- Kisah kelompok porter pengangkut tangki selam di Tulamben, Karangasem, Bali, yang ikut mengembangkan wisata bawah laut.
- Selama hampir dua tahun pandemi COVID-19 ini, warga pesisir Tulamben terpuruk karena sangat tergantung wisata bawah laut.
- Kelompok porter yang dominan perempuan ini menjaga semangat dengan mempertahankan solidaritas, berapapun hasil yang didapat, dibagi rata untuk semua anggotanya.
- Selain porter tangki, juga ada kelompok nelayan dan kelompok pijat yang tergantung pada turis wisata keindahan bawah laut Tulamben.
Jika snorkeling atau menyelam di Tulamben, Karangasem, Bali pasti melihat rombongan warga yang mengangkut peralatan selam, salah satunya tangki oksigen yang diperlukan penyelam. Kelompok porter tangki ini didirikan dan diawaki mayoritas perempuan yang bermukim di pesisir.
Sejumlah perempuan porter tangki terlihat membaca penggalan kisahnya di sebuah spanduk yang dipasang di pantai pada Kamis (12/11/2021) lalu. Titik pantai ini dikenal dengan nama Liberty Wreck, area tenggelamnya kapal logistik Amerika Serikat saat Perang Dunia II pasca dibom tentara Jepang di Selat Lombok.
Sedikitnya ada lima titik kelompok porter ini kumpul dan bekerja yakni Puri Madha, Drop off, Coral Garden, dan Ocean View. Dalam spanduk itu ada foto dan kronologis terbentuknya kelompok yang bernama Sekar Baruna ini.
Hal menarik dari kelompok ini adalah bagaimana mereka mengorganisir diri, membuat Tulamben populer sebagai destinasi wisata bawah laut. Dua tahun masa pandemi ini begitu menyesakkan. Penghasilan per hari rata-rata Rp70-80 ribu per hari bisa menjadi nol rupiah, paling sering kurang dari Rp5.000 per hari.
Kelompok porter ini membagi berapapun hasil yang didapat hari itu dengan rata ke 29 orang anggotanya. Misal satu hari hanya mengangkut 5 tangki dengan upah Rp10 ribu per tangki, maka Rp50 ribu dibagi 29 orang. Solidaritas itulah harapan mereka di tengah pandemi ini karena uang kas bersama yang jadi modal simpan pinjam sudah habis.
baca : Hancurnya Industri Wisata Selam Indonesia di Tengah Wabah Corona
Menelusuri sejarah kelompok porter ini adalah mengurai sejarah tersohornya Tulamben yang pantainya pasir hitam penuh bebatuan hasil material erupsi Gunung Agung di masa lalu. Inilah rangkuman kisah dua perintis kelompok porter ini, dua lanjut usia Ni Putu Kadek dan I Nyoman Degeng.
Pada 1980-an, nenek Putu mengingat ia akan segera berlari kencang ke arah jalan raya ketika mendengar ada kendaraan membawa turis mendekat ke pantai. “Saya sering lupa pakai baju,” ia terkekeh. Ia mengabaikan kondisi telanjang dada demi menjadi yang pertama menyentuh barang bawaan penyelam. Putu akan memeluk barang tersebut sebagai tanda tidak boleh ada orang lain yang mengangkut. Itu rejekinya.
Tak jarang antar porter rebutan barang misal tarik menarik tas atau saling bertengkar. Desa Tulamben yang sunyi sontak riuh rendah karena ulah porter.
Para penyelam makin banyak datang, jasa porter pembawa alat selam dan tangkinya pun makin dibutuhkan. Terlebih saat itu belum ada jalan setapak menuju pantai, porter inilah yang lihat menyibak rumput dan berjalan di bebatuan.
Agar tak lagi ada insiden tarik menarik barang dan demi kenyamanan penyelam, sekitar 1983 para porter merintis kelompok. Mereka harus mendaftarkan diri dan memenuhi syarat yang ditentukan. Upah mengangkut tangki saat itu sekitar Rp500 per unit.
Kemudian pada 1990-an baru hadir hotel di Tulamben. Perintisnya adalah Hotel Bali Timur (kini Hotel Mimpi), Hotel Paradise, dan Hotel Ganamayu (kini Touch Tulamben Resort). Diikuti puluhan perusahaan dive operator yang menyediakan pemandu selam dan peralatannya. Kini, desa ini dipenuhi dive shop dan warganya berhasil membuat Organisasi Pemandu Selam Tulamben yang beranggotakan pemandu selam lokal.
baca juga : Beginilah Pemandu Selam Lokal Tulamben Menjaga Pesisirnya
Selama PPKM, Putu mengaku stres karena tidak boleh kumpul di pantai, tidak ada pertemuan kelompok porter, dan tiada penghasilan. “Susah tidur, kapan bisa kerja lagi,” keluhnya lansia yang masih semangat kerja keras ini.
Kelompok porter tangki meresmikan wadah Koperasi Sekar Baruna jelang 1990. Artinya bunga atau rejeki dari laut.
Ada dua versi tentang jumlah keanggotaan pertama kali. Ada yang menyebut 8 dan 15 orang. Kesepakatan unik kelompok ini adalah, seluruh penghasilan buruh tangki harus dimasukkan dulu ke bendahara. Setelah dipotong sumbangan ke desa adat sebanyak 5% dan kas 5%, barulah sisanya dibagi rata.
Upah buruh terus meningkat, dari Rp500 jadi Rp1.000, lalu Rp4.000, lalu sampai Rp10.000 per tangki saat ini. Walau para buruh juga mengangkut tas peralatan selam, namun yang dihitung sebagai upah hanya jumlah tangki yang diangkut.
Membludaknya penyelam yang datang ke Tulamben membuat kelompok buruh tangki ini diincar warga lain. Namun, Koperasi Sekar Baruna ini sudah memiliki kesepakatan, hanya 29 orang yang bisa jadi anggota. Jika ada yang yang ingin bergabung, hanya bisa membeli kuota yang sudah ada. Itu pun jika ada yang mau menjualnya.
Walau nyaris semua buruh tangki adalah perempuan, yang terdaftar sebagai anggota dan pengurus kelompok dan koperasi adalah nama suaminya.
menarik dibaca : Dive Tag, Suvenir Menyelam untuk Mendukung Konservasi Tulamben
Degeng mengatakan kelompok menggunakan badan hukum koperasi dan ia jadi ketuanya saat itu, sampai terpilih jadi Kepala Dusun Tulamben pada 1995-2017. “Nama laki-laki yang tercatat, karena kami yang akan bertanggungjawab jika ada komplain,” sebut Degeng.
Jika istri sudah tidak mampu jadi buruh porter, barulah diganti laki-laki, anak atau suaminya sebagai pekerja sekaligus anggota kelompok. Bedanya, jika perempuan menjunjung peralatan selam dengan kepala dan bahu, laki-laki memilih pakai motor.
Porter tangki juga ada yang nyambi jadi tukang pijat. Kelompok tukang pijat ini bernama Mertha Segara. Salah satunya Aminah. Walau pandemi, ia masih semangat mencari tamu ke hotel-hotel langganannya untuk menjajakan jasa pijat. Ia belajar otodidak dan hanya berbekal minyak dan handuk. “Ini Balinese massage, mengandalkan tenaga,” sebutnya. Selama pandemi ia sangat sedih karena sulitnya mencari uang untuk biaya hidup harian, apalagi ingat ketika kucing-kucingan di area pusat parkir karena sering dirazia Satgas Covid dan Satpol PP.
perlu dibaca : Bangkai Kapal Liberty, Ikon Bawah Laut Tulamben Yang Makin Rapuh
Setelah Bali menghentikan masa pembatasan kegiatan darurat, Tulamben mulai didatangi para penyelam. Grup porter makin mudah terlihat di pantai atau pusat parkir menunggu kendaraan pengangkut penyelam dan peralatannya.
Saat ini anggota porter tertua adalah Nyoman Kencan dan Wayan Selamat yang berusia hampir 60 tahun. Sedangkan termuda adalah Komang Ari, 20 tahun dan Komang Mudita, 18 tahun.
Komang Ari baru kerja jadi porter saat pandemi ini karena tak bisa lagi bekerja di hotel. Anak-anak muda kebanyakan bekerja di hotel.
Di pusat parkir, para ketua kelompok terlihat menulis nota hasil angkut hari itu untuk direkap lalu dibagi rata hasilnya. Mereka mengisi waktu dengan membuat sarana persembahyangan dari janur, dan segera beranjak senang saat melihat kendaraan penyelam mendekat.
Mereka sigap mengambil handuk untuk bantalan di kepala saat mengangkut tangki. Para porter perempuan bisa mengangkut 2 tangki sekaligus, satu dijunjung di kepala, satu lagi ditaruh di bahu. Bukan hal mudah jika tak terlatih. Satu tangki kosong beratnya sekitar 12 kg, jika terisi sekitar 15 kg. Belum lagi alat selam lainnya seperti BCD dan pemberatnya.
baca juga : Cerita Surga Bawah Laut Buton dan Sustainable Diving Green Fins
Nengah Seni, porter muda lain mengisi waktunya dengan membuat anyaman piring dari lidi daun lontar. Ia beruntung punya keterampilan menganyam untuk penghasilan alternatif. Namun para porter lain hanya mengandalkan upah porter. Warga pesisir tak punya lahan tani dan tidak punya keterampilan bertani di lahan kering.
Selain itu ada juga kelompok nelayan Tirtha Wisata Tulamben yang beranggotakan 34 orang. Selama pandemi, banyak pemandu selam kembali jadi nelayan. Walau hasilnya tak bisa diprediksi. Hanya sekadar untuk makan.
Salah satunya Wayan Pasek, seorang instruktur selam. Selama 14 tahun ia jadi guide diving, sekarang nelayan. Ia membeli alat seperti jaring. Karena ia hanya dapat menyelam 10 kali saja selama 2 tahun pandemi ini. “Ikan juga susah. Lahan kita hanya laut,” ujarnya.
Para porter, tukang pijat, dan pemandu selam ini berkomitmen menjaga perlindungan lautnya karena ini yang menghidupi. Desa Tulamben menyepakati sekitar 100 meter dari bibir pantai adalah kawasan yang terlarang untuk memancing atau mencari ikan. Inilah upaya mereka untuk memastikan keberlangsungan wisata bawah lautnya.