- Ada sembilan spesies hiu berjalan [walking shark] di dunia, lima spesies diketahui berada di Indonesia. Satu di antaranya adalah jenis hiu berjalan yang hanya akan ditemukan di perairan Maluku Utara.
- Jenis makanan utama yang disukai ikan hiu berjalan Halmahera adalah ikan kecil, krustacea seperti kepiting dan udang, serta moluska.
- Di Teluk Kao, Halmahera Utara, diduga bahwa salah satu faktor penyebab kondisi habitat hiu berjalan Halmahera rentan terhadap degradasi akibat aktivitas antropogenik, dan terutama adanya pengaruh pencemaran logam berat seperti merkuri dari aktivitas pertambangan.
- Ancaman lainnya adalah penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, tumpahan minyak, peningkatan suhu, bencana seperti angin siklon dan tsunami, kerusakan pantai, pembangunan wilayah pesisir dengan cara reklamasi, serta industri pariwisata yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Keberadaan hiu berjalan menjadi salah satu daya tarik para penyelam dan juga para ilmuwan untuk diteliti. Spesies ini sangat unik karena ketika berenang, tapi menggunakan empat sirip di kedua sisi tubuhnya, sehingga terlihat seperti berjalan.
Di dunia, terdapat sembilan spesies hiu berjalan [walking shark]. Dari jumlah tersebut sebanyak lima spesies hidup di Indonesia yang empat jenis merupakan spesies endemik atau hanya ditemukan di perairan Indonesia.
Keempatnya adalah hiu berjalan Halmahera [Hemiscyllum halmahera], hiu berjalan Raja Ampat [H. freycineti], hiu berjalan Teluk Cendrawasih [H. galei], dan hiu berjalan Teluk Triton Kaimana [H. henryi].
Sementara, satu spesies lagi, yaitu hiu berjalan [H.trispeculare] yang ditemukan di perairan Aru Maluku, tidak masuk endemik. Ini dikarenakan, jenis tersebut bisa ditemukan juga di pantai utara dan barat Benua Australia.
Baca: Hiu Berjalan di Perairan Indonesia Ternyata Masih Berevolusi
Dalam Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik berjudul “Pola Sebaran dan Kelimpahan Hiu Berjalan Halmahera [Hemiscyllium halmahera] di Teluk Weda Maluku Utara, Indonesia” yang ditulis Mu’min dkk, [2021], dijelaskan bahwa hasil analisis data menunjukkan, terdapat dua pola sebaran hiu berjalan halmahera, yaitu mengelompok dan acak.
Sementara, masyarakat di sana diketahui tidak memanfaatkan hiu itu untuk dikonsumsi atau dijual. Namun, sering tertangkap jaring nelayan.
Untuk ketersediaan sumber makanan, hiu berjalan Halmahera sangat dipengaruhi habitat lamun dan terumbu karang, serta kadar oksigen terlarut. Kondisi ini baik untuk kehidupan spesies hiu dan kehidupan organisme lain sebagai sumber makanan dalam habitat tersebut.
“Hiu berjalan Halmahera tergolong karnivora bentik dengan variasi makanan yang cukup beragam, terdiri organisme karang yang didominasi ikan kecil, annelida, copepoda, krustasea bentik, dan zooplankton,” ungkap para peneliti.
Baca: Ternyata Perairan Indonesia Timur Adalah Rumah Hiu Berjalan yang Hanya Ada di Indonesia
Penelitian lainnya berjudul “Kondisi Ikan Hiu Berjalan Halmahera [Hemiscyllium halmahera] Di Perairan Teluk Kao, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara” yang ditulis Yoppy Jutan, dkk, dijelaskan bahwa makanan utama yang disukai hiu ini adalah ikan kecil, krustacea seperti kepiting dan udang, serta moluska.
Dari pengamatan isi lambung terdapat jenis makanan yang dimakan oleh hiu berjalan Halmahera berupa cacing-cacing laut [polychaeta] atau dikenal dengan sebutan lokal sebagai “laor”. Cacing tersebut banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral, bahkan yodium yang berguna bagi pertumbuhan, sistem kekebalan tubuh, juga untuk pertumbuhan janin.
Hiu berjalan Halmahera merupakan spesies endemik Maluku Utara dengan wilayah persebaran sempit dan spesifik. Peran pentingnya dalam sistem rantai makanan di laut terutama pada struktur komunitas terumbu karang yang dangkal. Selain memiliki frekunditas sangat sedikit hanya dua butir telur setiap induk per tahunnya, ternyata pola pertumbuhannya juga tergolong lambat.
“Diduga, salah satu faktor penyebab adalah kondisi habitatnya yang rentan terhadap degradasi akibat aktivitas antropogenik, terutama adanya pengaruh pencemaran logam berat seperti merkuri dari aktivitas pertambangan.”
Baca juga: Hiu Berjalan, Si Unik dari Negeri Seribu Pulau
Dijelaskan juga bahwa meskipun kondisi pertumbuhannya sehat, namun terdapat ancaman degradasi habitat yang mempengaruhi kelangsungan hidup populasi ikan hiu berjalan Halmahera ini. Terutama dari aktivitas pertambangan di pesisir Teluk Kao, sehingga perlu dilakukan kebijakan pengelolaan dan konservasi spesies hiu endemik itu secara berkelanjutan.
“Teluk Kao berada di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Lokasi ini memiliki struktur dan fisiografi menyerupai sebuah baskom, terletak di antara lempeng utara dan timur laut Pulau Halmahera. Di wilayah pesisir Teluk Kao terdapat pertambangan emas dengan luas wilayah eksplorasi sekitar 449.300 hektar, bahkan diperluas lagi hingga 1.672.968 hektar,” ungkap peneliti.
Dalam penelitian tersebut dilakukan juga perbandingan hasil analisa terhadap kandungan logam berat merkuri di perairan ambang Teluk Kao, melalui pemeriksaan toksikologi terhadap beberapa sampel dari organ hiu tersebut, pada Januari dan Juli 2017. Yaitu, organ hati, jantung, dan pencernaan yang telah melewati ambang batas.
Namun, pada sampel lainnya seperti kulit dan sampel daging, masih dalam ambang batas kewajaran, atau tidak melewati ambang batas maksimum cemaran merkuri. Kondisi ini sama dengan hasil temuan pada lokasi penelitian yang sama di perairan sekitar Pulau Bobale di Teluk Kao, bahwa sudah terindikasi tercemar logam berat. Namun, hasil analisa menunjukan kandungan logam berat tidak melebihi nilai ambang batas.
Victor Nikijuluw, Marine Program Director Conservation International [CI] Indonesia, sebelumnya mengatakan, keberadaan hiu berjalan masih sangat langka. Daerah sebarannya terbatas dari pada perkiraan sebelumnya, akibatnya spesies unik ini lebih mungkin terpapar pada ancaman setempat.
Yang dimaksud ancaman setempat, adalah seperti penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, tumpahan minyak, peningkatan suhu, bencana seperti angin siklon dan tsunami, kerusakan pantai, pembangunan wilayah pesisir dengan cara reklamasi, serta perkembangan industri pariwisata yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan.