- Nazarudin [58] merupakan mahout/pawang gajah berpengalaman yang masih aktif bertugas di Taman Nasional Way Kambas [TNWK], Lampung. Selama 40 tahun, dia telah mengurus sekitar 400-an gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].
- Pada 2011 lalu, Nazarudin mencetuskan sebuah program bernama Elephant Response Unit [ERU] di TNWK. Program itu dibuat untuk membantu menangani konflik manusia-gajah dengan menggunakan gajah jinak di sekitar TNWK. Gajah liar yang masuk permukiman warga, dihalau menggunakan gajah jinak dan kemudian digiring kembali ke kawasan TNWK.
- Tahun 2006, dia bersama teman-temannya membentuk Forum Komunikasi Mahout Sumatera [Fokmas]. Sebuah forum yang dibentuk sebagai wadah para mahout untuk berkomunikasi, bertukar pengalaman dan keahlian.
- Gajah tidak akan berkonflik dengan manusia, kalau bukan manusia yang menciptakan perseteruan. Konflik biasanya terjadi karena manusia membuka lahan begitu luas hingga mengakibatkan habitat gajah rusak. Otomatis, gajah mempertahankan ruang hidupnya.
Baca sebelumnya:
Masa Depan Gajah Sumatera di Lampung: Permanenkan Tanggul Batas TNWK
Tata Liman, Ketika Gajah Sumatera Dipindahkan ke Way Kambas
**
Nazarudin [58] merupakan mahout/pawang gajah berpengalaman yang masih aktif bertugas di Taman Nasional Way Kambas [TNWK], Lampung. Selama 40 tahun, dia telah mengurus sekitar 400-an gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].
Pada 2011 lalu, Nazarudin mencetuskan sebuah program bernama Elephant Response Unit [ERU] di TNWK. Program itu dibuat untuk membantu menangani konflik manusia-gajah dengan menggunakan gajah jinak di sekitar TNWK. Gajah liar yang masuk permukiman warga, dihalau menggunakan gajah jinak dan kemudian digiring kembali ke kawasan TNWK.
Nazarudin berperan aktif memperjuangkan nasib dan keahlian para mahout. Tahun 2006, dia bersama teman-temannya membentuk Forum Komunikasi Mahout Sumatera [Fokmas]. Sebuah forum yang dibentuk sebagai wadah para mahout untuk berkomunikasi, bertukar pengalaman dan keahlian. Sejak berdiri hingga saat ini, Nazarudin menjabat sebagai Ketua Fokmas.
Berikut wawancara Mongabay Indonesia bersama Nazarudin di Lampung.
Mongabay: Bagaimana awal mula Anda merawat gajah?
Nazarudin: Mulanya 4 Agustus 1984, saat usia saya 18 tahun. Saya merantau dari Desa Talang Tais, Bengkulu Selatan, ke Lampung.
Di Lampung, saya bekerja di tempat perawatan gajah di Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam [SBKSDA] Way Kambas. Ketika itu, Way Kambas belum menjadi taman nasional.
Saya kerja bagian staf. Saat itu ada lima bayi gajah, namanya Yeti, Dati, Rubado, Semi, dan Jaya. Umur mereka sekitar 3-8 bulanan. Saya penasaran dan berminat merawat bayi gajah tersebut. Saya mundur dari staf dan fokus sebagai perawat gajah.
Gajah itu berasal dari Karang Sari dan sekitar. Di sana banyak sumur, sehingga beberapa anak gajah terjebak di sumur-sumur itu.
Mongabay: Sebagai perawat bayi gajah, apa tugas utama Anda?
Nazarudin: Tugas saya memberi susu, mengarit rumput untuk pakan gajah dan membersihkan kandang.
Setiap pagi sekitar pukul 05.00 WIB, saya pergi ke kandang. Saya membuat air panas untuk melarutkan gula dan selanjutnya memberikan susu kepada bayi gajah tersebut. Setelah itu saya membersihkan kandang.
Siang hari, saya memberi susu kepada bayi gajah hingga dia tidur. Kemudian saya mencari rumput menggunakan sepeda atau jalan kaki.
Sore hari, saya memandikan gajah. Selesai itu memberikan susu lagi saat malam tiba hingga anak gajah itu tidur. Selesai semua, baru saya pulang.
Semua kegiatan itu saya catat. Ketika itu Pusat Latihan Gajah [PLG] belum ada. Pertengahan 1984 hingga awal 1985, saya harus berhenti sementara merawat bayi gajah, karena diikutsertakan dalam kegiatan Tata Liman yang dilaksanakan Departemen Kehutanan.
Mongabay: Bagaimana pengalaman Anda ikut program Tata Liman?
Nazarudin: Saat itu, puluhan gajah berasal dari Gunung Madu, Lampung Tengah, dipindahkan ke Way Kambas. Pengalaman tak terlupakan saya adalah ketika rombongan ini melintasi Sungai Way Seputih, terlihat para induk berbaris paling depan, diikuti gajah-gajah jantan. Sementara bayi gajah berdiri di atas punggung para induk. Mereka berjuang dan berjalan bersama tanpa meninggalkan satu sama lain.
Saya ikut Tata Liman juga tahun 1986, ketika itu menangkap empat individu gajah dari lokasi Gunung Betung, Sukadanaham, dan Umbulri. Gajah ini dilatih dan diberi nama yaitu tiga betina [Umri, Iweng, dan Tongkun] serta jantan [Argo].
Program Tata Liman tahun selanjutnya saya tetap terlibat. Akhir 1980-an dan awal 1990-an menjadi cerita terakhir gajah di wilayah Gunung Betung, Sukadanaham, dan Umbulri, sebab setelah kurun waktu ini tidak ditemukan lagi jejak mamalia besar tersebut.
Mongabay: Setelah gajah dikumpulkan di Way Kambas melalui program Tata Liman, apa kesibukan Anda selanjutnya?
Nazarudin: Setelah Tata Liman, saya mendengar kabar rencana pendirian sekolah gajah.
Benar saja, sekolah gajah ini kemudian dikenal sebagai Pusat Latihan Gajah [PLG] yang resmi berdiri 27 Agustus 1985. Sejak saat itu, saya mulai fokus merawat dan melatih gajah.
Ketika itu, pemerintah mendatangkan pelatih gajah dari Thailand untuk mengajarkan bagaimana cara merawat dan melatih gajah. Di sini saya mulai paham cara melatih gajah, sembari mengkombinasikan dengan metode yang bisa saya kembangkan.
Mongabay: Adakah tahapan khusus melatih gajah?
Nazarudin: Ada dua tahap pelatihan, yaitu latihan dasar dan latihan pengembangan. Untuk latihan dasar, umumnya gajah usia 3-5 tahun membutuhkan 3- 6 bulan pelatihan. Sementara tingkat pengembangan, membutuhkan waktu 3-7 bulan.
Saat ini, latihan pengembangan kita ubah. Kalau dulu untuk atraksi sepakbola dan sebagainya, terutama bertujuan hiburan dan wisata, sekarang pelatihannya untuk buka mulut, buka telinga, dan angkat kaki. Tujuannya, memudahkan pengecekan kesehatan oleh paramedis. Selain itu, gajah juga dikembangkan untuk penanganan konflik dan upaya pengembangbiakan.
Mongabay: Bagaimana gajah digunakan untuk penangan konflik?
Nazarudin: Gajah jinak yang dilatih untuk penangan konflik sudah digunakan saat ini. Bermula tahun 2011 lalu, dibentuklah sebuah unit pendamai untuk mengusir gajah liar kembali ke habitatnya. Tujuan utamanya untuk menekan konflik antara manusia dengan gajah, unit itu nama ERU [Elephant Response Unit] Tegal Yoso.
Pola ini dinilai efektif, lalu dibentuklah camp ERU di lokasi lain, terutama perbatasan antara hutan Way Kambas dan desa penyangga. Yaitu ERU Bungur, ERU Margahayu, dan ERU Harjosari.
Teknik kerja gajah jinak penghalau konflik ini adalah jika ada kawanan gajah liar yang mau atau sudah masuk ke permukiman warga, maka gajah jinak dengan arahan mahout akan menggiring kawanan tersebut kembali ke hutan.
Mongabay: Perkembangan gajah di PLG saat ini?
Nazarudin: Sampai saat ini ada lima individu gajah hasil perkawinan di PLG: Korik, Linda, Rubado, Sonya, dan Baher.
Awal bulan ini, tepatnya 11 November 2023, ada bayi gajah lahir dari induk bernama Riska. Bayi ini anak kedua Riska yang sebelumnya melahirkan pada 2017.
Selain itu ada gajah lain yang bunting besar, yaitu Amel dan Heli. Juga, ada pejantan bernama Rendi, Daeng, dan Aji. Mereka gajah asli Way Kambas.
Mongabay: Apa tantangan terbesar menjadi pelatih gajah?
Nazarudin: Setiap profesi ada risiko, termasuk menjadi mahout.
Saya pernah tersesat di hutan, diserang gajah liar saat penanganan konflik, hingga jatuh dari gajah.
Bahkan pada Agustus 2017, saya hampir kehilangan nyawa akibat diserang gajah liar. Pengalaman itu terjadi saat pemasangan alat Global Positioning System [GPS] Collar, alat pelacak yang membantu memonitoring pergerakan dan keberadaan satwa. Kejadian itu terjadi pukul 13.00 WIB di Jambi.
Setelah menembakkan peluru bius, saya terjatuh saat mau lari mencari tempat aman, mengantisipasi gajah mengamuk. Saat itu saya tidak sadar ketika menembakkan peluru bius, kaki kiri saya di antara dua batang pohon roboh. Saat bergerak spontan, saya terjatuh dan kaki kiri saya patah.
Mendengar suara teriakan, gajah liar itu berlari ke arah saya dengan gesture tubuh akan menyerang. Saya pasrah. Gajah itu berhasil menjangkau lokasi tempat saya dan berhenti tepat di atas badan saya.
Belalainya menekan perut saya. Saya menahan napas, jangan sampai ada pergerakan. Saya khawatir nantinya gajah akan melakukan serangan fisik. Beruntung, saya hanya ditendang seperti hendak dipinggirkan. Namun, akibat tendangan itu kaki dan lengan kiri saya patah.
Pengalaman lain terjadi pada suatu malam tahun 2019. Saat menangani konflik menggunakan gajah jinak, saya terjatuh yang membuat lutut kiri saya pecah. Tapi alhamdulillah, 30 hari kemudian saya bisa kerja lagi.
Sejumlah kejadian itu tidak membuat saya trauma, justru saya semakin sayang dengan gajah karena mereka satwa yang baik dan patut disayang.
Mongabay: Pendapat Anda terkait konflik manusia dengan gajah?
Nazarudin: Konflik manusia dengan gajah masih terjadi hingga saat ini.
Saya tak setuju penanganan konflik menggunakan cara kekerasan, seperti memasang ranjau. Gajah adalah binatang yang baik. Cukup usir dengan cara baik-baik menggunakan hati, gajahnya pasti ngerti.
Saya menyarankan penyadartahuan terkait penanganan konflik, baik bagi masyarakat di pinggiran kawasan habitat gajah maupun perusahaan besar swasta yang harus berbagi ruang dengan gajah-gajah liar.
Harus diketahui, kelompok gajah akan bergeser alami ke tempat lain apabila habitatnya diganggu. Meskipun bergeser, gajah biasanya tetap mempertahankan habitat lamanya walau mengalami perubahan drastis.
Gajah tidak akan berkonflik dengan manusia, kalau bukan manusia yang menciptakan perseteruan. Konflik biasanya terjadi karena manusia membuka lahan begitu luas hingga mengakibatkan habitat gajah rusak. Otomatis, gajah mempertahankan ruang hidupnya.
Mongabay: Pemindahan gajah ke kawasan konservasi agar tidak berkonflik dengan manusia, perlu dilakukan?
Nazarudin: Kawasan konservasi di Lampung ini ada dua, yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan TNWK. Dua tempat ini habitat alami gajah sumatera di Lampung, tempat lainnya sudah tak ada. Khusus di Lampung, jika ditemukan gajah liar di luar kawasan ini, lebih baik diarahkan ke dua wilayah ini. Semuanya demi keamanan gajah itu sendiri. Sebab tempat lainnya sudah tak kondusif karena perubahan alih fungsi hutan yang besar-besaran, areal perusahaan, dan permukiman.
Meskipun begitu bukan berarti semua gajah liar yang hidup di alam di berbagai daerah lain harus dipindahkan atau ditranslokasi ke kawasan konservasi agar tidak berkonflik dengan manusia. Justru, diperlukan kebijakan untuk mengembalikan kondisi habitat gajah yang rusak ke kondisi aslinya.
Sebaiknya apabila ada kawanan gajah yang habitatnya rusak kemudian populasinya terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil, maka harus diperhatikan komposisi sex rasio. Misalnya, jika kawanan gajah itu seluruhnya hanya terdiri gajah betina, maka ada dua poin yang bisa dilakukan.
Pertama, apabila hutannya masih cukup bagus dan masih tersedia makanan, yang harus dilakukan adalah mendatangkan gajah jantan.
Kedua, andai hutannya rusak dan tidak ada makanan maka gajah-gajah itu perlu ditranslokasi atau digiring ke tempat layak lain, yang juga terdapat kelompok gajah.
Saya berharap gajah di Indonesia, gajah sumatera dan gajah kalimantan [Elephas maximus borneensis] bisa hidup lestari di habitat alaminya. Sementara gajah jinak di kawasan konservasi hidupnya sejahtera.