Udang windu, atau dalam Bahasa Aceh dikenal dengan udeung wat, merupakan salah satu primadona sektor perikanan di Aceh. Penangkapannya di alam secara intensif sudah dilakukan sejak periode 1960-an, dimana nelayan masih banyak menggunakan pukat harimau (trawl) sebagai alat tangkapnya. Presiden Soeharto kemudian melarang penggunaan alat tangkap ini melalui Kepres No.39 Tahun 1980 karena dianggap merusak ekosistem pesisir dan laut. Nelayan pun mulai mencari alternatif untuk tetap memproduksi udang ini dengan cara membudidayakannya dengan sistem tambak.
Periode 1982-2001 merupakan periode emas budidaya udang windu di Aceh, dimana hampir semua kota dan kabupaten di pesisir timur Aceh memiliki lahan tambak udang windu. Lahan tambak ini menempati kawasan pesisir yang notabene yang dihuni oleh ekosistem mangrove atau lebih kenal sebagai hutan bakau.
Keadaan ini memang dihadapkan pada posisi yang sulit, mendahulukan perekonomian masyarakat pesisir atau mempertahankan ekosistem untuk keberlanjutan lingkungan. Periode tersebut tentunya sebelum masyarakat Aceh mengenal budidaya udang dengan sistem silvofishery, dimana usaha tambak tetap dijalankan dengan tetap mempertahankan hutan bakau.
Infrastruktur tambak yang buruk serta kapasitas petambak yang terbatas menyebabkan pengelolaan tambak di pesisir timur Aceh kala itu mulai mengalami banyak masalah. Kejadian tersebut terjadi pada periode 2001-2004. Hama dan penyakit mulai bermunculan yang menyebabkan tingkat kematian pada udang windu yang dipelihara makin meningkat. Akses pasar pun mulai sulit karena persaingan di pasar global. Kondisi ini diperparah dengan kualitas pesisir dan laut timur Aceh yang juga semakin menurun akibat kehilangan banyak ekosistem mangrove.
baca : Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya
Mangrove Hilang, Udang Windu Juga Hilang
Sudah banyak penelitian yang menyebutkan bagaimana keterikatan kuat antara ekosistem mangrove dengan keberadaan udang windu. Penulis sedikit bercerita tentang siklus hidup udang windu di alam. Udang ini memijah (menghasilkan telur) di perairan laut lepas dengan kedalaman 10 sampai 80 meter. Telur-telur tersebut kemudian menetas dan berkembang menjadi nauplius, protozoa, mysis, sampai megalopa.
Pada fase-fase ini, arus laut membawa mereka ke arah pesisir hingga sampai di ekosistem mangrove. Ekosistem ini lah yang dijadikan habibat berikutnya untuk udang windu mencari makan dan tumbuh berkembang. Fase juvenil udang windu mendapatkan banyak makanan dari habitatnya ini. Hal ini karena banyaknya nutrisi yang berkumpul di mangrove akibat pertemuan dua ekosistem utama, sungai dan laut. Ketika masuk fase menjelang dewasa, udang windu mulai bergerak kembali ke arah laut lepas dan saat sudah dewasa mereka siap untuk kawin dan memijah di laut lepas.
Lalu, bagaimana jika mangrove hilang?
Sudah dapat dibayangkan tentunya. Udang windu akan kehilangan salah satu habitat penting dalam siklus hidupnya. Anakan udang windu yang sangat membutuhkan asupan nutrisi kehilangan lahan untuk tumbuh berkembang. Dalam ilmu biologi, gangguan pada salah satu fase siklus hidup biota akan sangat berpengaruh pada fase berikutnya. Populasi udang windu akan kehilangan banyak stok juvenil kemudian kehilangan stok udang dewasa sebagai efek domino dari masalah ini. Secara singkat, penulis dapat menyimpulkan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kelimpahan udang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap stok rekrutmen dan populasi udang dewasa di alam.
Penulis juga mencatat, usaha tambak udang windu di Aceh masih mengandalkan induk udang windu di alam. Hal ini menyebabkan usaha penangkapan induk udang windu secara intensif pun masih terus berjalan. Tidak hanya untuk kebutuhan petambak lokal, induk udang windu juga didistribusikan ke beberapa daerah di Indonesia karena memiliki kualitas terbaik jika dibandingkan dengan induk udang windu dari daerah lain.
Penelitian membuktikan bahwa induk udang windu Aceh dapat menghasilkan telur yang lebih banyak, ukurannya lebih besar dan memiliki kualitas genetik yang baik. Intensitas penangkapan yang tinggi serta penurunan kualitas lingkungan akibat hilangnya habitat mangrove, merupakan kombinasi yang sempurna untuk menurunkan populasi udang windu di alam. Sedikit sarkasme memang, tapi begitulah sains berbicara.
perlu dibaca : Mencermati Kondisi Mangrove 11 Tahun Pasca Tsunami Aceh
Pengendalian dan Pemulihan Ekosistem Mangrove
Penulis melakukan penelitian untuk mengestimasi stok udang windu di pesisir Kabupaten Aceh Timur dan status eksploitasinya. Hasilnya menunjukkan sediaan stok udang windu hanya 1.450 ton dengan jumlah yang layak ditangkap sebesar 120 ton per tahun. Angka ini terbilang kecil untuk jenis biota dengan kategori umur pendek seperti udang windu.
Tekanan terhadap populasi yang semakin tinggi akan mengakibatkan angka-angka tersebut semakin kecil. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin nelayan pulang dari laut tanpa membawa hasil tangkapan apapun, yang artinya udang windu sudah hilang di perairan. Indikasi-indikasi ke arah sana pun sudah mulai dirasakan. Hasil tangkapan yang semakin sedikit serta ukuran udang yang semakin mengecil. Belum lagi ditambah dengan udang-udang yang terinfeksi penyakit akibat lingkungan perairan yang semakin buruk.
Lalu, bagaimana mengantisipasinya?
Upaya pengendalian dan pemulihan lingkungan perairan mutlak harus dilakukan. Fungsi penting ekosistem yang sudah penulis sampaikan sebelumnya, menjadikan mangrove sebagai ekosistem yang harus dipulihkan. Beberapa langkah taktis bisa dijadikan opsi untuk pemangku kepentingan. Pertama, rehabilitasi ekosistem mangrove yang sudah rusak akibat alih fungsi lahan dan penebangan liar pohon bakau. Upaya ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun penulis beranggapan ini harus mulai dianggarkan dalam program pemerintah daerah. Kolaborasi dengan sektor swasta dan non pemerintah lainnya, termasuk lembaga internasional, perlu ditingkatkan untuk mengurangi beban anggaran. Upaya rehabilitasi ini juga berlaku untuk lahan eks tambak yang saat ini banyak terbengkalai akibat collapse-nya usaha tambak.
Kedua, penguatan perizinan pembukaan lahan di kawasan ekosistem mangrove. Pemangku kepentingan lokal perlu untuk lebih selektif dalam memberikan izin terhadap semua pihak yang ingin memanfaatkan lahan. Valuasi ekonomi serta perhitungan cost and benefit terhadap lingkungan menjadi kunci penting. Pemangku kepentingan harus tegas jika ternyata hasil perhitungan lebih banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan hanya menghasilkan keuntungan jangka pendek bagi masyarakat. Komitmen yang kuat memang menjadi modal utama keberhasilan upaya ini.
Ketiga, peningkatan peran masyarakat dalam semua upaya yang akan dilakukan. Upaya ini adalah kunci keberhasilan dan upaya-upaya sebelumnya. Kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat secara penuh tentu akan menjadi pincang. Persepsi masyarakat pesisir terhadap ekosistem mangrove harus diperkuat sehingga mereka merasa memang perlu untuk menjaga mangrove demi kehidupan yang lebih baik di masa depan. Peningkatan peran masyarakat dalam pengawasan dan penegakkan peraturan juga menjadi langkah taktis berikutnya. Penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk isu-isu eksploitasi mangrove yang destruktif bisa dijadikan alternatif untuk pemerintah lokal. Dalam konteks ini juga, peran kelembagaan Panglima Laot juga menjadi penting sebagai otoritas pengelola kawasan pesisir dan laut di Aceh.
Sebagai penutup, dalam momen Hari Mangrove Internasional yang jatuh pada tanggal 26 Juli, penulis ingin mengajak para pembaca untuk sama-sama menjaga ekosistem mangrove yang ada di sekitar kita. Jangan biarkan kerusakan yang selama ini ada justru datang dari tangan-tangan kita. Selamatkan mangrove kita atau mereka akan tamat!
***
*Adrian Damora, S.Pi, M.Si. Staf Pengajar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Peneliti Sumber Daya Pesisir dan Laut. e-mail: [email protected]