- Dua anak singa menjadi penghuni baru Kebun Binatang Surabaya [KBS]. Dona [betina] dan Bima [jantan], yang lahir pertengahan Mei 2023 itu, berasal dari induk bernama Seruni dan pejantan Upin.
- Upin dan Seruni merupakan pasangan singa yang dipinjam KBS dari Jatim Park di Kota Batu, sejak 2021, untuk program pengembangbiakan.
- Total, koleksi singa di KBS sebanyak lima individu.
- Persoalan nutrisi, kesehatan fisik, serta kebiasaan normal satwa di lembaga konservasi menjadi faktor penting terkait kesejahteraan satwa.
Dua anak singa menjadi penghuni baru Kebun Binatang Surabaya [KBS]. Dona [betina] dan Bima [jantan], yang lahir pertengahan Mei 2023 itu, berasal dari induk bernama Seruni dan pejantan Upin.
Upin dan Seruni merupakan pasangan singa yang dipinjam KBS dari Jatim Park di Kota Batu, sejak 2021, untuk program pengembangbiakan.
Menurut Direktur Operasional Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya [PDTS-KBS], Nurika Widyasanti, kondisi anak singa tersebut baik dan sehat.
“Mereka mendapatkan tambahan susu formula atau susu pendamping. Tujuannya, untuk meningkatkan imunitas atau daya tahan tubuh,” baru-baru ini.
Total, koleksi singa di KBS sebanyak lima individu. Ada Andini, singa betina yang lahir di KBS pada 2005, dan kini tidak produktif.
“Makanya kami mendatangkan Seruni dan Upin, untuk bisa mendapatkan anakan singa,” kata Nurika.
Beberapa minggu kedepan, Dona dan Bima akan diberi vaksin Tricat, guna membantu meningkatkan kekebalan tubuh dari ancaman penyakit. Selain itu, keduanya dilatih tidur terpisah dari induknya, tapi tetap dalam satu lokasi.
“Tahapan ini untuk memastikan anak singa siap dilepas secara mandiri di kandang peraga.”
Meski bukan endemik Indonesia, satwa yang habitatnya di savana Afrika ini tetap diupayakan hidup dan beraktivitas di lingkungan, yang dibuat seperti habitat aslinya.
“Semoga setelah usia 6 sampai 7 bulan, mereka bisa dikeluarkan secara mandiri di kandang peraga. Kesehatannya tetap dipantau dan dipastikan pula kebutuhan nutrisinya terpenuhi,” jelasnya.
Baca: KBS Buka Surabaya Night Zoo, Kesejahteraan Satwa Diperhatikan?
Kesejahteraan satwa
Drh. Intan Permatasari Hermawan, M.Si., Dosen Ilmu Penyakit Dalam Veteriner [Interna], Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, mengatakan persoalan nutrisi, kesehatan fisik, serta kebiasaan normal satwa di lembaga konservasi menjadi faktor penting terkait kesejahteraan satwa.
“Selain makanan, faktor lingkungan dan adaptasi satwa juga mempengaruhi kondisi kesehatan satwa. Penyakit bisa datang dari itu semua, ada bakteri, virus, parasit, atau jamur,” terangnya.
Lembaga konservasi yang baik, lanjut Intan, akan memperhatikan lingkungan tempat tinggal satwa agar tetap sehat dan terhindar dari potensi penyakit. Selain itu, lingkungan juga mempengaruhi satwa mengekspresikan kebiasaan normalnya. Bila aspek itu diabaikan, maka satwa dapat stres dan mudah sakit.
Kebebasan mengekspresikan perilaku juga berhubungan dengan siklus reproduksi yang diharapkan dapat berjalan normal, tanpa ada gangguan hormonal.
“Kalau di lingkungan alam bebas, mereka dapat mengekspresikan perilakunya. Di kebun binatang akan berbeda, sehingga sebisa mungkin lingkungannya dibuat menyerupai habitat aslinya,” ujarnya.
Baca juga: Mengenal Empat Spesies Singa yang Sudah Punah
Feses menjadi sarana yang dapat digunakan untuk memeriksa apakah satwa terserang penyakit tertentu. Parasit pada satwa dapat ditemukan melalui telur cacing, yang masuk melalui makanan, serta tungau atau caplak yang berasal dari lingkungan dan pakan.
Kemungkinan masuknya parasit dari pakan, disebabkan pakan satwa yang memang dalam kondisi mentah. Maka pemeriksaan secara teliti dan menyeluruh terhadap pakan yang akan diberikan sangat penting untuk mencegah masuknya penyakit. Selain parasit berupa cacing, yang juga perlu diwaspadai adalah toksoplasma atau parasit darah.
“Selain lingkungan yang bersih dan cukup luas untuk pergerakan satwa, pencegahan juga dapat dilakukan dengan memberikan nutrisi berupa vitamin, mineral, serat, termasuk juga vaksin. Tentunya dokter hewan di lembaga konservasi telah merancang agar tidak sampai terjadi malnutrisi,” papar Intan.
Peraturan agar pengunjung lembaga konservasi tidak memberi makanan pada satwa, menurut Intan, sudah tepat. Hal ini untuk mencegah penularan penyakit dari manusia ke satwa, maupun bibit penyakit yang ada pada makanan dari luar lembaga konservasi.
“Kesehatan dan kebersihan keeper sebelum bersentuhan dengan satwa harus diperhatikan dengan baik. Dengan begitu, tidak terjadi penularan penyakit yang diderita manusia kepada satwa, misalnya tuberculosis,” tegasnya.