- Indonesia terus berkampanye menjadi negara pulau dan kepulauan (AIS) yang sukses menjalankan beragam program dalam beberapa tahun terakhir. Selain program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Indonesia juga fokus menerapkan kebijakan ekonomi biru
- Ekonomi biru menjadi pilihan, karena dinilai bisa membantu Indonesia untuk mewujudkan visi dan misi menjadi negara tangguh dan maju pada 2045 nanti. Kebijakan tersebut juga diklaim bisa menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan ekologi secara bersamaan
- Walau sama-sama penting dan dijalankan Indonesia, namun kedua isu tersebut ternyata mengalami nasib berbeda pada KTT AIS 2023. Gelaran akbar tersebut membahas dalam tentang ekonomi biru, namun tidak dengan bencana perubahan iklim
- Tetapi, bahasan tentang ekonomi biru juga dinilai berlebihan. Pasalnya, Indonesia ambisius mengenalkan kebijakan tersebut kepada seluruh negara anggota AIS saat KTT AIS 2023 digelar di Bali, pekan lalu
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara Pulau dan Kepulauan atau Archipelagic and Island State (AIS) Forum 2023 yang digelar pekan lalu di Bali, ternyata tidak mempertimbangkan bencana iklim yang masif sebagai salah satu bahasan penting. Fakta tersebut menjadi ironi, karena wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kawasan beresiko tinggi dari bencana iklim.
Tanpa ada intervensi dari semua pihak, bencana iklim akan meluluhlantakkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak dihuni oleh masyarakat perikanan skala kecil. Selain nelayan kecil dan tradisional, ada juga petambak garam, pembudi daya ikan, dan perempuan nelayan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyayangkan tidak dijadikannya bencana iklim sebagai salah satu pertimbangan utama yang dibahas. Padahal, pada kenyataannya bencana tersebut sudah semakin banyak terjadi dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
Manajer Kajian Kebencanaan Eksekutif Nasional WALHI Melva Harahap menjelaskan kalau bencana iklim menjadi sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat pesisir, karena dampaknya yang sangat mengerikan.
Selain bisa menyebabkan hilangnya harta benda, bencana iklim juga memicu kematian, kehancuran mata pencaharian nelayan, dan terjadinya kerusakan lingkungan, baik di pesisir atau pun di laut. Itu kenapa, WALHI menilai kalau bencana iklim seharusnya menjadi salah satu pertimbangan utama pada KTT AIS 2023.
Dia memaparkan fakta bahwa sepanjang 2022 lalu telah terjadi 1.057 kali cuaca ekstrem dengan disertai 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Kondisi itu mengakibatkan banyak nelayan tidak bisa mengoperasikan alat penangkapan ikan (API) tradisional untuk melaut.
baca : Janji Indonesia di KTT AIS di Tengah Banyak Persoalan Pesisir dan Pulau Kecil
Salah satu contohnya, menimpa para nelayan yang ada di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat itu, nelayan tidak bisa mencari ikan hingga tiga pekan sejak Desember 2022 diakibatkan cuaca buruk.
Begitu juga dialami ratusan nelayan di pesisir Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta yang meskipun tetap nekad melaut, namun hasil sudah bisa ditebak. Mereka tidak membawa tangkapan ikan seperti biasanya.
“Apa yang dialami oleh nelayan di Kupang dan Jakarta menggambarkan betapa bencana iklim sangat berbahaya bagi kehidupan lebih dari dua juta nelayan tradisional di Indonesia,” ungkap dia.
Melva Harahap kemudian menambahkan fakta bahwa pada 2010, jumlah nelayan yang harus meregang nyawa karena cuaca buruk mencapai 87 orang. Jumlah tersebut naik signifikan pada 2020 menjadi 251 orang.
“Tentu hal ini tak dapat dibiarkan, karena mereka adalah aktor utama sektor kelautan dan perikanan,” tambah dia.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin juga mengkritik gelaran KTT AIS 2023 di Bali. Pasalnya, perhelatan akbar itu menjadi ajang pamer bagi Pemerintah Indonesia tentang ekonomi biru yang diklaim menjadi solusi tata kelola kelautan dan perikanan.
Kampanye tersebut dinilai tidak tepat, karena ekonomi biru bukan untuk menjadi solusi tata kelola laut di Indonesia. Hal itu lantaran secara mendasar laut di Indonesia masih menjadi ruang kompetisi terbuka yang bisa memicu eksploitasi berlebihan pada sumber daya laut.
Dia menjabarkan kalau konsep ruang terbuka pada laut mulai muncul dari doktrin yang digagas oleh Hugo de Groot atau Hugo Grotius, seorang ahli hukum dari Belanda. Konsep tersebut kemudian berkembang dengan memadukan konsep ekonomi pasar modern.
Doktrin tersebut menjadi dasar dari konsep laut dengan akses terbuka (open access), di mana laut diposisikan sebagai ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar. Namun, kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, dan siapa pun yang memiliki kekuatan dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.
baca juga : Jaring Nusa Serukan agar KTT AIS Berikan Solusi Konkret Atasi Dampak Perubahan Iklim
Menurut dia, kata biru yang tersemat pada ekonomi biru adalah melambangkan warna biru dari ekonomi kapitalis yang berfokus pada pasar dan modal. Itu berarti, secara harfiah ruang tangkap nelayan tradisional sudah tidak mendapatkan pengakuan dalam ekonomi biru.
“Terutama dalam peraturan perundangan,” tegas dia.
Tegasnya, ekonomi biru diterapkan karena Pemerintah lebih memprioritaskan pemberian akses laut yang terbuka kepada siapa pun yang memiliki kemampuan finansial kuat. Hal itu memicu terjadinya tragedi kepemilikan bersama di laut.
Tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons) adalah upaya untuk mengeruk kekayaan alam yang menjadi milik bersama (publik), namun dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ini mengakibatkan sumber daya alam akan terus mengalami penurunan dengan cepat.
Parid Ridwanuddin bahkan berani menyimpulkan kalau ekonomi biru tidak memiliki cerita yang baik untuk dibagikan dan diserap oleh banyak negara. Kesimpulan itu muncul, salah satunya karena penerapan ekonomi biru dinilai telah gagal di Zanzibar, Tanzania, dan Cile.
Penerapan di tiga negara itu, dinilai berperan melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan. Hal itu terwujud melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.
Selain tiga negara tersebut, ekonomi biru juga diterapkan di Palau, dan Pohnpei dengan hasil kegagalan yang sama. Dua negara tersebut mengalami tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian masif.
Hal serupa juga dialami Papua Nugini, negara yang berbatasan dengan Indonesia di pulau Papua. Negara tersebut mengalami gangguan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil.
“Ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spritual masyarakat pulaunya,” ungkap dia.
Sementara, penerapan ekonomi biru di Namibia hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, dan mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia.
baca juga : Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia
Percepatan Perampasan
Contoh dan pengalaman dari sejumlah negara tersebut, seharusnya tidak dirasakan Indonesia. Meski pun, pada kenyataannya konsep ekonomi biru saat ini sudah menjadi arus utama dari Pemerintah Indonesia untuk pembangunan ekonomi kelautan.
“Khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJPN periode 2025 sampai 2045. Ini merupakan ironi besar,” tutur dia.
Tanpa ragu, Parid Ridwanuddin menyebut kalau ekonomi biru di Indonesia saat ini sedang ada di fase percepatan perampasan ruang laut atau ocean grabbing. Proses tersebut, membuat ekonomi biru bukan lagi menjadi solusi, melainkan justru menjadi masalah baru.
Dia menyebut kalau istilah ocean grabbing muncul untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut. Juga, berdampak buruk pada keberlanjutan hidup masyarakat yang bergantung kepada penangkapan ikan skala kecil.
Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia. Sekaligus, bagaimana mempromosikan konsep ekonomi konstitusi yang dimaksud dalam forum-forum internasional seperti AIS 2023.
“Pemerintah seharusnya tidak silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara. Dengan demikian, forum tersebut hanya akan menjadi ruang perluasan konsolidasi kapital dan investasi untuk menguasai pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” pungkas dia.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Menteri Kelautan dan Perikanan Hendra Yusran Siry menjelaskan kalau fokus yang dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini, memang pada implementasi kebijakan ekonomi biru.
Menurut dia, kebijakan tersebut menjadi fokus, karena itu bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam laut dan pesisir secara berkelanjutan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Dia menyebut, kebijakan ekonomi biru terdiri dari lima pilar, yaitu penambahan luas kawasan konservasi laut; penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pengembangan perikanan budi daya di laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan; pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau kecil; serta pengelolaan sampah plastik di laut.
baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
Agar potensi ekonomi biru bisa optimal, ada tantangan besar yang harus dilewati Indonesia, salah satunya adalah ancaman perubahan iklim. Bencana tersebut bisa menyebabkan permukaan air laut naik, dan sekaligus menurunkan muka tanah secara bersamaan.
“Di beberapa daerah di Indonesia, penurunan muka tanah telah terjadi secara signifikan. Hal ini dapat memperburuk ancaman tenggelamnya pulau-pulau,” terang dia.
CEO Landscape Indonesia Agus Sari berpendapat kalau penerapan ekonomi biru menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk bisa tampil sebagai pemimpin maritim di dunia. Namun, kebijakan tersebut harus dibicarakan secara komprehensif.
Pasalnya, dengan wilayah laut Indonesia yang sangat luas disertai kekayaan sumber daya alam yang melimpah, ada beragam tantangan yang harus dilewati. Misalnya saja, persoalan kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan sampah plastik di laut.
Lain pihak, walau dikritik tentang penanganan bencana iklim, namun Indonesia tetap percaya diri untuk maju ke depan panggung KTT AIS 2023 dengan mengenalkan diri sebagai negara pelopor pada isu kebencanaan iklim.
Pengenalan tersebut dilakukan dengan memberikan bantuan untuk negara-negara AIS yang sedang dilanda bencana iklim dengan kisaran antara USD10 juta hingga USD50 juta. Meskipun tidak besar, bantuan itu dinilai cukup konkret dan dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh negara-negara kepulauan.
“Mereka negara kecil, Indonesia sekarang lumayan bisa bantu beberapa juta dolar,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelum KTT AIS 2023 digelar.
Selain bantuan dana, Indonesia juga berbagi pengalaman kesuksesan yang pernah dilakukan dalam penanganan perubahan iklim yang telah menjadi ancaman nyata dunia. Menurutnya, Indonesia memiliki pengalaman yang cukup luas dalam mengatasi perubahan iklim.
“Kita sharing banyak pengalaman, bagaimana success story Indonesia menghadapi krisis COVID-19, iklim, dan macam-macam,” ungkap dia.
Salah satu contoh bantuan konkrit yang diberikan Indonesia adalah bantuan untuk mengatasi sampah laut, seperti pembangunan infrastruktur pengolahan sampah dan edukasi masyarakat. Selain itu, Indonesia juga akan berbagi pengalaman dalam melaksanakan restorasi hutan mangrove di bibir pantai.