- Proyek PLTU batubara mulut tambang 1 dan 2 akan dibangun di Jambi. PLTU Jambi 1 akan gunakan model campur dengan biomassa atau co-firing. Center for Research on Energy and Clean Air ( CREA) memperkirakan, muncul dampak buruk dampak pembangunan PLTU, terutama terkait hilangnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Riset Trend Asia menemukan, penggunaan co-firing tetap menghasilkan emisi karbon mulai hulu sampai hilir. Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Trend Asia menyebut, PLTU co-firing biomassa adalah solusi palsu. Klaim PLN bahwa co-firing biomassa pelet kayu sebagai solusi tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan transisi energi ternyata tak terbukti.
- Rencana pembangunan PLTU mulut tambang Jambi 2 mengkhawatirkan Masyarakat Adat Batin Telisak di Desa Sepintun, Kecamatan Pauh. Kalau proyek itu berlanjut, tambang batubara tak jauh dari kampung bakal kembali beroperasi.
- Masyarakat Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun menjadi contoh nyata dampak buruk dari pembangkit listrik batubara. PLTU Semaran mulai beroperasi 2012, dengan kapasitas 2×7 MW kelolaan PT Permata Prima Elektrindo. Selang beberapa tahun, dampak mulai masyarakat sekitar PLTU rasakan. Debu batubara, bunyi bising PLTU setiap hari mengganggu masyarakat.
Usaha Cek Endra, sang Bupati Sorolangun dua periode ini untuk mendatangkan proyek PLTU skala besar ke kabupaten itu sejak lima tahun lalu, tak sia-sia. Hari itu, 18 Februari 2018, di tanah lapang sekitar dua kilometer dari perkampungan warga Desa Pemusiran, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi, mulai peletakan batu pertama pembangunan PLTU mulut tambang Jambi-1 berkapasitas 2×300 MW.
“Alhamdulillah, sejak lima tahun lalu kita berjuang, hari ini terwujud juga,” katanya kala itu.
Senyum Endra mengembang.
Tak jauh dari Endra, ada Sadiman, Direktur PT Sumber Segara Primadya; Ahmad Ilham, Direktur Jambi Power; Frank, Direktur Utama D&C Engineering, Rendi, Doris dan Ceng, Direktur Jambi Prima Coal, ikut semringah.
Di hadapan wartawan, dia membangun narasi proyek PLTU adalah solusi bagi krisis listrik di Sarolangun bahkan nasional. Proyek yang digadang-gadang menelan anggaran lebih Rp13 triliun itu bakal menyerap banyak pekerja lokal, dan ekonomi daerah akan tumbuh.
PLTU Mulut Tambang Jambi-I merupakan proyek nasional yang jadi bagian program pemenuhan listrik 35.000 Megawatt (MW) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. PLTU mengantongi izin lingkungan Nomor 75/2019 dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sarolangun.
Menurut laporan Walhi Jambi, mega proyek PLTU co–firing—mencampur batubara dengan biomassa– ini bakal dapat sokongan dana dari Tiongkok dan PT PLN Indonesia Power. PT Jambi Prima Coal (JPC) 60% saham milik PLN Batubara, PT Surya Global Makmur (SGM) dan PT Dinar Kalimantan Coal (DKC) di Kecamatan Mandiangin akan menyupai bahan baku PLTU.
”Jadi, kita tidak repot lagi menjual batubara keluar daerah,” kata Endra, optimis.
Sebagian setrum dari PLTU mulut tambang itu untuk menyokong produksi pabrik semen Baturaja yang akan dibangun di Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Sarolangun. Sisanya, akan mengalir melalui jaringan grid Sumatera.
PT Jambi Power—perusahaan patungan bentukan PLN Indonesia Power dengan PT Sumber Segara Primadya (SSP)—bertanggung jawab membangun PLTU Mulut Tambang Jambi-I. Belakangan konsorsium ini dikabarkan bubar. Meski demikian, proyek ini tetap masuk dalam RUPTL PLN 2021-2030, dan target operasi pada 2027.
Hasil kajian Walhi Jambi menyebut, PLTU MT Jambi-I memerlukan pasokan batubara 3,7 juta ton per tahun atau setara 10.200 ton per hari. Berarti setiap satu jam PLTU akan membakar 425 ton batubara.
Center for Research on Energy and Clean Air ( CREA) menemukan standar emisi udara PLTU MT Jambi-1 masih mengacu pada Permen usang 2008. Seharusnya, standar emisi mengaju pada peraturan terbaru sesuai Permen LHK Nomor 15/2019 karena analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTU MT Jambi-1 diserahkan pada 2019.
CREA juga memperkirakan, muncul dampak buruk dampak pembangunan PLTU, terutama terkait hilangnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pengoperasian PLTU akan meningkatkan konsentrasi pencemar udara ambien berupa PM 2.5, SO2, NOx setiap tahun, dan pengendapan merkuri serta logam berat beracun lain. Ia dapat menyebabkan risiko penyakit dan gejala akut kronis terutama pada masyarakat setempat.
Kalau PLTU ini beroperasi selama 30 tahun, akan menimbulkan dampak kesehatan pada 1.100 kematian dini, 680 kelahiran prematur, hingga hilangnya masa hidup selama 55.900 tahun dampak paparan polusi PLTU.
Kerugian dampak kesehatan yang muncul, sebut CREA, akan meningkatkan biaya perawatan dan kerugian ekonomi setara US$640 juta, atau sekitar Rp9,05 triliun selama masa operasi 30 tahun.
Solusi palsu
Pertengahan 2023, saya mengunjungi lokasi PLTU Jambi-1. Tiang pancang yang dulu disanksikan Endra dan para pengusaha tambang, masih tak berubah. Proyek pembangunan tak jalan alias mangkrak.
Tak jauh dari sana, pondok panggung dari kayu tertutup spanduk bertuliskan “Areal Percobaan, LPPM Universitas Jambi dan Indonesia Power, Pembangunan Demplot Kebon Kayu Energi Untuk Implementasi PLTU MT Jambi -1 Co-Firing.”
Pada 2022, Universitas Jambi bersama Indonesia Power menanam pohon kaliandra dan gamal.
PLTU co-firing ini diklaim sebagai solusi hijau memenuhi target 23% bauran energi terbarukan. Bahkan, pemerintah menargetkan 107 PLTU di 52 lokasi dengan skema co-firing pada 2025, guna mencapai net zero emission 2050.
Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Trend Asia menyebut, PLTU co-firing biomassa adalah solusi palsu. Klaim PLN bahwa co-firing biomassa pelet kayu sebagai solusi tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan transisi energi ternyata tak terbukti.
Riset Trend Asia menemukan, penggunaan co-firing tetap menghasilkan emisi karbon mulai hulu sampai hilir.
Trend Asia juga nyatakan, co-firing 10% biomassa di 107 PLTU berpotensi menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.
Emisi itu muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan hutan tanaman energi (THE) hingga produksi pelet kayu. Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa-batubara ini malah menambah emisi dari PLTU yang dalam RUPTL 2021-2030 bakal terus naik jadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030.
“Argumentasi PLN, penggunaan biomassa kayu tidak menghasilkan emisi alias netral karbon, tidak terbukti,” katanya.
Hasil perhitungan Trend Asia, dengan asumsi jenis biomassa adalah pelet kayu (wood pellet) dan tingkat co-firing 10%, kebutuhan biomassa 107 PLTU berkapasitas total 18,8 gigawatt itu mencapai 10,23 juta ton per tahun.
Untuk memenuhi bahan baku biomassa sebanyak itu, katanya, hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu berskala besar seperti HTE. Trend Asia mengestimasi kebutuhan lahan HTE paling sedikit 2,33 juta hektar atau setara 35 kali luas daratan Jakarta.
“Membangun HTE ekstensif berpotensi menimbulkan deforestasi,” ujar Amel.
Pembakaran biomassa juga tidak mengurangi penggunaan batubara PLTU. Berdasarkan Statistik PLN Tahun 2021, PLN menggunakan biomassa 282.628 ton, naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020. Pada saat sama, pemakaian batubara juga naik menjadi 68,47 juta ton, dari 66,68 juta ton pada 2020. Hal ini menunjukkan PLN gagal menjalankan strategi kedua yang tercantum dalam RUPTL PLN 2021-2030, yakni, pengalihan bahan bakar di PLTU sebagian batubara dengan biomassa.
“Yang ada, penggunaan co-firing justru memperpanjang umur PLTU batubara,” katanya.
”Jadi yang diuntungkan adalah pembisnis, mereka punya peluang bisnis baru dengan ada HTE.”
PLTU Jambi 2
Sekitar satu setengah jam dari Pemusiran ada rencana bangun proyek PLTU Jambi 2. Marhoni, Masyarakat Adat Batin Telisak yang tinggal di Dusun Trans III, Desa Sepintun, Kecamatan Pauh. Dia kerap mencari informasi pembangunan PLTU Mulut Tambang Jambi-2 di Desa Lubuk Napal, Kecamatan Pauh, Sarolangun. Sekitar satu jam perjalanan dari kampungnya.
Kalau proyek itu berlanjut, tambang batubara tak jauh dari kampung bakal kembali beroperasi. Dia khawatir, kebakaran di musim kemarau pada 2023 akan terulang.
“Waktu stockpile batubara perusahaan itu terbakar akibat cuaca panas, banyak anak-anak pilek,” katanya.
Asap dari tumpukan batubara itu juga mengusir lebah sialang yang ingin memproduksi madu.
“Bulan 8-9 kayu alam mulai bunga, pangkal musim kemarau lebah banyak datang untuk memproduksi madu, karena ada asap, lebah banyak pergi karena takut,” katanya.
Kala itu dia rugi karena selama ini perekonomian Masyarakat Adat Batin Telisak banyak ditopang panen madu sialang.
Marhoni mengajak saya melihat beberapa lokasi stockpile di wilayah izin PT Bakti Sarolangun Sejahtera (BSS) yang terbakar. Dia bilang, sudah empat tahun perusahaan tak lagi beroperasi. Batubara yang dikeruk hanya tertumpuk dan terbakar begitu saja karena cuaca panas. Di beberapa tempat, tumpukan batubara tergerus hujan dan mencemari anak sungai.
Salah satu titik tambang yang kami datangi merupakan lahan mantan Bupati Sarolangun Endra. Ada bekas alat berat baru saja membenahi jalan di sekitar tambang. “Mungkin ini mau operasi lagi,” kata Marhoni.
BSS disebut bakal jadi pemasok batubara untuk PLTU Mulut Tambang Jambi-2, bersama PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) dan PT Anugerah Jambi Coalindo (AJC). Sekitar 99,75% saham ketiga perusahaan ini dikuasai PT Artha Nusantara Mining. Sedangkan 0,25% PT Artha Nusantara Resources. Total izin konsesi ketiganya mencapai 7.600 hektar.
PLTU Jambi-2 merupakan usulan pembangkit tenaga batubara mulut tambang (CFPP) berkapasitas 2×300 MW yang akan dibangun PT Pembangkitan Perkasa Daya, dengan sokongan modal dari China Huadian Group Corp 80% dan Nusantara Energy Limited 15% serta PT Pembangunan Perumahan Energi 5%. China Energy Construction Southwest Design Institute disebut memenangkan tender untuk survei dan kontrak desain.
Global Energi Monitor menyebut, pada April 2019, China Huadian menandatangani perjanjian jual beli listrik dengan PLN dan berkomitmen mengembangkan PLTU Jambi-2 dengan basis build, own, operate transfer (BOOT).
Berdasar perjanjian Mei 2019, proyek ini akan melibatkan dua unit dengan teknologi superkritis, jalur transmisi 500kV sepanjang 118 km, dan tambang batubara dengan kapasitas produksi 3,1 juta ton per tahun. PLTU MT Jambi-2 akan memproduksi listrik 4,9 juta kWh per tahun.
PLTU Jambi-2 yang bakal beroperasi 2026 itu akan menelan investasi besar. Laporan terbaru dari Inclusive Development International, Recourse, dan Trend Asia menemukan, hubungan pendanaan tak langsung dari bank pembangunan multinasional yaitu International Finance Corporation (IFC), bagian dari World Bank ke proyek PLTU MT Jambi-2.
Pada 2015, IFC berinvestasi ekuitas (saham) ke Postal Saving Bank of China US$300 juta. Setelah jadi klien IFC, Postal Saving Bank of China masih memberikan fasilitas pinjaman sampai batas tertentu yang dapat ditarik seperlunya (credit line) senilai US$16 miliar kepada China Huadian Corporation. Masa waktu credit line ini masih berlaku hingga 2022.
Postal Savings Bank juga menjadi penjamin (underwriter) lebih dari US$1 miliar surat utang dan ekuitas China Huadian. Di sini tampak eksposur tidak langsung dari IFC ke proyek PlTU Jambi-2.
IFC yang memiliki komitmen tidak membiayai proyek batubara seharusnya juga ikut mengawasi entitas perusahaan karena memiliki hubungan pendanaan.
Wilson, pejabat di Dinas PUPR Sarolangun yang ikut terlibat perencanaan PLTU Jambi 2 mengatakan, listrik dari PLTU di Sarolangun mungkin untuk mendukung kebutuhan listrik proyek Rempang Eco-City.
Proyek ini melibatkan PT MEG Group Artha Graha milik Tommy Winata, dan investor dari Singapura maupun Malaysia. MEG mendapatkan hak pengelolaan dan pengembangan kawasan itu selama 30 tahun bisa diperpanjang sampai 80 tahun.
Pada Juli 2023, pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Tiongkok untuk pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City dengan nilai proyek US$11, 5 miliar. Proyek yang masuk dalam program strategis nasional ini diperkirakan mampu menarik investasi sampai Rp318 triliun.
“Mungkin nanti listrik dari Sarolangun ini ke sana—Rempang,” katanya.
Sinta Hendra, pejabat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jambi dalam diskusi publik dan publikasi riset bertajuk “Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Jambi untuk Siapa?” di Jambi, 7 Februari lalu mengatakan, PLTU MT Jambi-2 sudah mengantongi surat kelayakan lingkungan hidup Nomor 01/2021 dari DLH Sarolangun.
Pembangunan PLTU MT Jambi-2 bisa mengancam puluhan keluarga. Berdasarkan rancangan Bappeda Sarolangun, PLTU MT Jambi-2 akan terbangun di Km.20-23 Desa Lubuk Napal seluas 150 hektar.
Lebih 40 keluarga tinggal di Km 20. Sebagian mereka menempati rumah dan tanah yang sudah dibeli SAS.
Warga yang Mongabay temui bilang, tidak tahu bahaya PLTU batubara. Mereka justru mendukung pembangunan pembangkit ini. Menurut mereka pembangunan pembangkit listrik skala besar justru menguntungkan masyarakat karena akan membuka peluang kerja dan meningkatkan ekonomi.
“Kami tidak tahu apa dampaknya, karena selama ini tidak ada sosialisasi dari pemerintah,” kata Kemat, Ketua RT06.
Belajar dari PLTU Semaran
Masyarakat Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun menjadi contoh nyata dampak buruk dari pembangkit listrik batubara. PLTU Semaran mulai beroperasi 2012, dengan kapasitas 2×7 MW kelolaan PT Permata Prima Elektrindo.
Selang beberapa tahun, dampak mulai masyarakat sekitar PLTU rasakan. Debu batubara, bunyi bising PLTU setiap hari mengganggu masyarakat. Ramli mengeluh debu truk pengangkut batubara setiap hari lewat depan rumah.
Wike, anaknya, pernah gatal-gatal,tetapi tidak tahu penyebabnya. Dia menduga karena air sumur tercemar debu batubara dan dari limbah bekas pembakaran batubara PLTU. Beberapa warga juga mengeluh atap seng rumah cepat berkarat dan lapuk, diduga hujan asam dari PLTU.
Raden Andri, warga Samaran menyebut, ada 40 orang yang tinggal di sekitar pembangkit menderita batuk bronkitis.
Data Dinas Kesehatan Sarolangun menunjukkan, anak-anak usia 1-5 tahun di Puskesmas Pauh rentan terserang ISPA. Pada 2022 tercatat 146 anak. Sejak Januari-Agustus 2023 terdata 133 kasus ISPA.
Aktivitas PLTU Samaran juga menyebabkan Sungai Ale tercemar berat dan tak bisa berfungsi kembali.
Andri juga menunjukkan Sungai Ale yang tercemar berat limbah bekas pembakaran PLTU Samaran. Dia menduga, limbah itu melimpah saat banjir. Kini, sungai dangkal dan tak bisa berfungsi kembali.
Pada 3 Maret 2023, Mongabay mencoba menghubungi Poltak, Kepala Bagian di PLTU Semaran untuk wawancara tetapi tak ada tanggapan.
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi mengingatkan, PLTU Jambi berkapasitas 1.200 MW atau 85 kali lipat dari PLTU Semaran akan menyebabkan dampak jauh lebih buruk dari Semaran. Dia mendorong pemerintah membatalkan dua proyek ini. (Bersambung)
*******
*Liputan ini terselenggara berkat dukungan dari Earth Journalism Network