Pemahaman umum dewasa ini “pembangunan berkelanjutan” dimaknai sebagai proses pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Gagasan ini telah menjadi konsep universal dan bagian integral dari banyak kebijakan sektor termasuk pariwisata. Namun, pariwisata berkelanjutan kini menjadi sorotan utama, terutama karena industri pariwisata bisa berdampak pada kerusakan lingkungan, konflik sosial, eksploitasi pekerja, dan pergeseran budaya.
Kritik yang disematkan pada pariwisata berkelanjutan oleh para sarjana dan praktisi pariwisata adalah pada praktik yang melanggengkan status quo alih-alih melakukan perubahan yang substansial.
Agenda pembangunan berkelanjutan yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa dianggap gagal keluar dari imperatif pertumbuhan ekonomi yang melampaui dampak sosial-ekologis negatif. Selain itu,-meski ada upaya pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk mengurangi kerusakan, dianggap tidak memadai bagi generasi saat ini dan akan datang.
Bellato et al (2022) mencatat paradigma dominan dalam pariwisata berkelanjutan telah lama mengikuti pandangan dunia mekanistik dan model pertumbuhan ekonomi industri.
Paradigma “berkelanjutan” menghasilkan perspektif yang tetap melihat manusia sebagai entitas yang terpisah dari alam, sehingga menciptakan hubungan persaingan antara manusia dengan alam, maupun antar sesama manusia.
Selain itu, persoalan keadilan pembangunan cenderung tetap mempertahankan struktur kekuasaan yang sudah ada dengan tetap memberlakukan perthatian lebih pada dimensi ekonomi ketimbang aspek produksi industri pariwisata lainnya seperti: dimensi sosial dan lingkungan.
Pendekatan pariwisata berkelanjutan juga ditandai dengan model kerangka kerja yang di dominasi dan dipimpin oleh sektor swasta/industri dan pemerintah yang bergerak dari atas ke bawah.
Dengan kata lain, rezim pariwisata berkelanjutan cenderung melihat pariwisata sebagai industri, yang pada akhirnya memprioritaskan intervensi yang terpusat, terstandarisasi, dan tersegmentasi.
Baca juga: Persoalan Pariwisata, Air dan Gender: Kaitan dan Urgensinya
Konteks Indonesia
Di Indonesia, perhatian terhadap pariwisata berkelanjutan semakin meningkat seiring pertumbuhan industri pariwisata. Undang-Undang Pariwisata No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun telah menindaklanjuti dengan menerbitkan Pedoman Pariwisata Berkelanjutan, yang bertujuan untuk membimbing praktik pariwisata yang lebih berkelanjutan.
UU Pariwisata tahun 2009 secara eksplisit mengungkap pariwisata merupakan pendorong aktivitas ekonomi dan memberikan perhatian yang signifikan terhadap pengaturan industri pariwisata, manajemen destinasi pariwisata, lembaga pemasaran dan promosi. Secara khusus, UU ini mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk merumuskan rencana induk pariwisata.
Mengikuti rencana induk pariwisata, pemerintah lalu mencanangkan sepuluh proyek “Bali Baru” pada tahun 2016 dengan tujuan meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan asing. Proyek ini merupakan inisiatif pemerintah untuk membangun destinasi wisata yang meniru dampak ekonomi pariwisata di Bali ke seluruh wilayah Indonesia.
Keberhasilan Bali sebagai “surga pariwisata” tercatat dalam Survei Ekonomi Indonesia oleh OECD tahun 2018. Survei menempatkan Bali sebagai ikon keberhasilan pariwisata Indonesia dalam menciptakan merek pariwisata yang populer.
Pertumbuhan ekonomi dalam pariwisata berkelanjutan datang dari pihak pemerintah dan ‘para ahli’, yang diprogramkan dari atas ke bawah. Pada tahun 2019 pemerintah menetapkan target peningkatan kontribusi sektor pariwisata hingga mencapai 8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target kedatangan wisatawan akan (diupayakan) dilipatgandakan menjadi sekitar 20 juta/tahun.
Di saat yang sama, riset ELSAM mengungkapkan situasi pembangunan destinasi “Bali Baru”. Sejumlah pelanggaran HAM terjadi, seperti hak atas tanah, hak masyarakat adat, hak atas sumber daya alam termasuk air, hak atas pembangunan (partisipasi dalam pengambilan keputusan), hak atas privasi, hak tenaga kerja (termasuk hak kesehatan dan keselamatan), serta isu-isu terkait hak perempuan dan anak seperti eksploitasi seksual.
Penelitian ELSAM mengungkap peran dominan korporasi dalam sektor pariwisata sebagai dampak kebijakan deregulasi dan privatisasi. Kepentingan perusahaan lebih sering mendapatkan dukungan dari pemerintah, yang pada praktiknya sering mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.
“Pembangunan berkelanjutan” dan rencana kebijakan pariwisata menunjukkan pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang berpotensi menimbulkan over-tourism, yakni menyebabkan kondisi pariwisata yang tak terkendali, tidak terkelola, dan tidak berkelanjutan.
Over-tourism atau jumlah wisatawan yang terlalu banyak di suatu destinasi dapat berdampak negatif pada kualitas hidup masyarakat, merusak lingkungan di lokasi destinasi, dan membahayakan keberlanjutan pariwisata itu sendiri.
Baca juga: Ekowisata Menjadi Ancaman Baru Hiu Paus
Gagasan Alternatif: Pariwisata Regeneratif
Alih-alih yang dikembangkan saat ini, pendekatan yang lebih proaktif terhadap keutuhan lingkungan dan budaya diperlukan. Konsep pariwisata regeneratif oleh banyak kalangan disebut sebagai alternatif/koreksi dari pariwisata berkelanjutan.
Konsep pariwisata regeneratif dipandang sebagai alat untuk memperbaiki ekosistem yang rusak, mengembalikan budaya yang terpinggirkan, dan membangun kesejahteraan masyarakat yang hakiki.
Pariwisata regeneratif adalah pendekatan yang berasal dari pandangan ekologis. Pariwisata regeneratif melibatkan desain dan pengelolaan aktivitas pariwisata dengan cara yang tidak hanya meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat lokal, tetapi juga berkontribusi aktif pada pemulihan dan peningkatan kualitas keduanya.
Pariwisata regeneratif tidak sekedar mengelola dampak sosial-ekologis sambil mengejar pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas. Cara pandang regeneratif memprioritaskan pada penciptaan bersama (co-creation) dari kepariwisataan yang adil dan inklusif, dan berusaha menciptakan dampak positif bersih/total pada sistem sosial-ekologis.
Singkatnya, pariwisata regeneratif memfokuskan intervensinya pada membangun kapasitas seluruh sistem kehidupan (living systems) untuk melakukan regenerasi. Bellato et al (2022) mencatat tujuh prinsip/nilai dalam pariwisata regeneratif:
Pertama, pandangan dunia ekologis (ecological worldview) mengembangkan hubungan kerjasama yang evolusioner, saling menguntungkan, dan menghormati batas-batas kehidupan planetari (planetary boundaries);
kedua, menggunakan pemikiran sistem kehidupan dalam perancangan dan penyelenggaraan pariwisata untuk memicu transformatif. Ini berarti melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan kepentingan bersama dalam menjaga “kesehatan” suatu destinasi;
ketiga, menemukan potensi lokal (dan komunitasnya) dengan memahami secara mendalam fitur-fitur unik dan sejarah mereka, dan proses berbasis lokalitas yang mencerminkan, menghormati, dan meningkatkan sistem sosial-ekologis setempat;
keempat, mengoptimalkan kemampuan sistem kehidupan pariwisata untuk memacu transformasi, yakni mengidentifikasi dan mengoptimalkan konvergensi antara daerah aliran air (watershed) dan layanan rekreasi untuk memicu dampak sistemik yang bermanfaat dan membangun kapasitas pariwisata dan sistem sosial-ekologis terkaitnya;
kelima, menerapkan pendekatan “pemulihan” yang mendorong kebangkitan budaya, pengembalian tanah, dan memberikan keistimewaan pada pandangan, pengetahuan, dan praktik masyarakat adat/asli/lokal serta kelompok yang terpinggirkan;
keenam, menciptakan dampak dan efek positif bersih (net-positive impact) pada ekosistem, yakni dengan berkontribusi pada kondisi yang memulihkan sistem kehidupan secara terus menerus dan mandiri (self generate);
ketujuh, berkolaborasi dengan berbagi peran, tanggung jawab, pengetahuan, tugas, dan sumber daya.
Baca juga: Era Kenormalan Baru dan Prinsip Fundamental Ekowisata
Contoh Nyata
Pada tahun 2021 berbagai elemen komunitas di Pulau Flinders (Tasmania, Australia) memulai inisiatif menuju pariwisata regeneratif yang disebut The Islander Way. Hal ini dipicu oleh keresahan over-tourism akibat kebijakan pemerintah nasional sebagai respon pasca pandemi.
Selama dua tahun, proyek ini merancang bersama masa depan pariwisata dari dan untuk komunitas dengan menggunakan prinsip-prinsip pariwisata regeneratif yang dipimpin oleh komunitas. Kegiatan inisiatif pariwisata regeneratif tersebut mencakup:
- Kegiatan yang menghubungkan berbagai komunitas warga untuk saling terhubung, berkolaborasi, dan membayangkan masa depan pariwisata bersama.
- Program dukungan bisnis ekonomi wisata yang mendorong kewirausahaan lokal.
- Pembimbingan, mentoring, dan peluang belajar.
- Pengalaman pengunjung yang konsisten dengan nilai dan visi Islander Way.
- Inisiatif komunitas yang memanfaatkan ekonomi wisata untuk mengatasi masalah lokal.
- Inisiatif manajemen pengunjung.
Penutup
Paradigma pembangunan pariwisata di Indonesia perlu bergerak melampaui pendekatan berkelanjutan dan menuju ke arah regeneratif yang lebih inklusif, yang memahami dan memuliakan nilai-nilai lokal serta tanggung jawab terhadap dampak lingkungan.
Meskipun tantangan besar ada, -termasuk dalam hal perubahan paradigma dan keterlibatan komprehensif komunitas, pendekatan regeneratif dapat menjadi langkah progresif untuk mendukung pembangunan pariwisata yang sungguh-sungguh berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam menjalankan model pariwisata regeneratif. Langkah ini tidak hanya membuka ruang untuk inovasi lokal, tetapi juga meningkatkan keberlanjutan pariwisata secara keseluruhan.
Pada akhirnya, yang kita butuhkan sekarang bukan lagi ‘peraturan dan standar’ yang mewakili cara berpikir “keberlanjutan” lama yang hanya melanggengkan kontrol elite dari struktur atas ke bawah. Yang kita perlukan sekarang adalah studi kasus, contoh, peluang belajar, dan percobaan dari praktik pariwisata regeneratif.
* Yesaya Sandang. Penulis adalah dosen pada program Magister Studi Pembangunan dan Sarjana Terapan Destinasi Pariwisata Univesitas Kristen Satya Wacana (FID-UKSW), Salatiga. Tulisan ini adalah opini penulis.