- Masyarakat bersama Pemerintah Trenggalek menolak penambangan emas masuk wilayah mereka. Revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Tranggalek yang sudah ketuk palu sudah sejalan, tak memasukkan pertambangan emas tetapi ada pihak yang coba ’memaksa’ agar tambang emas terakomodir dalam RTRW di kabupaten ini.
- Dari hasil tumpang susun, izin usaha produksi (IUP) PT SMN itu, 6.951 hektar berada pada kawasan hutan produksi, 2.779 hektar di kawasan lindung. Termasuk, kawasan lindung karst seluas 1.032 hektar.Sekitar 804 hektar berada di permukiman pedesaan, 380 hektar di tegalan dan ladang rakyat, dan perkebunan 280 hektar. Kemudian, 209 hektar merupakan rawan longsor, serta hutan rakyat 170 hektar.
- Doding Rahmadi, anggota DPRD Trenggalek mengapresiasi sikap bupati yang tegas menjaga kelestarian lingkungan di kabupaten ini. Apa yang dilakukan bupati, sebagai bentuk komitmen melindungi kepentingan dan masa depan warga Trenggalek.
- Marco Kusumawijaya, pakar tata ruang mengatakan, pemberian izin tambang memang domain pemerintah pusat tetapi mendesain dan menetukan keperluan tata ruang wilayah, mutlak kewenangan kepala daerah.
Berbagai elemen masyarakat termasuk Pemerintah Trengalek menolak rencana pertambangan emas, PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di kabupaten ini. Rencana tata ruang pun sejalan, tak membolehkan usaha ekstraktif ini ada. Namun, pihak-pihak yang menghendaki tambang emas ini pun tak hilang akal dengan coba memanfaatkan revisi Perda RTRW Trenggalek ‘memaksa’ agar tambang emas seluas 12.813 hektar itu terakomodir.
“Tapi saya tidak mau memasukkan konsesi tambang emas itu,” kata M. Nur Arifin, Bupati Trenggalek, di sela pertemuan dengan Badan Geologi, akhir Mei lalu.
Revisi Perda RTRW itu sejatinya berlangsung sejak 2017. Setelah pembahasan di DPRD pada 2019, draf itu kemudian disepakati untuk disahkan menjadi Perda RTRW 2019-2039.
DPRD Trenggalek dan Pemerintah Trenggalek sudah ketuk palu pengesahan RTRW dan kirim dokumen ke Pemerintah Jawa Timur untuk penetapan.
Bupati bilang, hingga babak akhir draf disepakati, tidak ada sejengkal wilayah pun di Trenggalek sebagai tambang emas.
Langkah Pemkab Trenggalek yang tidak memberi ruang untuk tambang emas itu tak mendapat dukungan Pemerintah Jatim.
Pemerintah provinsi di ujung Jawa ini tetap meminta wilayah tambang SMN masuk RTRW. “Begitu draf dikirim ke provinsi untuk evaluasi, saya diminta tetap mamasukkan wilayah konsesi yang seluas 12.000 hektar itu ke RTRW. Itu yang saya nggak mau.”
Bukan tanpa alasan dia bersikukuh menolak tambang. Dari hasil tumpang susun, izin usaha produksi (IUP) SMN itu, 6.951 hektar berada pada kawasan hutan produksi, 2.779 hektar di kawasan lindung. Termasuk, kawasan lindung karst seluas 1.032 hektar.
Sekitar 804 hektar berada di permukiman pedesaan, 380 hektar di tegalan dan ladang rakyat, dan perkebunan 280 hektar. Kemudian, 209 hektar merupakan rawan longsor, serta hutan rakyat 170 hektar.
Ada juga wilayah sempadan mata air seluas 190 hektar, permukiman perkotaan 43 hektar, sempadan sungai 33,4 hektar, sawah tadah hujan 27,27 hektar, sempadan embung 24 hektar, sungai 18,78 hektar dengan total 12.824 hektar.
“Masyarakat kita lebih banyak tinggal di luar jalur-jalur utama. Di pinggir-pinggir hutan, lembah itu lebih padat daripada di perkotaan, atau di jalur utama. Itu karena hidup mereka lebih banyak dari produk pertanian dan perkebunan,” katanya.
Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]
Penjelasan sama juga disampaikan bupati menanggapi rencana tim dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) untuk adakan pengeboran lanjutan untuk survei mineral di Kecamatan Watulimo.
Kepada Badan Geologi, dia enggan memberikan rekomendasi sebelum polemik soal tambang emas ini ‘clear’.
Gus Ipin, sapaan akrabnya bilang, masyarakat begitu khawatir dengan rencana eksploitasi tambang emas SMN. Karena itu, sekalipun Badan Geologi berdalih pengeboran hanya untuk inventarisasi, tetap berpotensi memancing keresahan warga.
Masyarakat, kata bupati, tetap meyakini pengeboran itu berkaitan dengan rencana penambangan. “Kenyataannya, RTRW saya terganjal karena saya diminta memasukkan konsesi tambang, secara solid lagi.”
Dia bilang, kemungkinan persepsi masyarakat akan berbeda kalau pemerintah tak memaksa memasukkan ‘area’ tambang seluas 12.000 hektar masuk RTRW.
Sebaliknya, masyarakat akan tenang dan meyakini kegiatan itu bagian dari penetapan Geopark bila izin SMN dicabut.
“Jangan paksa kami memasukkan tambang ke RTRW. Kalau itu dilakukan, jangankan satu lubang, mau 1.000 lubang pun lancar. Jadi, untuk meyakinkan warga bahwa kegiatan Badan Geologi bukan untuk tambang, cabut dulu izinnya.”
Baca juga: Menyoal Izin Tambang Emas di Trenggalek [2]
Doding Rahmadi, anggota DPRD Trenggalek mengapresiasi sikap bupati yang tegas menjaga kelestarian lingkungan di kabupaten ini.
Apa yang dilakukan bupati, katanya, sebagai bentuk komitmen melindungi kepentingan dan masa depan warga Trenggalek.
“Pemerintah pusat, jangan nekan-nekan begitu. Ini kalau kami diminta memasukkan konsesi yang 12.000 hektar itu modelnya ya apa. Kami di daerah ini yang pusing karena banyak menabrak aturan. Aturan soal sawah teknis, hutan lindung, juga karst,” kata Doding.
Dia memastikan, revisi RTRW yang disepakati sebelumnya sudah tepat. Sejalan dengan komitmen Trenggalek untuk lebih fokus pada pembangunan ekonomi hijau. Bukan industri ekstraktif macam tambang emas.
Karena itu, katanya, sejak awal pembahasan, opsi tambang emas itu pun tak pernah muncul.
Namun, politisi PDIP itu tak mengelak bila sempat terjadi polemik saat pembahasan berlangsung, bukan soal soal tambang emas. Melainkan, soal luasan karst yang harus masuk lantaran data versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga KESDM berbeda.
“Ini juga, mereka antar kementerian saja nggak sinkron, punya kepentingan sendiri-sendiri,” kritik Doding.
Baca juga: Bupati Trenggalek Siap Pasang Badan Tolak Tambang Emas
Politik tata ruang
Eko Cahyono, peneliti Sajogjo Institute mengatakan, revisi RTRW sejatinya hal lumrah untuk menyelaraskan dengan dinamika yang berkembang. Persoalannya, sejauh mana politik tata ruang yang disusun mencerminkan perlindungan pada wilayah-wilayah strategis untuk memenuhi kebutuhan rakyat baik sosial, ekonomi, maupun ekologis.
“Selama ini, proyek-proyek strategis, atas nama apapun, termasuk pertambangan acapkali jadikan revisi RTRW sebagai pintu masuk,” kata Eko yang sebelumnya tercatat sebagai tim koordinasi-supervisi pertambangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.
Secara sosial, katanya, penyusunan RTRW harus mampu memberi perlindungan pada kehidupan masyarakat setempat. Sedangkan secara ekonomi dan ekologis, perlindungan sumber mata pencaharian warga dan ekosistem selayaknya jadi paradigma atas perubahan perda itu.
“Kalau berdasar itu, sangat penting kiranya proses revisi perda RTRW itu tetap memperhatikan potensi-potensi wilayah yang sudah eksisting. Apakah sudah mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat?”
Eko mengapresiasi, langkah Bupati Trenggalek yang gigih menolak rencana penambangan emas itu. Menurut dia, hal itu menunjukkan bupati memahami betul potensi, sekaligus ancaman-ancaman ekologis di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia itu.
Eko bilang, melihat risiko dampak tambang emas Trenggalek, harusnya tak terbatas pada wilayah geografis-adimistratif daerah. Lebih jauh, ia harus dipahami sebagai satu kesatuan bentang alam, sebagai satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi.
Masalahnya, pendekatan bentang ekosistem seperti ini tak pernah jadi dasar pengambil kebijakan dalam membuat keputusan, satu contoh ekosistem Pulau Jawa
Jawa, katanya, dinilai tak lagi memiliki daya dukung dan daya tampung lingkungan, tetapi terus saja dihantui industri ekstraktif.
“Kita belum punya contoh baik bagaimana pendekatan landscape atau bentang ekosistem ini dipakai dasar mengambil kebijakan di sektor pertambangan. Belum ada contoh sampai sekarang,” katanya, seraya bilang, yang banyak terjadi, proses berjalan dengan cara manipulatif.
Eko bilang, hal paling sederhana yang jadi hak masyarakat untuk tahu adalah legalitas sebuah proyek, apapun jenisnya. Selain itu, tak tak kalah penting memahami potensi dampak yang akan muncul dari gelaran proyek tadi.
“Dalam setiap dokumen resmi yang melandasi kebiajkan proyek strategis termasuk pertambangan, ada satu fase di mana masyarakat harus tahu. Prinsip transparasi dan keterlibatan masyarakat itu mutlak. Paling tidak, masyarakat tahu semua risiko karena kalau terjadi apa-apa, mereka menjadi korban pertama,” kata Eko.
Baca juga: Perusahaan Coba Galang Dukungan, Aliansi Trenggalek Tegaskan Tolak Tambang Emas
Pada koteks rencana tambang emas Trenggalek, sejauh mana keterlibatan masyarakat sebelum izin operasi produksi keluar oleh Pemerintah Jatim?
“Adakah masyarakat mendapat informasi atau pengetahuan yang cukup terkait dampak yang mungkin timbul dari kegiatan ini?” Melihat gejolak penolakan dari berbagai kalangan, Eko menyangsikan dua hal itu dilakukan.
Bila pun ada, katanya, kuat dugaan proses pelibatan itu tak penuh atau semu. “Umumnya yang terjadi seperti itu. Hanya mengundang beberapa perwakilan warga, lalu mengklaim sudah melibatkan masyarakat.”
Dalam menjalankan proyek, termasuk pertambangan, pemerintah seharusnya memperhatikan banyak hal, seperti. dimensi hak asasi manusia (HAM), sosial, politik, ekonomi masyarakat maupun lingkungan. Kalau tidak, ujungnya hanya akan jadikan masyarakat lokal sebagai korban.
Eko pun menyoroti surat balasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang dikirim kepada Pemerintah Trenggalek soal rencana tambang SMN.
Surat penolakan Pemerintah Trenggalek, katanya, secara tak langsung menghendaki peninanjauan ulang oleh kedua belah pihak. Bukan sebaliknya, bersikukuh dan mengklaim bahwa izin yang mendapat penolakan luas itu sesuai studi kelayakan dan lingkungan.
“Pemkab bisa saja meminta hasil studi kelayakan untuk dicek ulang, atau disesuaikan dengan daya dukung dan daya tamping daerahnya.”
Eko menilai, Kabupaten Trenggalek merupakan bagian dari ekosistem atau bentang pegunungan di pesisir selatan Jawa.
Dengan karakter geologi yang sebagian berupa pegunungan karst, izin itu seharusnya tak sampai keluar.
“Yang dilakukan Pemerintah Trenggalek dengan menolak tambang seluas 12.000 hekar ini sudah benar. Problemnya, pemerintah (pusat) lebih berorientasi pada tujuan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan masyarakat setempat.”
Secara ketatanegaraan, apa yang dilakukan Bupati Trenggalek adalah contoh nyata bagaimana otonomi daerah dipraktikkan. Bila kemudian sikap tegas bupati itu dikebiri, katanya, desentralisasi kebijakan yang merupakan bagian dari amanah reformasi itu jadi tak berarti.
“Artinya, ketegasan bupati adalah mandat untuk menjaga marwah reformasi. Dengan menegaskan itu, sebenarnya bupati bukan semata kepentingan pribadi like and dislike terhadap kepentingan nasional,” kata Eko.
Baca juga: Rakyat dan Pemerintah Trenggalek Menolak, Kementerian ESDM Tetap Beri Lampu Hijau Tambang Emas
Kewenangan daerah
Marco Kusumawijaya, pakar tata ruang tersenyum sinis mendengar kabar pemerintah yang memaksa Pemerintah Trenggalek memasukkan peta tambang emas ke dalam RTRW. Menurut dia, sikap ini jadi contoh tak baik dalam konteks hubungan pusat-daerah.
Marco mengamini, bila pemberian izin tambang adalah domain pemerintah pusat tetapi mendesain dan menetukan keperluan tata ruang wilayah, mutlak kewenangan kepala daerah. “Karena dia (bupati) yang lebih tahu kondisi daerahnya.”
Malah, katanya, dengan kewenangan yang ada, pemerintah pusat maupun provinsi tak bisa seenaknya mengambil kebijakan yang rawan berdampak pada kehidupan masyarakat.
Penerbitan izin, kata Marco, seharusnya mengikuti atau menyesuian dengan tata ruang. Bukan dibalik, izin terbit dul, lalu tata ruang menyesuaikan. “Jadi, yang satu jangan maksa-maksa yang lain.”
Dia bilang, kalau sampai tambang emas berjalan, salah satu ancaman krisis air di masa mendatang. Sebab, keretan pegunungan karst yang masuk dalam peta konsesi, bakal rusak.
“Pegunungan karst itu salah satunya berfungsi menyimpan air. Ia memasok untuk wilayah di kaki gunung atau bukit. Kalau gunung rusak, ya otomatis pasokan air juga terganggu. Pasokan akan berkurang karena cadangan terganggu.”
Sungai-sungai sekitar, katanya, diperkirakan mengering.
Persoalan lain akan muncul lantaran sebagian wilayah yang masuk konsesi merupakan daerah padat penduduk.
Banyak permukiman warga yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan, lembah-lembah gunung atau bukit seperti di Kecamatan Watulimo maupun Kampak.
Karena itu, bila KESDM menyebut izin SMN sudah sesuai kajian sebelumnya, dia menantang agar buka dokumen.
“Banyak sekali desa-desa di lembah-lembah perbukitan itu. Kalau mereka bilang sudah sesuai kajiannya, mari dibaca bareng. Apanya yang sesuai? Karena banyak sekali desa-desa di lembah perbukitan. Jadi, jangan cuma bilang sesuai, tapi masyarakat tidak punya akses untuk membukanya.”
Marco sepakat Eko Cahyono. Menurut dia, sebagai bagian daerah kesatuan bentang alam, Trenggalek tak berdiri sendiri. Apapun dinamika lingkungan, dipastikan juga berpangaruh ke wilayah lain karena alam tak mengenal batas administratif.
“Tulungagung akan turut terpengaruh, karena beberapa sungai yang melintas di sana, ternyata juga berhulu di Trenggalek.”
*******