- Komodo [Varanus komodoensis] memiliki musim kawin di periode Juni-Agustus. Saat musim kawin, komodo jantan secara aktif mencari betina hingga memperluas tiga kali wilayah jangkauannya.
- Bagi masyarakat di kawasan Taman Nasional Komodo, mereka memiliki mitos tentang komodo sehingga bisa hidup berdampingan dan berbagi ruang.
- Namun bagi masyarakat lainnya, komodo dianggap sebagai ancaman sehingga kerap kali terjadi konflik dengan manusia.
- Aktivitas pariwisata yang ditunjukkan dengan tingginya minat wisatawan melihat komodo memberikan dampak terhadap perilaku komodo.
Awal Agustus 2023, sebuah video viral di media sosial memperlihatkan seekor komodo yang berkeliaran di luar habitatnya. Komodo tersebut sedang mendaki puncak tebing yang sudah terlindungi geomat atau pelindung erosi. Lokasinya berada di sekitar Desa Golomori di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, NTT. Video ini mendapat berbagai respon dari banyak pengguna media sosial.
Kejadian komodo berkeliaran hingga masuk permukiman bukanlah hal baru, dan pernah terjadi beberapa kali. Bahkan, di beberapa tempat komodo hidup berdampingan dan berbagi ruang dengan masyarakat, khususnya yang ada di kawasan Taman Nasional Komodo.
Bagi mereka, melihat komodo berkeliaran di permukiman adalah hal biasa. Di balik itu, ada mitologi turun temurun yang menjadi pengetahuan masyarakat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Gregory Forth dalam publikasi ilmiahnya berjudul “Folk Knowledge and Distribution of the Komodo Dragon on Flores Island”.
Cerita itu menyebut bahwa kadal raksasa ini berasal dari sepasang manusia kembar yang tidak dirawat dengan baik oleh orangtuanya dan pergi ke hutan belantara. Beberapa versi mengatakan, kembaran manusia adalah laki-laki dan kembaran yang menjadi kadal adalah perempuan.
“Tradisi ini mungkin menjadi dasar kepercayaan Pulau Komodo bahwa jika seekor komodo dilukai, maka kerabatnya yang berwujud manusia, juga akan jatuh sakit,” tulis Forth.
Namun di daerah lain, pernah terjadi konflik antara warga dan komodo, karena dianggap membahayakan dan memangsa ternak. Setelah dilakukan sosialisasi, masyarakat mulai memiliki pemahaman.
Sebagai contoh pada tahun 2019, terdapat dua laporan yang menyebut komodo berkeliaran hingga ke permukiman. Pertama, dilaporkan masuk ke Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat dan laporan kedua, komodo yang masuk Kampung Tanjung, Desa Nanga Baras, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur.
Baca: Komodo Masuk Pemukiman di Manggarai Timur, Bagaimana Penanganannya?
Apa yang membuat komodo berkeliaran di luar habitatnya?
Komodo Survival Program [KSP], organisasi nirlaba yang memberikan perhatian pada konservasi komodo, dalam penjelasannya mengatakan bahwa pada bulan Juni-Agustus umumnya adalah musim kawin hewan purba ini.
Saat musim kawin itulah, komodo jantan akan secara aktif mencari betina hingga memperluas tiga kali wilayah jangkauannya. Dari pengamatan yang telah dilakukan, komodo jantan kemungkinan menjaga betina beberapa waktu untuk menjamin bahwa mereka satu-satunya pejantan yang mengawini dan telur yang dihasilkan adalah keturunan mereka.
Selain itu, komodo jantan dewasa memiliki potensi untuk kawin setiap tahun namun komodo betina belum tentu siap kawin setiap tahun, karena betina membutuhkan waktu lebih dan energi yang cukup untuk bertelur. Dan juga komodo betina yang sudah dikawini memiliki waktu selama satu bulan penuh untuk mempersiapkan sarang meletakkan telurnya.
“Pada saat musim kawin komodo jantan memang biasa memperluas area jelajahnya untuk mencari betina. Pada saat itu sering kali area jelajahnya bersinggungan dengan daerah permukiman. Adanya ternak seperti kambing memancing komodo untuk lebih memasuki permukiman sehingga terjadi konflik,” kata Deni Purwandana, Koordinator Program Komodo Survival Program, sebagamana diungkapkan pada Mongabay sebelumnya.
Baca: Gigi Komodo Seperti Pedang, Gigitannya Sangat Berbahaya
Dampak pariwisata
Komodo yang memiliki nama ilmiah Varanus komodoensis, merupakan satwa endemik yang hanya ditemukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahkan persebaran komodo pun hanya ditemukan di lima pulau. Empat pulau terdapat dalam kawasan Taman Nasional Komodo, yaitu Pulau Komodo, Rinca, Nusa Kode dan Gili Motang. Sementara satu pulau lain adalah yang terbesar yakni Flores; terdapat tiga cagar alam yang menjadi habitat komodo, yaitu Wae Wuul, Wolo Tado, dan Riung.
International Union for Conservation of Nature [IUCN] memasukan komodo dalam kategori Endangered [EN] atau Genting, atau dua langkah menuju kepunahan di alam liar. Sebelumnya, statusnya adalah Vulnerable [VU] atau Rentan.
Komodo memiliki status OUV [Outstanding Universal Value] atau nilai universal luar biasa dari UNESCO sehingga diakui sebagai warisan dunia yang membutuhkan perlindungan dan pelestarian. Pesona komodo kini telah menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara bersamaan dengan keindahan alam dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kecenderungan orang berwisata melihat komodo mengalami peningkatan.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Ancaman Kepunahan Komodo
Dalam setiap tahun ratusan ribu orang berwisata dengan tujuan utama hanya untuk melihat komodo. Namun kegiatan pariwisata ini dinilai memberikan dampak, berupa terjadinya perubahan perilaku komodo di kawasan wisata karena cenderung dekat dengan manusia yang hanya akan membuat kewaspadaannya berkurang. Selain itu, bobot tubuhnya semakin bertambah akibat atraksi pemberian makanan, yang akan menurunkan kemampuannya berburu.
Perubahan perilaku komodo di kawasan wisata ini juga selaras dengan penelitian berjudul “Perilaku Komodo di Kawasan Wisata dan Non Wisata di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, NTT”, yang menyebutkan bahwa komodo jantan di kawasan wisata cenderung lebih sedikit bergerak. Juga, komodo yang berada di kawasan wisata terbiasa dengan kehadiran manusia serta cenderung tidak merespon manusia.
“Komodo jantan dan remaja lebih banyak berada di habitat artifisial, sedangkan komodo betina lebih banyak berada di habitat alami karena sedang bersarang,” tulis para peneliti.
Kondisi ini membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] melakukan kajian daya dukung dan daya tampung wisata yang menekankan pentingnya pemberlakukan pembatasan kuota pengunjung di Taman Nasional Komodo demi menjaga kelestarian populasi biawak komodo.
Dalam siaran persnya, Wakil Menteri LHK, Alue Dohong, menjelaskan bahwa perlu ada aturan jumlah maksimum yang dapat ditampung agar tidak berdampak pada kelestarian satwa komodo. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi komodo dan satwa liar lainnya.
Hasil kajian daya dukung dan daya tampung wisata tersebut merekomendasikan bahwa jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo adalah 219.000 wisatawan dan ke Pulau Padar mencapai 39.420 wisatawan atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.