- Desa Klino secara geografis dikelilingi oleh hutan tanaman jati, sonokeling, pinus, sengon hingga sengon. Area persawahan dan pertanian amat minim, sementara warganya tergantung hidup sebagai petani penggarap lahan hutan.
- Saat Dwi Nurjayanti dilantik sebagai Kepala Desa tahun 2019 dia melirik tanaman porang sebagai tanaman yang dapat dikembangkan di bawah tegakan.
- Saat ini Desa Klino telah menjadi sentra porang di Kabupaten Bojonegoro, dari sekitar 600 hektar, dihasilkan 12 ton porang basah.
- Upayanya membuat Desa Klino dinobatkan sebagai desa permodelan untuk program Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
Saat Dwi Nurjayanti (31) menjadi kepala desa Desa Klino pada tahun 2019, hanya satu yang dipikirkannya. Yaitu, bagaimana cara memberdayakan warga sekaligus menjaga hutan agar tetap hijo royo-royo.
Pilihannya jatuh pada porang, Dwi terbukti tepat. Sekarang Klino menjadi salah satu pusat kebangkitan budaya agraris di Bojonegoro.
“Awalnya program ini dirancang untuk menghentikan pembalakan liar oleh masyarakat,” sebut Dwi menyebut alasan sebenarnya.
Secara geografis, Desa Klino, Kecamatan Sekar, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dikelilingi hutan produksi yang ternaungi tegakan rindang tanaman jati, sonokeling, sengon sampai pinus. Mayoritas warga Klino adalah petani penggarap lahan hutan atau disebut pesanggem.
Masyarakat desa sekitar hutan umumnya bisa dibilang tak punya pekerjaan tetap, di sisi lain mereka butuh penghasilan untuk hidup. Sebagian besar warga tak memiliki lahan, hanya bergantung pada hak guna tumpangsari lahan Perhutani.
Jelas tak banyak pilihan lahan tanaman pangan seperti palawija yang membutuhkan banyak intensitas cahaya matahari.
Baca juga: Porang Kaya Manfaat, masih “Asing” di Indonesia, Laris di Jepang
Persoalan Ekonomi
Cara Dwi bergerak secara sistematis. Dia mulai bekerja dari pangkal soalnya, yaitu persoalan ekonomi.
Sejak dilantik 2019, Dwi merintis agroforesti tanaman buah sebagai model pemberdayaan masyarakat. Pemikirannya sederhana tapi fundamental. “Kalau buahnya bisa dipanen kan enggak mesti ditebang pohonnya.”
Bekal pengetahuan yang didapat dari beragam pelatihan yang pernah diikutinya, membawa Dwi tahu tentang produk iles-iles yang diminati pasar luar negeri. Dia lalu ingat porang tanaman bawah tegakan yang bisa dikembangkan di desanya.
Porang (Amorphopallus onchopillus) dahulu dianggap tak lebih tumbuhan liar yang lazim ditemukan di sela-sela tegakan tanaman jati. Nilai ekonominya rendah, tak ada yang menengoknya sebagai tanaman ekonomi penting.
Sekarang kebalikannya, porang telah menjadi primadona Kabupaten Bojonegoro. Porang dibudidayakan di Kecamatan Sekar, hingga Kecamatan Gondang.
“Semula kami tanam di tanah kas desa dulu,” kata Dwi. Dia juga ingat tantangan saat dia pertama kali memulai programnya. “Besok-besok engga tak pilih lagi sampeyan ya,” sebut Dwi menirukan respon warga yang tak sepandangan dengan program desa yang dicanangkan.
Tapi Dwi mampu membuktikan dia tidak hanya sedang berwacana.
Budidaya porang di Desa Klino eksisting saat ini sekitar 600 hektar. Jika diestimasikan dalam satu hektar jumlah tanaman 3000 rumpun, maka porang yang dihasilkan menghasilkan 12 ton umbi basah.
Saat ini harga porang basah atau baru petik adalah Rp7.000 per kilogram. Meski harga tepung porang lebih mahal, namun Dwi bilang, kemampuan masyarakat Desa Klino belum sampai ke arah sana.
Selain manfaat ekonomi, menanam porang berarti turut menjaga hutan. Tanaman porang tidak bisa tumbuh di tempat terbuka seperti area persawahan. Ia akan berkembang baik bila mendapat naungan tajuk pepohonan 70 persen.
Setelah porang berhasil dibudidayakan dengan baik, Dwi sadar dia perlu berkolaborasi. Dia lalu membangun sepemahaman dengan Perhutani. Masyarakat tepian hutan diberdayakan melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Pandan Arum.
Porang di Bojonegoro tersebar di berbagai blok tanaman KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Padangan dan KPH Bojonegoro. Sebut Dwi, sinergi ini menumbuhkan rasa ketergantungan terhadap hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat. Dengan tanaman porang secara masif, hasilnya signifikan dalam menekan angka pencurian kayu.
Baca juga: Ubi Banggai, Tanaman Pangan Primadona Sulawesi Tengah
Memetik Manfaat
Umbi porang memang memiliki banyak manfaat. Di luar negeri, porang digunakan sebagai bahan baku mie dan beras shirataki, makanan favorit di Jepang. Tapi pengolahannya harus cermat, karena mengandung sianida.
Bukan hanya makanan, umbi porang juga digunakan sebagai bahan baku industri kecantikan, bahan baju anti peluru, isolator listrik, hingga menjadi bagian interior pesawat. Manfaat dan nilai ekonomis yang tinggi ini membuat porang menjadi idola baru untuk dikembangkan.
Lalu bagaimana dengan masa depan tanaman porang rakyat di bawah tegakan tanaman Perhutani?
“Alhamdulillah sekarang kami diberi izin menggarap lahan hutan lewat skema perhutanan sosial untuk jangka waktu 35 tahun.”
Dwi pun berhasil meyakinkan pihak perbankan untuk memberikan kredit usaha rakyat untuk mendukung para petani porang di Klino. Dwi lantas mendorong berdirinya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hasilnya usahanya kini makin berkembang.
Sejak mengenal porang, masyarakat antusias menggarap lahan hutan. Mereka berbondong-bondong mendaftar sebagai anggota LMDH. Pada awalnya, hanya sedikit orang yang mau menanam porang. Justru sekarang hampir semuanya ditanami porang.
Bagi warga Desa Klino, porang adalah primadona yang diibaratkan sebagai “emas hitam” karena hasil panen porang bisa langsung dijual. Produktivitasnya juga terbilang tinggi. Setiap satu hektar lahan yang ditanami porang bisa membukukan pendapatan Rp 84 juta.
Panen porang berlangsung sekali dalam setahun. Penanaman cukup dilakukan sekali dan hasilnya bisa dinikmati setiap tahun.
Baca juga: Sumber Pangan sehat Bisa dari Tanaman Pekarangan Rumah
Menuju Desa Hutan Berkelanjutan
“Ketika sudah enjoy mudah melibatkan banyak orang untuk peduli terhadap kelestarian hutan karena apa? Karena ini merupakan warisan untuk anak cucu kita,” terang Dwi.
Kata Dwi, melalui porang, petani bisa semakin sejahtera dan hidup lebih makmur. Nilai jual porang yang tinggi, dan minat pasar yang juga sedang bergeliat, menjadi momentum untuk membangkitkan kembali budaya masyarakat agraris.
Sejak porang mampu memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat tidak lagi terfokus mencuri kayu. Lebih jauh lagi, ia bermimpi agar semua petani bisa menjadi lebih merasakan manfaat dari sektor agrofresti seperti durian, kelengkeng, apukat, jeruk, matoa dan jambu.
Tahun ini, Desa Klino dinobatkan sebagai desa permodelan pada program Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dari Perhutani.
Langkah ini sangat berarti, mengingat masa depan Kabupaten Bojonegoro yang luas wilayahnya mencapai 230.700 hektar amat dipertaruhkan pada kelestarian hutan. Pasalnya, lebih 40 persen wilayah kabupaten tersebut berupa kawasan hutan.
Sebagai pemimpin perempuan Dwi punya sisi lembut dan kesabaran, dia berhasil mentransformasi warga desanya menuju kemakmuran dan keberlanjutan. Desa Klino merupakan bukti bahwa dengan berani mencoba, pengetahuan berkembang dan walhasil menemukan solusi- atas permasalahan yang mereka hadapi.
Dengan berbekal pada prinsip mempertahankan alam yang ijo royo-royo demi terwujudnya kehidupan Toto Tentrem Kerto Raharjo, Dwi menunjukkan semangat pemimpin yang perlu diteladani.
View this post on Instagram