- Nelayan tradisional penangkap ikan tuna Dusun Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, mengeluhkan regulasi batasan aktivitas melaut di bawah 12 mil yang dikeluarkan KKP.
- Tangkapan ikan tuna nelayan di Maluku termasuk di Dusun Air Panas menurun drastis sejak aturan melaut di bawah 12 mil diberlakukan.
- Nelayan tuna di Maluku mendesak pemerintah merevisi aturan tersebut karena ikan tuna saat ini lebih banyak berada di atas 20 mil dari pesisir pantai.
- Pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi di lapangan dan mencari solusi yang terbaik bagi nelayan tuna.
Nelayan penangkap ikan tuna di Dusun Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, mengeluhkan peraturan pemerintah yang membatasi nelayan kecil melaut dibawah 12 mil. Sementara saat ini ikan lebih banyak berada di atas 20 mil dari pesisir pantai.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.
La Irfan Ketua Kelompok Nelayan Tradisional Tuna Dusun Air Panas mengaku karena peraturan itu hasil tangkapan nelayan khususnya nelayan penangkap ikan tuna menurun drastis, termasuk kelompok nelayan tuna di Dusun Air Panas. Kondisi ini semakin diperparah dengan cuaca yang tak menentu di perairan Maluku.
“Kami merasa regulasi di bawah 12 mil mengancam mata pencaharian kita sebagai nelayan tuna. Saat ini tuna sudah jauh dari 12 mil, itu artinya akan mempengaruhi hasil tangkap kami,” keluh Irfan kepada Mongabay Indonesia, saat dikunjungi pihak Marine Stewardship Council (MSC) dan Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI), di Dusun Air Panas, pertengahan Januari 2024.
Dia mengisahkan, sejak SMP atau tepatnya tahun 1996, dirinya sudah menjadi nelayan gillnet dan handline menemani orang tuanya menangkap ikan demersal, laying dan tuna dengan melaut hingga puluhan mil dari pesisir.
“Dulu kita masih bisa dapat ikan tuna dengan mudah karena tidak ada batasan melaut. Namun saat ini sangat berbeda, kadang dapat, kadang nihil sama sekali,” keluhnya.
Sebelum regulasi di bawah 12 mil diberlakukan, lanjutnya, dalam satu tahun terhitung per November hingga Januari, setiap nelayan tuna bisa menangkap satu ton ikan tuna karena bisa memperoleh 100 kg/hari, bahkan ada yang lebih dari itu.
Nelayan di Dusun Air Panas, ungkapnya, tidak berani melewati batas 12 mil, karena beresiko ditangkap melanggar aturan oleh aparat berwajib.
Karena itu dia meminta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, membantu para nelayan di Maluku agar mendesak KKP meninjau kembali regulasi tersebut.
baca : Kekhawatiran Nelayan Tuna Maluku Utara dengan Kapal Ikan PMA
Perhatikan Nelayan Kecil
Mengenai aturan aktivitas nelayan tradisional dibawah 12 mil, Herman, Fisheries Manager AP2HI mengatakan ada perspektif yang harus dipahami secara bersama.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan (SE MKP) No.B.701/MEN-KP/VI/2023 tentang Migrasi Perizinan Berusaha Subsektor Penangkapan Ikan dan Perizinan Berusaha Subsektor Pengangkutan Ikan, maka hanya berlaku untuk kapal-kapal yang ukuran kumulatif di atas 5 GT dan menangkap di atas 12 mil.
Adapun kapal nelayan berukuran di bawah 5GT, lanjutnya, bisa menangkap ikan diatas 12 mil tapi dengan perizinan dari pemerintah daerah. Sehingga semestinya tidak menimbulkan dampak atau gejolak bagi nelayan-nelayan di bawah 5GT, termasuk nelayan di Dusun Air Panas.
“Sepanjang pengetahuan dan informasi yang kami peroleh, nelayan handline Dusun Air Panas mengeluhkan adanya kapal longline yang beroperasi di bawah 12 mil,” jelasnya kepada Mongabay, Jumat (19/2/2024).
Keberadaan kapal longline dengan jumlah tangkapan yang banyak, menurunkan tangkapan ikan nelayan handline Dusun Air Panas. Selain itu, cara operasi longline yang membiarkan pancingan terendam lama sehingga ikan yang tertangkap tidak langsung diangkat, mengundang datangnya paus orca yang membuat ikan tuna lainnya lari ketakutan.
Mereka berharap, longline menangkap tuna di atas 12 mil, bahkan lebih jauh lagi dan terpisah dari fishing ground mereka. Selain itu, lanjut Herman, dokumen atau izin kapal-kapal longline itu perlu diperiksa.
“Apakah izin pusat atau izin daerah. Jika benar izin daerah (<12 mil), maka isu ini perlu dibahas bersama dalam forum KPBP (komite pengelolaan bersama perikanan) tuna untuk mengklarifikasi serta mencari jalan tengah guna menemukan solusi yang tepat,” jelasnya.
baca juga : Nasib Nelayan Tuna Maluku Utara: Dari Rumpon hingga Tangkapan yang Menurun
Selain itu, DKP Provinsi agar fokus membantu nelayan-nelayan tuna skala kecil agar bisa menangkap di bawah 12 mil, supaya bisa mengurangi biaya operasional dan tidak terlalu jauh melaut yang mungkin bisa membahayakan keselamatan mereka.
Karena setelah melihat data tracking kapal yang difasilitasi oleh beberapa NGO termasuk AP2HI, menunjukkan nelayan-nelayan tuna termasuk nelayan Dusun Air Panas melaut di atas 12 mil.
Oleh karena itu DKP Maluku diharapkan melakukan penertiban rumpon di atas 12 mil yang tidak memiliki izin agar ikan-ikan tuna tidak tertahan di fishing ground dan dan bisa masuk sampai ke wilayah perairan dibawah 12 mil di wilayah fishing ground nelayan tuna kecil.
“Prinsipnya, kita harapkan terobosan baru dari kebijakan perikanan yang berhubungan dengan upaya pengembangan sertifikasi ekolabel, dengan memberikan hak istimewa bagi nelayan skala kecil yang sudah ramah lingkungan dan sudah tersertifikasi ekolabel seperti nelayan-nelayan handline di Dusun Air Panas ini,” ujarnya.
Termasuk hak istimewa, yakni memisahkan area dan waktu tangkap mereka dengan kapal- kapal berukuran besar bagian dari industri perikanan. Hal ini sebagai penghargaan bagi nelayan kecil bersertifikat ekolabel (MSC) yang menerapkan perikanan yang berkelanjutan.
“Tentunya hal ini akan memicu perikanan tuna lainnya yang belum tersertifikasi untuk berbondong-bondong mengikuti jejak mereka,” tambahnya.
Akomodir Keluhan Nelayan
Rusdi Makatita, Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Provinsi Maluku mengakui regulasi tersebut membuat nelayan mengalami kesulitan untuk melaut di atas 12 mil, padahal saat ini spot-spot keberadaan ikan tuna sudah jauh diatas 12 mil laut dari pesisir.
Hal itu diperkuat dengan data nelayan binaan AP2HI di Kabupaten Kepulauan Buru dan Buru Selatan yang menyebutkan tangkapan mereka sudah di atas 12 mil laut.
Selain itu, ada Permen KP No.36/2023 tentang Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, yang mengatur penempatan rumpon oleh kapal dengan pure sein sebanyak 5 unit di atas 12 mil laut.
“Penempatan rumpon itu sangat dirasakan oleh nelayan skala kecil. Karena akibat dari pemasangan rumpon itu ruaya ikan tuna tidak lagi berada di bawah 12 mil,” kata Rusdi. Sehingga, DKP Provinsi Maluku sangat berharap agar penempatan rumpon di atas 12 mil itu dievaluasi kembali.
baca juga : Harga Tuna Anjlok Terdampak COVID-19, Nelayan Maluku Minta Pemerintah Atur Pasar Penjualan
Pemerintah Pusat, ungkap Rusdi, telah mengeluarkan surat edaran bagi kapal-kapal di bawah 30 GT dapat beraktivitas melaut di atas 12 mil, tetapi harus bermigrasi.
Secara prinsip, lanjutnya, DKP Maluku mengakomodir keluhan nelayan kecil yang terdampak kebijakan pemerintah dan akan menyampaikannya ke pemerintah pusat. Karena jika kondisi seperti ini terus berlaku, maka sangat berpengaruh terhadap hasil tengkapan nelayan yang menurun drastis.
Sisi lain, DKP Provinsi Maluku mengapresiasi nelayan-nelayan kecil yang selama ini telah dibina lembaga-lembaga seperti MSC juga AP2HI karena membantu peran DKP di wilayah Maluku. (***)
Pertama di Dunia, Ratusan Nelayan Tuna Pulau Buru Maluku Raih Sertifikat Ekolabel MSC