- Banyak orang, terutama di Tiongkok, yang mempercayai berbagai mitos khasiat kesehatan dengan mengkonsumsi ikan hiu. Padahal tidak ada satu pun hasil riset ilmiah yang mendukungnya.
- Mitos itu membuat tingginya konsumsi ikan hiu yang membuat eksploitasi perburuan satwa predator laut itu. WWF mencatat perdagangan hiu global mencapai 2,6 miliar USD setiap tahun dengan melibatkan lebih dari 200 negara, termasuk Indonesia
- Berbagai riset ilmiah justru membuktikan dampak buruk mengkomsumsi daging hiu, karena adanya kandungan senyawa berbahaya seperti merkuri dan arsenik yang mempengaruhi kesehatan, seperti merusak sistem saraf pusat, memicu penyakit kardiovaskular, mengurangi kesuburan pria, dan menimbulkan berbagai penyakit neurodegenerative
- Sebagai predator puncak rantai makanan, hiu berperan penting mengontrol keseimbangan ekosistem (ocean regulator) sehingga penangkapan tak terkendali mengancam populasinya yang berpotensi mengganggu ekosistem. Ditambah lagi dengan tingkat reproduksi hiu yang rendah
Kemakmuran dan kesehatan seringkali dikaitkan sebagai salah satu alasan sebagian orang untuk mengonsumsi ikan hiu. Hal ini pula yang menjadikan permintaan ikan hiu terus meningkat hingga mengancam populasinya di alam.
Sebuah laporan yang dipublikasikan WWF (2021) menyebut, perdagangan hiu global mencapai 2,6 miliar USD setiap tahun dengan melibatkan lebih dari 200 negara. Termasuk Indonesia, yang berdasar laporan tersebut masuk dalam lima besar eksportir hiu secara global.
Peneliti Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI) Okta Tejo Darmono menyebut, adanya anggapan akan khasiat kesehatan menjadi salah satu alasan hiu dan produk turunannya banyak dikonsumsi hingga kini. Hiu, katanya, oleh sebagian orang dianggap dapat mencegah kanker, memperbaiki jaringan kulit, hingga menurunkan kolesterol.
Kenyataanya, menurut Tejo, anggapan itu tak lebih dari mitos belaka. “Faktanya, tidak ada hasil riset manapun yang mendukung klaim itu,” kata Tejo kepada Mongabay, belum lama ini. Alih-alih berkhasiat bagi kesehatan, menurut Tejo, mengkonsumsi hiu justru meningkatkan risiko berbagai penyakit karena kandungan merkurinya yang tinggi.
Penuturan Tejo sejalan dengan penjelasan Halodoc, sebuah layanan kesehatan berbasis platform digital. Dalam salah satu artikelnya Halodoc menjelaskan bagaimana ancaman dampak kesehatan akibat mengonsumsi hiu. “Anggapan bahwa mengkonsumsi hiu untuk kesehatan itu salah,” tulis Halodoc, dikutip Sabtu (23/12/2023).
baca : Perburuan Hiu-Pari yang Tak Pernah Mati
Halodoc menjelaskan,pada 2009 silam, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI bahkan menyatakan kandungan merkuri pada hiu merupakan yang tertinggi dibanding spesies laut lain dengan konsentrasi mencapai 14 ppm. Akumulasi merkuri itu berasal dari spesies yang dimangsanya.
Kandungan merkuri pada hiu dapat menimbulkan banyak dampak negatif bagi tubuh. Seperti merusak sistem saraf pusat, memicu penyakit kardiovaskular, mengurangi kesuburan pria, dan menimbulkan berbagai penyakit neurodegenerative, yaitu penyakit penurunan fungsi otak, seperti alzheimer.
Parahnya lagi, jika dikonsumsi oleh anak-anak, kandungan merkuri dalam hiu dapat memengaruhi perkembangan otak. Akibatnya, beberapa kemampuan kognitif seperti kemampuan bahasa, memori, daya ingat, konsentrasi, hingga kemampuan motorik halus lainnya akan terganggu.
Selain mercuri, hiu juga menumpuk senyawa berbahaya lainnya seperti arsenik. Arsenik merupakan zat yang berbahaya bagi tubuh. Satu tetes saja dapat membunuh semua sel. Yang mengejutkan, tulis Halodoc, senyawa arsenik ini justru terkonsentrasi pada bagian sirip, yang difavoritkan banyak orang.
WWF, dalam salah satu pernyataannya mengungkapkan hal serupa. Sebagai pedator puncak, kandungan mercuri pada hiu jauh lebih tinggi 6-12 kali lipat lebih tinggi dari batas aman untuk dikonsumsi.
Pada ibu hamil, mercuri yang terkontaminasi akan menembus plasenta sehingga menimbulkan gangguan sistem syaraf dan gangguan perkembangan pada janin. Sedangkan pada orang dewasa, dapat mengganggu sistem syaraf sehingga mengganggu kemampuan kognitif, memori, bahasa dan motoric.
Selain itu, juga dapat menganggu fungsi hati, ginjal dan organ dalam tubuh lainnya. “Artinya, mengkonsumsi satu mangkuk sup sirip hiu, sama artinya dengan satu mangkuk merkuri,” tulis WWF.
baca juga : Rantai Bisnis Perdagangan Hiu Illegal di Pulau Jawa
Sebuah riset yang dipublikasikan National Library of Medicane, USA awal 2020 lalu mengonfirmasi pernyataan tersebut. Mengambil lokasi di 15 pasar tradisional di Gyeongsangbuk-do, Korea Selatan, periset menemukan kandungan merkuri yang cukup tinggi. Dari total 104 sampel hiu yang diuji, 77 ekor di antaranya mempunyai kandungan merkuri lebih dari 1 ug/gram.
“Karena itu, diperlukan komunikasi dan penyadaran kepada konsumen tentang dampak dan bahaya merkuri yang terkandung dalam daging ikan hiu,”tulis laporan berjudul Mercury concentration in shark meat from traditional markets of Gyeongsangbuk-do, South Korea, itu dalam kesimpulannya.
Studi oleh Neil Hammerschlag, dkk, ahli kelautan asal Universitas Miami, USA pada 2016 memperkuat laporan tersebut. Dalam laporan berjudul Cyanobacterial Neurotoxin BMAA and Mercury in Shark itu, Neil banyak mengulas risiko kesehatan yang dihadapi akibat mengkonsumsi hiu.
Neil menyebut, hiu merupakan predator berumur panjang yang mengakumulasikan racun-racun dari mangsanya. Bahkan, selain merkuri (Hg) sirip dan tulang rawan hiu juga mengandung β-N-methylamino-l-alanine (BMAA), racun sianobakteri yang banyak ditemukan dan terkait dengan penyakit neurodegeneratif.
Neil melakukan uji sampel terhadap beberapa hiu yang ada di Samudera Atlantik Selatan dan Pasifik. Hasilnya, hampir semua sampel yang diuji terkonfirmasi mengandung BMAA.
“Dari 55 sampel yang diuji, hanya 7 yang kandungan BMAA nya berada di bawah batas deteksi pengujian,” tulis Neil. Begitu juga dengan konsentrasi merkuri pada sirip dan tulang yang mencapai 0,05 hingga 13,23 ng/mg.
baca juga : Ada Apa dengan Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia?
Ahli Perikanan dan Kelautan IPB, Mukhlias Kamal mengatakan, ada banyak faktor menyebabkan tingginya senyawa berbahaya pada hiu. Salah satunya pencemaran. “Tetapi, karena dia predator, (senyawa berbahaya) paling banyak ya dari mangsa yang dia makan,” terangnya kepada Mongabay Indonesia.
Di dunia, spesies hiu pari tercatat lebih dari 500 spesies. Wilayah perairan Indonesia disebutkan Mukhlis merupakan habitat dengan jumlah spesies paling banyak ditemukan. Kendatipun dalam waktu yang sama, Indonesia termasuk negara dengan penangkapan paling banyak.
Menurut Mukhlis, ada banyak riset yang menjelaskan kandungan senyawa berbahaya pada hiu. Karena itu, adanya anggapan bahwa mengkonsumsi hiu berguna untuk kesehatan, menurutnya hanya mitos belaka dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Memang aneh. Dianggap dapat menambah vitalitas, padahal tidak karena belum ada studi ilmiah manapun yang menjelaskan itu,” jelas Mukhlis. Namun demikian, pada masyarakat tertentu, di Tiongkok misalnya, konsumsi hiu sangat digemari.
Bagi masyarakat di Tiongkok, mengonsumsi hiu, tidak semata karena anggapan soal khasiat tadi. Tetapi, juga prestise. “Jadi kalau di restoran, mereka yang pesen sup sirip hiu itu diangap sebagai orang terpandang, terhormat,” ujarnya.
Anggapan itu yang pada akhirnya justru mengancam kelestarian hiu di masa depan. Padahal, sebagai predator puncak, menurut Mukhlis, hiu berperan penting mengontrol keseimbangan ekosistem.
Berkurangnya populasi hiu, apalagi punah, akan berpotensi menyebabkan ekosistem kolaps. Sebab itu pula, hiu kerap dijuluki sebagai ocean regulator.
menarik dibaca : Bila Hiu Punah, Bagaimana Kehidupan Laut Setelahnya?
Mukhlis mengakui, Indonesia memang memilki sejumlah instrument perlindungan. Tetapi, hal itu dirasa belum maksimal. Faktanya, banyak pelaku tak berizin yang memperdagangkan hiu – pari secara ilegal hingga ke pasar luar negeri.
Mukhlis pun meyakini, sirip-sirip hiu itu mengalir keluar secara ilegal ke luar negeri. Termasuk Hongkong. Bahkan, ia menyebut 50 persen produk sirip hiu di Hong Kong berasal dari Indonesia. “50 persen produk sisanya itu berasal dari Indonesia, baik legal maupun ilegal,” ungkapnya.
Menyadari betapa bahayanya ancaman kesehatan dan pentingnya peran hiu, sangat penting merumuskan strategi edukasi untuk mitologi mengkonsumsi hiu. Sebab jika tidak, bukan hanya ancaman kesehatan yang terganggu, tetapi juga terganggunya ekosistem perairan.
“Populasi hiu yang sehat dan beragam berperan penting untuk menyeimbangkan ekosistem laut, termasuk menjaga kelimpahan ikan-ikan bernilai ekonomis lainnya yang kita konsumsi,” terang Mukhlis.
Peneliti dari Departemen Sains dan Studi Universitas Hongkong Kwok Ho Tsoi dkk.,sepakat dengan pernyataan Mukhlis. Ia bilang, sangat penting membangun kesadaran akan pentingnya melakukan konservasi hiu dengan mengurangi untuk mengkonsumsinya.
Dalam laporannya itu, Kwok juga menyinggung bagaimana konsumsi sirip hiu, yang sangat umum dalam budaya Tiongkok dan merupakan ancaman besar bagi hiu. Karena itu, menurutnya, upaya konservasi dinilainya akan lebih mudah jika masyarakat memahami akan pentingnya hiu bagi ekosistem.
Menurut Kwok, Hong Kong telah lama menjadi salah satu spot perdagangan hiu terbesar di dunia. Seperti halnya yang terjadi di banyak tempat, situasi itu terjadi akibat rendahnya pemahaman akan pentingnya hiu.
baca juga : Ini yang Dilakukan Pemerintah Lindungi Hiu dan Pari Terancam Punah
Dalam studinya, Kwok melakukan uji persepsi siswa sekolah dasar berusia 11 hingga 12 tahun di Hong Kong tentang hiu. Dari riset yang dilakukannya itu, terungkap bahwa para siswa kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang hiu.
“Temuan menunjukkan bahwa para siswa kurang pengetahuan dan memiliki kesalahpahaman tentang hiu dan signifikansi ekologisnya dalam ekosistem laut,” tulis Kwok.
Kwok mengungkapkan, sebagai predator tingkat atas dari rantai makanan laut, hiu memiliki peran besar dalam menentukan keseimbangan jaring-jaring makanan di bawah mereka. Apabila mereka punah maka populasi ikan kecil dapat tak terkendali.
Hiu cenderung memiliki umur yang panjang, namun lambat dalam bereproduksi dengan jumlah anakan yang sangat sedikit. Situasi ini menyulitkan upaya pemulihan lantaran kegiatan penangkapan yang kian tak terkendali. (***)