- Beni Irawan [40], perajin perahu tradisional generasi keempat yang masih bertahan di Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
- Namun saat ini, profesi sebagai perajin perahu tradisional di Muara Lakitan semakin berkurang, dikarenakan hilangnya ikan, hutan, dan penerus perajin perahu tradisional. Beni menjadi perajin terakhir perahu kayu tradisional.
- Konversi ribuan hektar hutan dan rawa menjadi perkebunan sawit menyebabkan angkutan air menjadi tidak diminati, berganti darat. Seiring dengan hilangnya hutan dan ditimbunnya rawa, mendapat kayu bahan baku kayu untuk perahu pun jadi semakin sulit.
- Perlahan, jenis perahu perahu kayu semakin hilang dan digantikan dengan perahu yang terbuat dari bahan fiber.
Siang itu, Beni Irawan [40] tengah menyugu bagian luar dinding perahu biduk di di depan rumahnya. Perahu sepanjang tiga meter dengan lebar 75 centimeter [tengah] dan 25 centimeter [kedua ujungnya], terbuat dari kayu bungur [Lagerstroemis speciosa].
“Saya sudah 25 tahun membuat perahu. Awalnya menemani bapak saya membuat perahu,” kata Beni, warga Kampung 6, Kelurahan Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, awal Oktober 2023 lalu.
Beni, perajin perahu tradisional yang masih bertahan atau tersisa di Kecamatan Muara Lakitan. Sebelumnya, sekitar lima tahun lalu, terdapat tiga perajin perahu di Muara Lakitan.
“Saya adalah generasi keempat pembuat perahu. Buyut saya dikenal sebagai pembuat perahu, bukan hanya di Muara Lakitan, juga daerah lain di sepanjang Sungai Musi ini,” kata Beni.
Perahu biduk adalah perahu yang sedikit lebih besar dari sampan. Bedanya, kalau sampan hanya ditumpangi satu orang, sementara perahu biduk dapat membawa 2-3 orang. “Kalau sampan digunakan di rawa atau sungai kecil, sementara perahu biduk digunakan di sungai besar,” kata Beni.
Perahu ini tidak bermesin, adapun cara menggerakkannya di air menggunakan dayung. Perahu ini umumnya digunakan warga untuk mencari ikan di sungai, seperti Sungai Musi, yang melintas di Muara Lakitan.
Satu perahu biduk dihargai Beni seharga Rp4-6 juta. “Tergantung jenis kayu yang digunakan. Kalau kayu bungur sekitar Rp4 juta, tapi kalau kayu meranti sekitar Rp6 juta.”
Selain dapat membuat perahu biduk, Beni juga dapat membuat kapal jukung. Kapal jukung adalah kapal pengangkut barang di Sungai Musi. Kapal jukung dapat membawa barang seberat 60 ton. Panjangnya kisaran 15 meter dengan lebar lima meter [tengah]. “Biaya membuat kapal jukung kisaran Rp250-300 juta.”
“Tapi sudah 10 tahun lebih saya tidak pernah dapat pesanan membuat kapal jukung. Sekarang ini banyak yang pesan perahu biduk,” kata bapak dua anak ini.
Dijelaskan Beni, membuat sebuah perahu membutuhkan waktu sekitar satu pekan hingga satu bulan. “Kalau sampan cukup seminggu, tapi perahu biduk muatannya untuk lima orang, pembuatannya sekitar satu bulan.”
Selain menggunakan kayu, seperti kayu meranti [Shorea sp] dan bungur [Lagerstroemis speciosa], pembuatan perahu juga membutuhkan getah damar batu dan minyak tanah. Getah damar batu ini didapatkan dari pohon resak [Vatica sp]. Damar batu digunakan sebagai perekat atau dempul pada papan perahu. Cara menggunakannya. Damar batu ditumbuk hingga halus, kemudian dibasahi dengan minyak tanah, diuleni, baru kemudian digunakan.
Sejarah perahu kayu
Sumatera Selatan memiliki lahan basah seluas tiga juta hektar. Berupa sungai, danau, rawa gambut, dan mangrove. Komunitas manusia sudah menetap di lahan basah ini, dari masa sebelum hadirnya Kedatuan Sriwijaya [abad ke-7 masehi].
Salah satu bukti arkeologinya, berupa artefak perahu yang ditemukan di sejumlah situs di pesisir timur Sumatera Selatan. Misalnya di Lalan [Kabupaten Musi Banyuasin] Air Sugihan [Kabupaten Banyuasin],Tulungselapan dan Cengal [Kabupaten Ogan Ilir].
Perahu yang umumnya digunakan masyarakat pada masa Kedatuan Sriwijaya, yakni perahu kajang. Perahu kajang adalah perahu yang juga berfungsi sebagai rumah. Perahu kajang menggunakan atap dari daun nipah [Nypa fruticans].
Atap ini terdiri dari tiga bagian, yakni bagian depan [kajang tarik], bagian tengah [kajang tetap], dan bagian belakang [tunjang karang].
Hingga tahun 1990-an, perahu kajang masih diproduksi oleh masyarakat di Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Saat ini, perahu kajang sudah sulit didapatkan.
Terancam
Beni memperkirakan perahu biduk di Muara Lakitan dalam beberapa tahun ke depan akan hilang. “Dulu, setiap bulan minimal 10 perahu biduk yang dipesan warga ke saya. Sekarang ini, dalam sebulan terkadang tidak ada yang memesan,” kata Beni. Mengapa?
Pertama, tidak banyak lagi masyarakat di Muara Lakitan yang mencari ikan di Sungai Musi dan rawa. Penyebabnya populasi ikan mulai berkurang. “Banyak rawa tempat bertelurnya ikan sudah rusak atau berubah menjadi kebun sawit,” kata Beni, yang sehari-harinya mencari ikan di Sungai Musi.
“Bukan tidak mungkin suatu saat nanti Sungai Musi yang melintas di Muara Lakitan ditimbun sedikit demi sedikit oleh masyarakat, dan akhirnya menjadi parit, seperti sungai-sungai di Palembang.”
Kedua, bahan baku kayu untuk pembuatan perahu juga berkurang atau hilang. “Kayu-kayu meranti [Shorea spp.] sudah tidak ada lagi. Hutannya sudah habis,” kata Beni.
Mustar [45], salah seorang perajin perahu speedboat di 3-4 Ulu Palembang mengiyakan pernyataan Beni. “Sekarang ini sulit sekali mendapatkan kayu meranti. Kayu meranti lebih banyak didatangkan dari luar [Jambi dan Kalimantan].” Padahal sebutnya, permintaan speedboat kayu tak pernah kurang.
“Pemesanan perahu speedboat ini hampir setiap hari, seperti dari wilayah Tulungselapan. Tapi tidak semuanya terpenuhi sebab sulit dapat kayu meranti,” jelas Mustar. Akibatnya sekarang lebih banyak speedboat yang terbuat dari bahan fiber.
“Speedboat dari kayu lebih kuat dibandingkan fiber. Juga lebih mantap [beratnya] saat melaju di air, tidak melayang. Kalau terjadi kecelakaan, speedboat dari kayu tidak hancur lebur,” imbuhnya.
Ketiga, tidak ada lagi generasi muda yang mau belajar atau menjadi perajin perahu. “Termasuk anak saya yang tidak mau menjadi pembuat perahu,” ujar Beni. Ini menjadi kecemasan tersendiri baginya, saat suatu saat budaya sungai menghilang.
“Sekarang ini tidak ada lagi yang menggunakan sampan, sebab rawa di Muara Lakitan ini sudah habis dijadikan perkebunan sawit.”
Sebagai informasi, luas Kecamatan Muara Lakitan sekitar 196.354 hektar, sementara luas perkebunan sawit sekitar 9.185 hektar. Perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Muara Lakitan, seperti PT PT Djuanda Sawit Lestari dan PT Lonsum.
“Banyak warga yang sukses berkebun sawit. Malah sebagian kebun karet sudah berubah menjadi kebun sawit,” kata Hamzi [48], warga Muara Lakitan.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik [BPS], pada tahun 2020, luas kebun karet di Muara Lakitan sekitar 16.308 hektar, dan pada 2021 berkurang menjadi 15.920 hektar.