- Kesejahteraan satwa sama halnya dengan kesejahteraan manusia.
- Satwa memiliki lima dasar kesejahteraan. Misalkan bebas dari lapar dan haus, bebas dari rasa sakit, atau bebas dari ketakutan dan penderitaan.
- Masih banyak masyarakat luas yang tidak memahami tentang kesejahteraan satwa dan sering kali menyebabkan terjadinya penyiksaan.
- Diperlukan peraturan yang mengatur kesejahteraan satwa di Indonesia.
Konsep tentang kesejahteraan satwa, baik itu yang liar atau peliharaan, belum begitu populer di Indonesia. Kesejahteraan satwa, bahkan pada dasarnya sama dengan kesejahteraan manusia. Hal yang membedakannya adalah satwa tidak bisa mengungkapkannya secara verbal apa yang mereka rasakan.
Secara global, terdapat lima prinsip dasar kesejahteraan satwa yang sudah diakui, yakni hewan bebas dari lapar dan haus; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit; bebas berperilaku normal dan alami; serta bebas dari ketakutan dan penderitaan. Prinsip ini berlaku pada satwa liar maupun domestik; baik perliharaan maupun sebagai hewan produksi [sapi, kambing, ayam, atau babi yang diternak].
“Kesejahteraan satwa mungkin belum begitu banyak yang sadar, karena lebih ke arah satwa liar. Namun inilah yang wajib dipenuhi,” kata Nur Purba Priambada, dokter hewan satwa liar dari Yayasan IAR Indonesia, pada Bincang Alam Mongabay Indonesia, 26 Januari 2023.
Semestinya kata Purba, ketika satwa hidup di alam maka itu sudah cukup sejahtera. Namun, ada banyak hal yang membuatnya tereksploitasi, bermula dari ledakan populasi manusia memanfaatkan alam sebagai habitatnya dengan tidak bijak.
Ketika permukiman manusia dimasuki hewan, terjadi interaksi negatif manusia dan satwa liar. Satwa tersebut kemudian disebut hama. Dengan demikian, mereka boleh diburu atau dieliminasi karena mengancam kehidupan manusia.
“Juga, dianggap sebagai aset ekonomi tertentu karena dianggap lucu, imut, atau cantik sehingga beberapa orang menangkapnya untuk dijadikan peliharaan. Padahal, proses peliharaan sampai ke rumah itu panjang. Mulai dari diburu, dijerat, atau dipisahkan dari induknya dengan cara dibunuh,” kata Purba.
Baca: Mengapa Perdagangan Satwa Liar Ilegal di Indonesia Tinggi?

Bahkan katanya, di pasar perdagangan ilegal ada satwa yang dipotong sayapnya, dipotong giginya dan lainnya, lalu ketika dipelihara mereka tidak sadar bahwa itu adalah satwa liar yang mempunyai kebutuhan khusus.
Misalnya, burung butuh tempat bertengger, tidak hanya sangkar. Atau, satwa nokturnal yang harusnya tidur siang hari diajak bermain, juga diberi makanan sesuai standar manusia. Ketidakpahaman ini sering menyebabkan terjadinya penyiksaan.
Pada beberapa kasus, banyak satwa dijadikan bahan hiburan atau konten media sosial, terutama orang yang punya pengaruh besar lalu dipertontonkan ke followers [pengikutnya]. Hal ini menciptakan tren di media sosial dan membuat orang lain menjadi Fomo [Fear of missing out] atau takut merasa tertinggal sehingga ikut-ikutan.
Kondisi ini menciptakan terjadinya siklus satwa diburu, diperdagangkan, karena ada pasarnya, bernilai ekonomi dan pada akhirnya dieksploitasi.
“Padahal tanpa harus diburu, mereka sudah terancam dengan habitatnya yang terganggu oleh berbagai aktivitas manusia,” ungkap Purba.
Seperti diketahui, secara global perdagangan satwa liar berada diurutan kedua setelah narkotika, disusul perdagangan senjata dan emas. Di Indonesia, nilai perdagangan satwa liar pada 2008-2017 sekitar 7,8 miliar hingga 19 miliar US Dollar pertahun. Kerugian negara yang benar-benar bisa dihitung bisa mencapai Rp9 triliun pertahun, belum termasuk kerusakan ekologi, ekosistem, serta hilangnya keragaman hayati dan spesies tertentu.
Baca: Meski Dilindungi, Hewan Berdarah Biru Ini Masih Diburu

Langkah yang harus dilakukan
Etheldreda E L T Wongkar, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law [ICEL], yang juga menjadi pembicara Bincang Alam, mengatakan dari perspektif hukum merujuk UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sudah definisikan keadaan fisik dan juga mental hewan. Namun, undang-undang tersebut belum memiliki indikator atau ukuran jelas serta sanksi tegas terkait pelanggaran kesejahteraan hewan.
Ini disebabkan norma yang abstrak. Misalnya, yang membatasi lingkup penerapan kesejahteraan hewan, untuk semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang, yang dapat merasakan sakit.
Dari sini, katanya, kesejahteraan hewan bersifat dikotomis, tidak holistik. Artinya, di Indonesia konsep tentang kesejahteraan hewan tidak berlaku universal, tapi selektif sesuai mana yang dibutuhkan dan bermanfaat buat manusia.
“Di level internasional juga belum ada rujukan. Tapi kita bisa merujuk pada World Animal Protection, yang telah memberikan indeks perlindungan hewan melalui skoring dan menilai sejauh apa negara memperhatikan kesejahteraan hewan,” ungkap Chenny, panggilannya.
Berdasarkan indeks penilaian World Animal Protection, terdapat empat nilai kesejahteraan satwa. Pertama, pengakuan bahwa satwa memiliki perasaan dan emosi serta pelarangan adanya penderitaan. Kedua, terbentuk dan terlaksananya undang-undang yang mengatur kesejahteraan satwa.
Ketiga, adanya lembaga pemerintahan yang berkomitmen melindungi satwa. Keempat, adanya dukungan pemerintah terhadap standar kesejahteraan satwa secara internasional yang terintegrasi dalam undang-undang atau kebijakan pemerintah.
Dari keempat penilaian tersebut, Indonesia hanya bisa memenuhi nilai pertama yang merujuk UU Nomor 18 tahun 2009, namun tidak ada mekanisme penegakan yang konkrit. Sementara nilai kedua, ketiga, dan keempat; Indonesia masih kurang sehingga secara garis besar negara kita memiliki rapor merah karena minimnya komitmen dan dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan.
Baca juga: Umbut Rotan yang Enak Dimakan

Solusinya, baik Etheldreda maupun Nur Purba Priambada, sepakat bahwa rekomendasi yang perlu dilakukan adalah perlunya “peremajaan” atau “update” undang-undang yang disesuaikan dengan kondisi kekinian.
Ini dikarenakan, dari sisi penegakan hukum UU Nomor 5 Tahun 1990 banyak ketinggalan, meski secara teori bagus. Termasuk, celah memelihara satwa liar masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya melalui hasil penangkaran dan sebagainya.
“Kalau dilihat dari kebijakan yang ada, sanksi yang ditetapkan berorientasi pada tujuan memaksimalkan konservasi tercapai dan perdagangan hewan berjalan lancar. Selain itu, perlindungannya masih fokus pada spesies tertentu yang langka dan ditentukan oleh manusia,” ujar Chenny.
Menurutnya, sanksi adminsitratif berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan perizinan perlu dievaluasi lagi. Karena perlu efek jera, maka dari kacamata hukum perlu di-update lagi mana yang bisa dipidanakan dan yang cukup administratif.
“Perlu pemahaman bersama tentang apa yang dimaksud kesejahteraan satwa, sehingga terjadi pergeseran dan perubahan paradigma,” ungkapnya.