- Warga Pulau Pari resmi menggugat Holcim Limited, setelah pada Oktober 2022, mereka menempuh proses konsiliasi di Pengadilan Swiss. Mereka menganggap Holcim sebagai perusahaan yang berkontribusi memperburuk krisis iklim dan mengancam keberadaan pulau itu.
- Warga menyebut, krisis iklim telah menyebabkan naiknya air ke daratan Pulau Pari. Dampaknya, tanaman warga rusak, begitu pula rumah, perabotan elektronik dan perabotan rumah tangga. Kerugian juga dialami nelayan, sektor pariwisata hingga kelompok perempuan.
- Dalam tuntutannya, warga Pulau Pari meminta Holcim untuk melakukan mitigasi dengan menurunkan emisi, membuat adaptasi lingkungan dengan penanaman 1 juta mangrove dan bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan di pulau itu.
- Berdasarkan laporan Walhi, ancaman krisis iklim tidak hanya mengintai Pulau Pari, tetapi juga pulau-pulau kecil di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, resmi menggugat Holcim Limited ke pengadilan Swiss, Selasa (31/1/2023). Mereka menganggap Holcim sebagai perusahaan yang berkontribusi memperburuk krisis iklim, dan mengancam keberadaan pulau itu.
Sebelumnya, Oktober 2022, pengadilan Swiss memediasi warga Pulau Pari dan Holcim dalam sidang konsiliasi. Karena tidak ditemukan kata sepakat, 3 bulan setelahnya, warga Pulau Pari resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Swiss.
Arief Pujianto, warga Pulau Pari menerangkan, gugatan itu merupakan upaya untuk menjaga keberlangsungan pulau dan menghentikan kerugian ekonomi akibat krisis iklim. Dia mengatakan, naiknya air laut telah menyebabkan tanaman seperti cabai, tomat, pisang dan pepaya tak bisa tumbuh.
Naiknya air laut juga berdampak merusak rumah warga yang terbuat dari kayu dan bambu, serta sejumlah perabotan elektronik dan perabotan rumah tangga. “Atas dasar itulah kami yakin menggugat masalah ini,” ujar Arief Pujianto dalam konferensi pers yang berlangsung di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jumat (3/2/2023).
Bagi nelayan, krisis iklim berakibat menambah beban kekhawatiran mereka. Ikan sulit didapat, cuaca lebih sering tidak bersahabat, ditambah lagi tanda-tanda alam tidak lagi dapat diprediksi. Persoalan bertambah dengan kerusakan-kerusakan di darat yang membuat mereka harus merelakan waktu kerja untuk membuat sejumlah perbaikan.
“Dampaknya luar biasa, abrasi besar-besaran di Pulau Pari,” kata Mustaghfirin, warga Pulau Pari lainnya. “Pulau ini luasnya tidak seberapa. Kalau air terus-menerus naik, bukan tidak mungkin akan tenggelam.”
baca : Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim
Naiknya air laut juga berkontribusi mengurangi pendapatan ekonomi di sektor pariwisata. Edi, pelaku usaha pariwisata Pulau Pari menjelaskan, beberapa kali wisatawan membatalkan kunjungannya karena mendengar informasi bahwa air laut telah menerjang pulau itu.
Jika krisis iklim tidak terselesaikan, bukan saja ekonomi warga yang hilang tapi juga kehidupan dan keberadaan pulau itu sendiri. “Saya khawatir anak-cucu nanti sudah tidak bisa tinggal dan hidup di Pulau Pari, karena pulaunya sudah tenggelam,” ujarnya.
Asmaniah, perempuan nelayan Pulau Pari menerangkan, permasalahan iklim di pulau tersebut juga melipatgandakan beban perempuan, baik dalam urusan rumah tangga maupun ekonomi. Macetnya pemasukan keluarga akibat cuaca buruk membuat perempuan-perempuan di pulau itu berpikir dan bekerja lebih keras lagi.
“Saya berjuang bukan untuk diri saya sendiri, semua warga Pulau Pari merasakan dampak perubahan iklim. Ketika perusahaan tidak mau bertanggung jawab, bagaimana nasib anak-cucu kami?” tanya Asmaniah.
Atas dasar persoalan-persoalan itu, warga menuntut Holcim untuk melakukan mitigasi dengan menurunkan emisi, membuat adaptasi lingkungan dengan penanaman satu juta mangrove dan bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan di pulau itu.
Inspirasi untuk Pulau-Pulau Kecil
Menurut laporan Walhi dan HEKS, sebuah lembaga bantuan gereja Swiss, perubahan iklim telah merendam 11% daratan Pulau Pari. Tanpa upaya perbaikan, pada tahun 2050, air laut akan merendam sebagian besar daratan pulau itu.
Namun, ancaman tenggelam tidak hanya berlaku bagi Pulau Pari. Sekitar 110 pulau di Kepulauan Seribu disebut bernasib serupa jika krisis iklim tidak segera ditangani. Suci Fitria Tanjung, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta menjabarkan, sudah ada 6 pulau di Kepulauan Seribu yang tenggelam. Di antaranya pulau Ubi Besar, Ubi Kecil, Talak, Nyamuk Besar (Nirwana), Dakun dan pulau Air Kecil.
baca juga : Belajar Dari Pulau Putri, Abrasi Mengancam Pulau-pulau Terluar Indonesia
Pulau Talak, dia mencontohkan, tahun 2003 luasnya mencapai 3.957 m2, namun pada tahun 2022 tinggal 2.201 m2. Artinya, dalam kurun 10 tahun, luas pulau itu telah berkurang sebanyak 1.000 m2. Dalam kondisi paling ekstrem, diperkirakan sekitar 23 dari 110 pulau di Kepulauan Seribu akan tenggelam sebelum 2045.
“Gugatan warga Pulau Pari ini layak mewakili masyarakat di Kepulauan Seribu, teluk Jakarta, serta masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya,” kata Suci.
Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Eksekutif Nasional Walhi menambahkan, dalam lingkup lebih luas, krisis iklim mengancam keberadaan 83 pulau kecil terdepan, serta 115 pulau di perairan dalam Indonesia.
Seruan menolak tenggelam juga telah disampaikan pemimpin negara-negara pulau di Pasifik seperti Fiji, Vanuatu dan Solomon. Ketika negara-negara pulau kecil tenggelam, mereka akan meminta suaka ke negara-negara terdekat. Sehingga, di masa depan dunia akan diperhadapkan dengan, apa yang disebut Parid sebagai, pengungsi iklim.
“Walhi bersama para penggugat mendesak Holcim dan industri yang mengeksploitasi sumber daya alam untuk segera menurunkan emisi. Karena, kalau mereka tidak menurunkan emisi, maka mereka menjadi pelaku utama dari tenggelamnya pulau-pulau kecil di dunia,” tegasnya.
Parid berharap, Pemerintah Indonesia memberi dukungan pada gugatan warga Pulau Pari. Sebab, keberadaan pulau-pulau kecil, dan pulau-pulau terluar, sangat erat kaitannya dengan kedaulatan negara.
baca juga : Ketika Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara Terancam Tenggelam
Holcim, dalam laporan France24, mengatakan tidak percaya bahwa kasus pengadilan yang berfokus pada satu perusahaan adalah mekanisme yang efektif untuk mengatasi kompleksitas global dari aksi iklim. Mereka mengaku telah mengambil pendekatan yang ketat dan didorong oleh sains, menetapkan target iklim yang ambisius, serta menjadi pelopor di sektor konstruksi.
Dikutip dari The Guardian, Holcim menyatakan telah mengurangi emisi absolut lingkup 3 sebesar 90% pada tahun 2050. Pada tahun 2030, perusahaan memiliki target mengurangi intensitas CO2 dan jumlah emisi CO2 per ton bahan semen.