- Alkisah pernah terjadi kelaparan dan kesengsaraan di masyarakat adat Lamaholot. Pada akhirnya dapat diatasi dengan pengorbanan Tonu Wujo, atau dewi kesuburan.
- Cerita Tonu Wujo adalah lambang tentang pengorbanan, kerja keras, dan menjaga alam.
- Cerita ini mencakup nilai dan kearifan tentang etik ekologis, bahwa alam bukan hanya milik manusia sehingga perlu keseimbangan.
- Dalam budaya berladang masyarakat Lamaholot, selain tanaman pangan untuk manusia, ada tanaman yang ditanam untuk memberi bagian kepada burung, babi hutan dan satwa lainnya.
Saat hasil buruan tak ada, hasil tangkapan ikan di sungai pun hilang, kelaparan pun menghantui masyarakat.
“Ubi-ubian tak ada. Binatang pun pergi. Kita tak bisa bertahan lebih lama,” ucap Lalode. Dia bersama 6 lelaki memegang anak panah, tombak dan parang.
Situasi pun semakin sulit. Tonu Wujo lalu meminta saudara-saudaranya untuk bersabar. Dia bilang Rera Wulan Tana Ekan (Penguasa Langit dan Bumi) akan memberi jalan, mereka hanya diminta untuk menunggu.
Saat musim tanam tiba, Tonu Wujo dan para saudaranya pergi ke ladang. Di atas batu ceper di tengah ladang, dia duduk. Dia meminta para saudaranya membunuhnya, lalu menyebarkan potongan tubuhnya ke seantero ladang.
Ajaibnya, dari potongan tubuhnya tumbuh benih-benih kehidupan seperti padi, jagung, sorgum dan aneka bahan pangan lainnya.
Sepenggal syair pun diucapkan.
“Tonu menampakkan diri di mata air, di dahan pohon, di hutan, bukit dan gunung, juga di pantai. Adakah tempat-tempat itu kalian jaga sebagai bagian diri dan hidupmu. Tempat belajar mengenal dan mencintai segala yang hidup?”
Itulah, sekelumit cerita mitos yang di kenal di Flores, tepatnya yang hidup di masyarakat etnis Lamaholot. Cerita tentang Tonu Wujo adalah bentuk pengorbanan, dari situ mengalirlah kesejahteraan ke semua mahluk.
Fragmen cerita itu dibawakan dalam pentas teater Tonu Wujo oleh Teater Nara bekerjasama dengan Lembaga Seni Budaya Fanfare Santa Caecilia di Kompleks OMK Keuskupan Larantuka, Kota Larantuka, Nusa Tenggara Timur (19/9/2023).

Berasal dari kultur ladang
Silvester Petara Hurit pendiri Teater Nara menyebutkan, dewi kesuburan Tonu Wujo hidup dalam kultur berladang dan melaut masyarakat Lamaholot tua.
Sil sapaannya, mengatakan esensi dari sebuah cerita tentu menyimpan banyak nilai dan kearifan hidup terutama etika ekologis, yang mengatur interaksi manusia dengan alam, tersedianya pangan, dan musim.
“Manusia harus selalu dekat dengan tanahnya, di lahan kering berbatu sekalipun ketika hujan turun, maka segala kehidupan akan tumbuh,” ucapnya.
Adanya respek kepada tanah akan membuat manusia tekun dalam bekerja, dan memperlakukan alam.
“Maka kita harus membangun kearifan hidup, jujur, kerja keras, rajin, berbagi untuk orang lain dan merawat hati. Laku individu juga akan berpengaruh terhadap rejeki. Namun, acapkali kita tercerabut dari pengetahuan-pengetahuan lokal kita,” sesalnya.

Baca juga: Kisah Jedo dan Peran Perempuan di Balik Pangan Orang Lamaholot
Menjaga Laku
Sil mengaku gelisah terkait perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Menurutnya,perubahan iklim timbul akibat akumulasi laku yang tidak lagi sadar terhadap alam.
Untuk itu laku individu jika digabung menjadi laku kolektif, akan menciptakan problem kolektif solusi perubahan iklim.
“Kalau di rawat maka alam akan bersahabat dengan kita. Alam adalah bagian dari diri kita, ibu kita,” tuturnya.
Tuhan dalam etnis Lamaholot disebut dengan nama Ama Ratu Tuan Lera Wulan Tanah Ekan, atau matahari dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia yakin, problem global dapat dihadapi lewat laku lokal.
“Kita tidak bisa merubah sesuatu yang global kalau kita tidak memulainya dengan lingkungan [lokal] kita,” ucapnya.
“Persoalan kesadaran kita harus menyeluruh terhadap ekosistem, rasa hormat kita pada alam, terhadap bumi dan makluk hidup,” ucapnya.
Di masyarakat lokal hal itu sebutnya telah dipraktikan. Seperti dalam menangkap ikan ada musim buka/tutup laut saat ikan beranak pinak, kapan harus ke kebun dan membersihkan ladang.
Dalam praktik tradisional, maka rejeki yang dihasilkan dari ladang dibagikan. Bukan saja kepada manusia, tetapi juga kepada makluk hidup lainnya.
“Dalam budaya berladang masyarakat Lamaholot ada tanaman yang dibagikan kepada burung, babi hutan dan lainnya. Ada keseimbangan, kesadaran hidup ini bukan hanya milik manusia sehingga di jaga agar semuanya baik,” pesannya.