- Kebun-kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan ada sekitar 3.3 juta hektar di Indonesia. Pemerintah pun akan menyelesaikan karut marut kebun sawit ini lewat aturan ‘pemutihan’.
- Dalam penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan ini pemerintah pakai mekanisme pemutihan Pasal 110A–110B aturan turunan Undang-undang Cipta Kerja.
- Organisasi masyarakat sipil pun mengingatkan, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan tak boleh melupakan aspek pemulihan lingkungan. Apalagi, tidak sedikit sawit ilegal dalam kawasan hutan berada di ekosistem penting seperti hutan konservasi, lindung maupun gambut.
- Kebijakan ‘pemutihan’ ini tak serta merta melarikan diri dari jerat hukum yang lain seperti UU Tindak Pidana Korupsi maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah akan menyelesaikan masalah sawit dalam kawasan hutan lewat aturan ‘pemutihan’. Organisasi masyarakat sipil pun mengingatkan, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan tak boleh melupakan aspek pemulihan lingkungan. Apalagi, tidak sedikit sawit ilegal dalam kawasan hutan berada di ekosistem penting seperti hutan konservasi, lindung maupun gambut. ‘Pemutihan’ terhadap kejahatan kehutanan ini pun tak membersihkan pelanggar dari jerat-jerat hukum aturan lainnya.
Dalam penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan ini pemerintah pakai mekanisme pemutihan Pasal 110A-110B aturan turunan Undang-undang Cipta Kerja. Regulasi ini ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administrasi di bidang kehutanan.
Dalam regulasi itu, perusahaan bisa membuat kegiatan jadi legal asal membayar denda administratif untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan.
“Tapi tidak disebutkan kemudian dari aspek lingkungan bagaimana mekanisme pemulihan lingkungan di sekitar kawasan yang dilepaskan dari kawasan hutan,” kata Nursamsu, Koordinator EoF dalam temu media di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kebun-kebun sawit ilegal ini banyak berada dalam kawasan ekosistem penting, salah satu terlihat dari dari kajian Eyes on The Forest (EoF) terbaru. Dalam kajian EoF dari November 2022-Januari 2023 itu, mereka analisis geospatial disusul pemantauan lapangan 46 perkebunan sawit yang terindikasi masuk kawasan hutan di Riau.
Analisis mereka dengan peta kawasan hutan dan merujuk rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) tahun 1994 dan 2018.
Hasilnya, kalau berdasarkan RTRW Riau 2018, mayoritas kebun berada di kawasan lindung resapan air dan kawasan lindung bergambut. Sedangkan kalau pakai peraturan fungsi kawasan hutan SK No.173/1986, mayoritas kebun di hutan produk dapat dikonversi (HPK).
Kebun sawit di kawasan hutan yang berfungsi untuk perlindungan resapan air dan gambut merupakan ekosistem penting. Saat berubah jadi kebun sawit, jelas berkontribusi bagi peningkatan perubahan iklim dan musnahnya spesies hidupan liar.
Pemutihan, katanya, tak boleh melupakan aspek perlindungan lingkungan lain yang termaktub dalam perundangan lain.
Mekanisme pemutihan dengan tengat 2 November ini juga didesak bertanggungjawab terhadap pemulihan kawasan hutan lindung dan konservasi.
“Misal, untuk sepadan sungai, kan tidak boleh ditanami sawit. Jadi, kalau diputihkan, tetap harus melindungi kawasan-kawasan penting itu,” katanya.
Jeffri Sianturi, Koordinator Senarai mengatakan, kebijakan ‘pemutihan’ yang difasilitasi UU Cipta Kerja ini tak serta merta jadi alat melarikan diri dari jerat hukum yang lain seperti UU Tindak Pidana Korupsi maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Satu contoh, katanya, dalam kasus korupsi bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi.
Dalam agenda eksepsi, kata Jeffri, Surya Darmadi berkelit tindak pidana yang dilakukan merupakan pelanggaran administratif, bukan korupsi. Pasal 110A dan 110B, jadi alasan kuasa hukumnya untuk meringankan tindak pidana Surya Darmadi.
“Tapi hakim ada pandangan sendiri. Hakim bilang kalau kerugian negara harus diselesaikan dengan UU Tindak Pidana Korupsi,” kata Jeffri.
Satrio Manggala, Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional menilai, dalam aturan ‘pemutihan’ turunan UU Cipta Kerja itu soal pidana kehutanan atas pelanggaran kebun sawit di kawasan hutan. Untuk itu, hukuman pidana lain di luar pidana kehutanan tak hapus alias tetap aktif.
Seharusnya, sebelum pemerintah mengubah semangat sanksi pidana jadi administratif, evaluasi terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dan lingkungan. “UU CK juga tidak memberi pembaruan, tapi menahan pemidanaan ini,” katanya.
Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dalam menyebut, maraknya sawit dalam kawasan hutan lindung dan konservasi terjadi karena ada pasar pembeli. Dalam catatannya, ada 50 perusahaan yang menampung sawit haram yang ditanam di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
“Sepanjang ada perusahaan-perusahaan itu yang beli sawit, sepanjang itu pula sawit dalam kawasan hutan tidak bisa diberantas,” katanya.
Harus transparan
EoF juga menyuarakan agar pemerintah yang menjalankan pemutihan sawit dalam kawasan hutan harus transparan. Hingga kini, tidak terang berapa perusahaan yang mengajukan diri pelegalan kawasan.
“Data dan informasi itu hanya bisa diketahui oleh perusahaan yang mengajukan, tak jadi data publik,” kata Samsu.
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau menyebut, keterbukaan proses pemutihan merupakan hal penting di Riau. Pasalnya, setengah dari 3,4 juta hektar sawit dalam kawasan hutan di Indonesia berada di provinsi ini.
Dari data yang dia cek, ada 801 subjek hukum berhasil KLHK identifikasi terdiri dari 146 perusahaan dan 29 individu. “Tapi ini masih diidentifikasi, belum tentu mereka sesuai PP24,” kata Boy.
Kecurigaan akan terus timbul kalau pemerintah tak memberikan proses terbuka. Bukan tidak mungkin, kata Boy, akan terus muncul insentif bagi perusahaan sekalipun praktik mereka selama ini melanggar hukum.
“Bisa saja insentif akan terus diberikan pada perusahaan. Jadi mereka akan terus diuntungkan,” kata Boy.
Masalah baru akan muncul setelah pemutihan dan pelepasan kawasan hutan di KLHK. Menurut Made, akan ada ruang gelap di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN saat perusahaan mengurus hak guna usaha.
“Proses perizinan di BPN itu gelap. Tidak ada masyarakat sipil yang pantau ruang gelap HGU di ATR/BPN,” katanya.
Dia contohkan, kasus korupsi Muhammad Syahrir, Mantan Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Riau yang vonis 12 tahun bui karena korupsi dalam proses pengurusan HGU. Perusahaan dia sebut akan masuk dalam lubang harimau ATR/BPN pasca selesai membayar denda administratif di KLHK.
“Wewenang untuk membuat terang ruang gelap itu nantinya ada di Menteri ATR/BPN.”
Karut marut data
Pemutihan sawit dalam kawasan hutan dinilai akan menemui kesulitan di Riau. Pasalnya, ada ketidakharmonisan data antara kawasan hutan versi pemerintah pusat dan pemerintah Riau.
Made menyebut, beberapa perusahaan di Riau ada di kawasan area penggunaan lain (APL) berdasarkan Perda RTRWP Riau 1994. Sementara daerah sama masuk dalam kawasan hutan berdasarkan Permenhut 50/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
Investigasi EoF bahkan menemukan aktivitas PT Palm Lestari Makmur di Indragiri Hulu berada di kawasan lindung berdasarkan RTRWP Riau 1994 dan hutan produksi dikonversi berdasarkan RTRWP 2018. “Bicara soal RTRW di Riau tidak sesuai ketentuan dan kacau,” kata Made.
Bahkan, pemerintah pernah mengeluarkan Tata Guna Hutan Kesepatakan (TGHK) pada 1986. Sebanyak, 78.000 kawasan hutan di TGHK berubah menjadi APL pada RTRWP Riau 1994.
“Pemerintah mau pakai yang mana? Dari dulu mereka tidak mau akui perda ini. Kebijakan karut marut ini menunjukkan kalau pemerintah tidak mau perbaiki tata kelola sawit.”
*******