang sertifikat, karena dipegang Firdaus.
“Terus Pak Firdaus klaim itu tanah dia, kita ganti rugi lagi dengan Pak Firdaus, dua kali kita ganti rugi.”
Sebetulnya, Budi tak tahu persis masalah sengketa lahan antara perusahaan dengan warga. Dia baru bekerja mulai 2015, perusahaan membuka lahan sejak 1997.
“Dulu, yang ngurus masalah lahan itu Pak Serabai, sayo ngak tahu.”
Baca juga: Konflik Lahan Warga Kumpeh vs Perusahaan Sawit Berlarut
Soal plasma
Masalah kebun sawit perusahaan ini belum usai. Akhir 2020, hubungan perusahaan dengan warga Pulau Pandan memanas. Gerakan Masyarakat Peduli Limun (GMPL) protes dan mempermasalahkan izin hak guna usaha (HGU) SAPM.
Ulwi, Ketua GMPL menduga lahan garapan perusahaan melebihi izin HGU.“Kami perkirakan itu sudah 1.000 hektar lebih,” katanya.
Dia tak menjelaskan rinci darimana angka 1.000 hektar itu. Namun dia mendesak BPN melakukan pengukuran ulang, karena perusahaan terus membeli lahan masyarakat untuk jadi kebun sawit.
Ulwi juga menemukan perusahaan menanam sawit di bibir Sungai Batang Rebah. Ulwi bilang, perusahaan melanggar Peraturan Pemerintah No.38/2011 tentang sungai yang mengatur garis sempadan sungai minimal 100 meter.
Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan sampai Asisten I Setda Sarolangun, bukan tidak tahu. Ulwi menyatakan, telah menyampaikan itu dalam pertemuam umum di Polres dan Kantor Bupati Sarolangun yang dihadiri ketiganya.
“Mereka tahu semua, tapi tak ada tindakan. Harusnya semua aturan di Sarolangun ini dihapus saja semua, jadi bebas.”
Arief Ampera, Asisten I bidang Pemerintahan Setda Sarolangun, yang ditemui Mongabay, tak menjelaskan mengenai protes Ulwi dari soal dugaan tanam di luar HGU sampai pelanggaran tanam dekat sempadan sungai. Dia mengatakan, kesalahan perusahaan hanya belum membangun kebun plasma buat masyarakat.
“Ribut itu karena lebih dari tiga tahun perusahaan belum membangun plasma, kesalahannya cuma itu, kalau ada tanah penduduk yang diambil tidak ada.”
Semestinya, kata Arief, perusahaan membangun kebun plasma tiga tahun setelah perusahaan mendapatkan izin HGU. Sudah tujuh tahun, SAPM tak juga membangun plasma. Meski demikian, dia bilang investasi harus tetap dijaga.
Dia sudah empat kali mengumpulkan masyarakat dan perusahaan untuk mediasi. Perusahaan akhirnya sepakat membangun kebun plasma seluas 20% dari izin HGU di luar kebun.
Budi meminta Pemerintah Desa Pulau Pandan dan Temenggung menyiapkan lahan milik masyarakat untuk bangun kebun plasma.
Supriadi, Kepala Desa Tumenggung mengusulkan, hamparan tanah berbatu bekas tambang emas ilegal di seberang sungai sekitar 500 hektar jadi kebun plasma. Dia tak mau mengorbankan kebun karet atau ladang masyarakat di sekitar kebun perusahaan.
“Kalau lahan yang utuh atau kebun karet kita rugi. Kalau bekas dompeng walau modalnyo agak besar sedikit tapi dampak lingkungan kan ada manfaatnya,” katanya.
Setidaknya , 13 warga setuju 50 hektar lahan miliknya jadi kebun plasma. “Bekas dompeng ini gak biso lagi, nak buat apo lagi.”
Supriadi melarang warga menjual lahan pada perusahaan karena tanah produktif di Desa Temenggung sudah makin sempit.
Banyak lahan rusak karena penambangan emas ilegal, sebagian tanah telah dikuasai perusahaan perkebunan sawit SAPM dan Makin Grup.
Pulau Pandan dan Tumenggung, ini dua desa yang hadapi kerusakan lingkungan berat karena penambangan emas ilegal.
Pemerintah Desa Pulau Pandan, juga menyiapkan ratusan hektar lahan bekas penambangan emas ilegal untuk lokasi plasma.
Jhon Jasmin, Kades Pulau Pandan menyebut, sudah 20-an orang yang setuju tanah jadi plasma.
Menurut Budi, hanya warga pemilik lahan yang akan mendapatkan kebun plasma. “Kalau nggak punya lahan ya nggak dapat.”
Perusahaan memberikan 10 hektar kebun sawit di blok Katarina untuk tanah kas desa (TKD) Pulau Pandan dan Temenggung, 31 Maret lalu. Acara penyerahan disaksikan Asisten I, Kakan Kesbangpol, Kasapol PP, pewakilan Polsek Limun dan Danramil Limun, serta kepala desa Pulau Pandan dan Temenggung.
Budi bilang itu wujud kepedulian perusahaan pada masyarakat sekitar. Ulwi menilai perusahaan hanya berusaha meredam gejolak di masyarakat. Sebab tak ada aturan yang mewajibkan perusahaan harus memberikan TKD.
Jhon kaget kebun TKD yang diberikan perusahaan bersengketa dengan warga. Dia menolak membuat rekening bank untuk uang hasil panen sawit meski diminta Budi.
“Tiga hari lalu mau panen, ternyata sebagian sudah dipanen warga yang klaim lahan itu.”
Arsal mengklaim sebagian kebun TKD yang diberikan untuk Desa Pulau Pandan miliknya. Belakangan, diketahui lahan 2,7 hektar itu telah dijual ke Bujang Rafli, warga Pulau Pandan. Kini, konflik lahan makin rumit.
“Waktu penyerahan bilang tak ada masalah, ternyata lahan sengketa. Saya gak mau terima, saya ngak mau ribut dengan warga sendiri,” kata Jhon.
“Saya ingin urusan lahan itu selesaikan dulu, buat sertifikat baru saya mau terima.”
***
Permasalahan SAPM bukan hanya lahan dan plasma, dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) perusahaan juga tak jelas. “Kalau dibilang ada, itu yang gak ada, kalau bilang gak ada ya ada,” kata Jhon.
Dia mengaku perusahaan tak pernah memberikan bantuan sembako atau lain-lain seperti umumnya perusahaan memberikan CSR. Budi mengaku perusahaan banyak memberikan kontribusi pada masyarakat.
Saat pertemuan di Polres Sarolangun, Budi mengatakan perusahaan banyak memberikan kontribusi pada Desa Pulau Pandan dan Temenggung seperi membantu uang tunai untuk kegiatan pramuka di Kecamatan Limun 2019. Pembelian 2.000 batubata untuk pembangunan musala, bantuan alat berat JBC untuk meratakan halaman masjid dan perbaikan jalan, semen 15 sak untuk pembangunan musala dan bantuan bibit sawit untuk penghijauan MTS Pulau Pandan.
Pada 2020, perusahaan tercatat empat kali meminjamkan alat berat untuk perbaikan jalan di Limun, dan menyumbang 10 pondok bibit sawit untuk peneduh Masjid Muhajirin, Perumnas Kantor Bupati Sarolangun. Jhon bilang, perusahaan menganggap peminjaman alat berat bagian dari CSR.
Abdullah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi mengatakan, investasi perkebunan sawit kerap memicu konflik. Dia mendorong pemerintah pengawasan ketat. Masalah kebun plasma kerap jadi konflik, karena banyak perusahaan yang tak membangunnya.
“Semestinya, saat proses perizinan sudah ada rencana pembangunan plasma hingga tak menimbul konflik.”
Pemerintah juga harus memastikan masyarakat yang menerima plasma benar-benar warga yang berhak. “Jangan sampai kayak telur mata sapi, ayam yang punya telur tapi sapi yang dapat nama. Itu banyak terjadi.”
Dia juga menyinggung dampak lingkungan. Banyak perkebunan sawit perusahaan yang melakukan pelanggaran hingga menimbulkan masalah lingkungan. Dia khawatir, sempadan sungai ada tanaman sawit akan memicu masalah besar.
Terlebih, katanya, Pulau Pandan dan Temenggung, kerusakan lingkungan karena penambangan emas ilegal terjadi luar biasa.
“Ini kalau dibiarkan akan memicu erosi dan pendangkalan terjadi lebih cepat. Kalau hujan besar pasti banjir.”
***
Kebun karet Firdaus sudah jadi kebun sawit perusahaan. Kini, dia tak lagi punya kebun dan praktis kehilangan sumber penghidupan. Di usia kepala lima, dia tak punya penghasilan, hanya berharap bantuan dari anak-anaknya.
Dia pun tetap berharap tanahnya kembali. “Itu hak sayo, dan ggak pernah sayo jual. Sampai kapan pun sayo ggak mau jual.”