- Hutan alam dan lahan gambut di Indonesia masih terus terbabat walaupun berbagai aturan ada dari peraturan setop izin di hutan alam dan lahan gambut sampai kebijakan perlindungan gambut. Kasus penebangan hutan alam di lahan gambut terjadi di konsesi perusahaan kayu, PT Mayawana Persana (Mayawana) di Kayong Utara, Kalimantan Barat.
- Sejak 2021-2023, Mayawana membersihkan hutan alam lebih 33.000 hektar atau seluas hampir setengah ukuran Singapura. Angka itu menyumbang lebih dari seperempat deforestasi di ratusan konsesi perkebunan kayu pulp dan sawit di seluruh nusantara.
- Aktivitas itu juga dibarengi konflik dengan komunitas lokal yang tinggal di dalam dan dekat konsesi perusahaan. Menurut petisi Barisan Pemuda Adat Nusantara, tanah leluhur Komunitas Kualan Hilir tumpang tindih dengan 3.650 hektar konsesi Mayawana. Pada Mei 2020, perwakilan Mayawana dengan pemimpin komunitas membuat kesepakatan melarang bagian dari tanah leluhur mereka tidak dibangun perkebunan kayu pulp.
- Menurut peta habitat terbitan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi PT Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Penelitian Analisis Viabilitas Habitat pada 2016 memastikan, hutan dan gambut di konsesi PT Mayawana itu sesuai untuk jadi habitat orangutan.
Hutan alam dan lahan gambut di Indonesia masih terus terbabat walaupun berbagai aturan ada dari peraturan setop izin di hutan alam dan lahan gambut sampai kebijakan perlindungan gambut. Kasus penebangan hutan alam di lahan gambut terjadi di konsesi perusahaan kayu, PT Mayawana Persana (Mayawana) di Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Berdasarkan laporan Yayasan Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace International, Woods & Wayside International, dan Rainforest Action Network, bagaimana Mayawana tengah memimpin gelombang peningkatan deforestasi yang terjadi di Indonesia.
Sejak 2021-2023, Mayawana membersihkan hutan alam lebih 33.000 hektar atau seluas hampir setengah ukuran Singapura. Angka itu menyumbang lebih dari seperempat deforestasi di ratusan konsesi perkebunan kayu pulp dan sawit di seluruh nusantara.
Gunakan analisis data spasial melai TheTreeMap untuk Atlas Nusantara, laporan ini juga menemukan, pada 2020, lebih setengah hutan alam di konsesi Mayawana berada di lahan gambut. Pada 2023, persentase deforestasi di gambut meningkat lebih 80% dari deforestasi.
Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara mengatakan, area yang dibuka Mayawana dari hutan alam dengan cepat diubah jadi perkebunan kayu pulp.
Analisis dari TheTreeMap, kata Hilman, hingga akhir 2023, Mayawana membangun 45.187 hektar perkebunan kayu pulp.
Berdasarkan penginderaan jauh itu, Mayawana terindikasi mulai menanam spesies kayu pulp pada 2019. Padahal, sejumlah penelitian menyebut, pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kayu pulp industri bisa melepaskan gas karbon dioksida (CO2) dan metana dalam jumlah yang besar.
Jadi, perubahan penggunaan lahan ini berkontribusi langsung terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), dan meningkatkan risiko kebakaran di lanskap ini.
Hilman bilang, karena deforestasi dan konversi lahan gambut itu, Mayawana memberikan emisi GRK 12,2 juta metrik ton CO2e selama periode tiga tahun antara 2020-2022.
“Awalnya kami berpikir saat seluruh pihak sedang berupaya menurunkan angka deforestasi, justru Mayawana dalam tiga tahun terakhir merusak lingkungan di Kalimantan Barat,” katanya saat peluncuran laporan Maret lalu.
Mayawana, perusahaan berkedudukan di Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pada 2010, perusahaan ini mendapat izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—dulu Kementerian Kehutanan– seluas 136.710 hektar.
Hilman bilang, deforestasi Mayawana dalam tiga tahun terakhir melewati angkat deforestasi selama satu dekade sejak perusahaan itu mendapatkan izin.
Konflik lahan
Aktivitas itu juga dibarengi konflik dengan komunitas lokal yang tinggal di dalam dan dekat konsesi perusahaan.
Menurut petisi Barisan Pemuda Adat Nusantara, tanah leluhur Komunitas Kualan Hilir tumpang tindih dengan 3.650 hektar konsesi Mayawana. Pada Mei 2020, perwakilan Mayawana dengan pemimpin komunitas membuat kesepakatan melarang bagian dari tanah leluhur mereka tidak dibangun perkebunan kayu pulp.
Alih-alih menaati, pada April 2022, perusahaan justru melanggar kesepakatan dengan menebang hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat Kualan Hilir, dan ladang-ladang sumber penghidupan sehari-hari mereka. Masyarakat Kualan Hilir pun memberikan sanksi adat dan denda terhadap perusahaan pada September 2022.
Mayawana lagi-lagi tak menaati sanksi adat itu, justru terus menebang di lokasi keramat. Kondisi pun memanas, terlebih saat Komunitas Kualan Hilir menghadang alat berat perusahaan.
Anggota komunitas bahkan lakukan ritual “mandoh” untuk menghalangi mesin-mesin itu beroperasi dan memaksa Mayawana keluar dari tanah leluhur mereka. Dari protes itu, Mayawana menjerat hukum tiga orang komunitas, salah satu masuk penjara.
Orangutan dan satwa lain makin terjepit
Sebenarnya, konsesi Mayawana ini merupakan hutan dataran rendah yang memiliki habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan, termasuk beberapa terancam punah dan rentan. Terlebih lagi, lokasi perusahaan ini berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Palung.
Menurut peta habitat terbitan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Penelitian Analisis Viabilitas Habitat pada 2016 memastikan, hutan dan gambut di konsesi Mayawana itu sesuai untuk jadi habitat orangutan.
Adapun pengamatan Program Konservasi Orangutan Gunung Palung (GPOCP) terhadap sarang dan suara panggilan serta ketersediaan sumber makanan memperkirakan, ada 61 orangutan Kalimantan tinggal di sekitar Sungai Paduan.
Hilman bilang, deforestasi Mayawana ini berpotensi memotong koridor orangutan Kalimantan untuk berpindah dari satu area ke area lain. Pada saat sama, pembukaan hutan ini juga membuka akses lebih luas bagi manusia untuk masuk ke hutan dan habitat orangutan.
“Kondisi itu akan menambah tekanan lebih lanjut pada populasi orangutan Kalimantan, bahkan bisa memicu kepunahan karena habitatnya tergerus,” kata Hilman.
Padahal, populasi orangutan Kalimantan telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir, dengan hampir 150.000 individu hilang antara tahun 1999 dan 2015. Pada 2016, diperkirakan hanya 57.350 orangutan Kalimantan yang tersisa di alam liar.
Selain itu, dalam survei GPOCP 2022 menunjukkan, keberadaan 10 spesies mamalia dan 85 spesies burung di hutan lindung Sungai Paduan. Dia bilang, GPOCP juga menemukan bukti spesies-spesies lain yang terancam punah dan rentan tinggal di dalam atau dekat dengan batas konsesi Mayawana.
Spesies-spesies yang terancam punah dan rentan itu antara lain, owa jenggot-putih (Hylobates albibarbis), burung rangkong gading (Rhinoplax vigil), dan beruang madu (Helarctos malayanus).
Menurut Hilman, berbagai spesies itu makin terancam lagi karena ada 55.625 hutan tropis dalam konsesi Mayawana yang akan terbabat lagi, sekitar 60% berada di lahan gambut.
“Potret citra satelit terbaru kami menunjukkan ada aktivitas dari perusahaan berupa pembuatan kanal di area selatan konsesi. Artinya ancaman itu makin nyata melalui aktivitas perusahaan hari ini,” katanya.
Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi mengatakan hal serupa. Berdasarkan penelusuran mereka, Mayawana terus menggusur hutan hingga ke perbatasan Desa Paoh Concong di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sampai saat ini.
Bukan hanya itu, kata Andi, dari hasil pemantauan citra satelit, Mayawana sudah membuat garis kisi-kisi yang akan menjadi area clearing selanjutnya. Wilayah itu terindikasi berada gambut lindung ke daerah barat daya.
Menurut dia, apabila ini berlanjut, potensi pembukaan hutan di wilayah itu akan terus meningkat hingga mencapai 6.268 hektar. Luasan itu bisa mengeluarkan emisi gas rumah kaca 344.740 metrik ton CO2.
Tak itu saja, kata Andi, perusahaan monokultur ini membuka hutan hingga ke tepi sungai utama yang mengalir melalui konsesi. Bahkan sisi lain terpantau pembukaan hutan hingga jarak 40 meter dari tepi sungai.
“Pembukaan hutan di wilayah konsesinya terjadi dengan ugal-ugalan dan melanggar prinsip pelestarian lingkungan,” kata Andi kepada Mongabay, Maret lalu.
Andi mendesak, Mayawana setop operasi. KLHK, mesti bertanggung jawab atas deforestasi ini.
Pasalnya, kata Andi, KLHK mengetahui wilayah itu adalah habitat orangutan Kalimantan. Namun, tetap memberikan izin kepada Mayawana dengan membiarkan pembabatan hutan alam terjadi sampai sekarang.
“KLHK juga mengetahui wilayah itu memiliki indikatif fungsi lindung ekosistem gambut dan indikatif fungsi budidaya ekosistem gambut, Tetapi, merek (KLHK) tetap memberikan izin,” katanya.
Kalau gambut itu dibersihkan lalu tanam akasia dan eukaliptus maka fungsi alam akan berubah. “Itu akan berkontribusi besar terhadap krisis iklim yang lebih lanjut.”
Sebenarnya, Walhi Kalimantan Barat resmi telah melaporkan Mayawana ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat pada 28 Desember 2023.
Amung Hidayat, Sekretaris DLHK Kalimantan Barat mengatakan, jika terdapat indikasi pelanggaran oleh Mayawana, maka akan berkoordinasi dan tindak lanjut kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Semua laporan yang masuk akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan dan sepanjang terpenuhi bukti-bukti yang konkrit dan akurat,” kata Amung Hidayat seperti dikutip di media Junalis.co.id. Hingga kini, belum ada kabar tindakan kepada perusahaan HTI itu.
Mongabay juga berupaya menghubungi Siti Nurbaya Bakar, Menteri LHK, dan Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK melalui pesan Whatsapp. Hingga tulisan terbit, keduanya tak merespon.
Sementara itu, dari berbagai catatan pemberitaan sejak 2023 hingga kini, Mayawana tidak sedikitpun memberikan penjelaskan terkait temuan sejumlah organisasi masyarakat sipil itu. Sebaliknya, Mayawana seolah-olah menghindar saat diminta konfirmasi terkait masalah ini.
“Tolong hubungi Kelvin (humas perusahaan di Pontianak). Kebetulan saya tidak sedang menangani Mayawana,” kata I Made Suarjana, Humas Mayawana Persada 24 Februari lalu seperti dikutip melalui Jurnalis.co.id.
Kepemilikan anonim, ada kaitan dengan RGE?
Menurut dokumen profil perusahaan, Mayawana berdiri sejak 1994, dan pada tahun baru mendapatkan izin kehutanan. Dari laporan Auriga terlihat, perusahaan kayu ini milik Alas Kusuma Group, yang mengendalikan sejumlah perusahaan kehutanan dan sawit di Indonesia.
Hingga akhir Desember 2022, Grup Alas Kusuma resmi tak memiliki semua saham Mayawana, ketika separuh saham dibeli perusahaan dengan identitas kepemilikan tidak diketahui atau anonim.
Pada 23 Desember 2022, separuh saham Mayawana beralih dari PT Suka Jaya Makmur, anak perusahaan Alas Kusuma, ke Green Ascend, perusahaan berkedudukan di Malaysia dan berdiri pada 2017.
Penelusuran Auriga bersama sejumlah organisasi menemukan, pemegang saham tunggal Green Ascend adalah perusahaan terdaftar di British Virgin Islands dengan nama Green Ascend Group Limited berdiri pada 2017.
Pada 23 Desember 2023, 50% sisa saham Alas Kusuma yang dimiliki PT Harjohn Timber, beralih ke Beihai International Group Limited, perusahaan yang berkedudukan di Hong Kong.
Beihai International Group Limited milik perusahaan di Samoa yang bernama Balaji Investment Group Holdings Limited.
Dua wilayah ini, British Virgin Islands dan Samoa, kata Hilman, sama sekali memberikan akses publik terhadap informasi pemegang saham perusahaan. Jadi, penerima manfaat utama dari Mayawana itu tidak dapat teridentifikasi atau tersembunyi.
Struktur korporasi yang kompleks ini, katanya, pada dasarnya menyembunyikan pemilik manfaat utama korporasi dan melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu besar itu.
“Di British Virgin Islands sebenarnya bisa, tapi dikecualikan mengenai stakeholdernya. Kalau di Samoa, kita tidak bisa mendapatkan informasi apapun tentang sebuah perusahaan. Kita sebut ini sebagai pembabat anonim,” kata Hilman.
Meskipun perusahaan-perusahaan itu dapat menyembunyikan pemilik manfaat utama di yurisdiksi rahasia, mereka masih meninggalkan jejak dokumen keterbukaan korporasi, seperti nama-nama petinggi, alamat bisnis, dan mitra perdagangan yang dapat membuka keterkaitan mereka dengan grup korporasi tertentu.
Dalam kasus Mayawana, kata Hilman, kesamaan pengurus korporasi, hubungan operasional manajemen dan relasi rantai pasok menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki keterkaitan dengan Royal Golden Eagle Group (RGE).
RGE adalah produsen terbesar bubur kayu dan produk turunannya dari kertas cetak, tisu, kemasan, dan rayon viscose. Pada 2015, RGE menginisiasi kebijakan keberlanjutan “nol-deforestasi” dalam rantai pasoknya.
Di Indonesia, unit bisnis pulp dan kertas RGE adalah Asia Pacific Resources International Ltd (APRIL) yang menjalankan pabrik PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau. APRIl mempublikasikan laporan keberlanjutan untuk memenuhi standar pelaporan international.
Kebijakan keberlanjutan RGE atau APRIL itu mengharuskan setiap pemasok kayu harus melindungi daerah-daerah dengan nilai konservasi tinggi.
Mayawana miliki hubungan RGE, baik dari kesamaan pengurus korporasi, hubungan operasional manajemen, hingga relasi rantai pasok.
Misal, Green Ascend yang pemegang saham mayoritas Mayawana sejak Desember 2022, memiliki kesamaan pengurus perusahaan dengan perusahaan-perusahaan milik RGE yang dimiliki secara anonim. Antara lain, PT Industrial Forest Plantation (IFP) dan PT Adindo Hutani Lestari (Adindo), keduanya turut habiskan hutan alam untuk perkebunan serat kayu.
Perusahaan lain juga meliputi pabrik chip kayu di Kalimantan Timur, PT Balikpapan Chip Lestari (BCL), dan pabrik kayu baru di Kalimantan Utara, PT Phoenix Resources International (PRI), juga berada dalam kendali RGE berdasarkan laporan “Babat Kalimantan” yang dibuat Greenpeace Indonesia pada 2023.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Green Ascend juga memiliki pengurus perusahaan yang pernah atau masih menjabat sebagai pengurus untuk perusahaan-perusahaan induk Malaysia dari perusahaan kehutanan lain di Indonesia yang terkait RGE.
Sebagai contoh, kata Arie, Adindo adalah pemasok pulp kayu di Kalimantan Utara untuk pabrik bubur kertas RGE di Sumatera. Pemegang saham mayoritas Adindo adalah Bioenergy Enterprise Sdn Bhd, dan Direktur asli Bioenergy adalah mantan karyawan RGE yang sama, Chew Chong Pan, juga pemegang saham Green Ascend.
“Per Februari 2024, Bioenergy dan Green Ascend memiliki tiga sekretaris perusahaan yang sama, diangkat kedua perusahaan pada hari sama (27 Desember 2021),” kata Arie.
Contoh lain, kata Arie, IFP adalah pemasok kayu pulp yang memiliki keterkaitan dengan RGE. Hingga Mei 2022, katanya, pemegang saham mayoritas IFP adalah perusahaan Malaysia EGL Capital Sdn Bhd, yang juga memiliki pemegang saham dan direktur yang sama dengan Green Ascend dan Bioenergy.
Sejak Mei 2022, pemegang mayoritas saham IFP adalah Pioneer Sage, hingga kini. Dia bilang, satu Direktur Pioneer Sage sampai Agustus 2023 adalah Yap Xian Long, saat ini jadi Direktur Green Ascend sejak Desember 2022 dan dilaporkan sebagai pemilik manfaat Mayawana.
Adapun pengurus perusahaan Green Ascend saat ini dan sebelumnya, adalah orang-orang yang pernah menjabat sebagai pengurus di BCL, perusahaan induk berbasis di Malaysia yang mengelola pabrik chip kayu di Balikpapan.
“Pabrik chip kayu ini membeli kayu dari Adindo, IFP, dan pemasok pulp kayu lain yang berafiliasi dengan RGE pada 2022,” kata Arie.
Perusahaan itu, katanya, juga mengirim chip kayu secara eksklusif ke pabrik bubur kertas di Rizhao, Tiongkok punya Asia Symbol yang dimiliki RGE. Pengiriman dengan perusahaan pengiriman laut di bawah kendali bersama dengan RGE. Asia Symbol pun sudah mengaku menerima kayu dari BCL.
Tak hanya itu, kata Arie, pegawai yang bekerja untuk Green Ascend juga memiliki hubungan dengan PRI, perusahaan induknya di Malaysia yang membangun pabrik bubur kayu di Kalimantan Utara.
“PRI, seperti perusahaan perkebunan pulp dan pabrik chip kayu yang dimiliki secara anonim, tetapi hubungan bisnis menunjukkan itu dimiliki bersama dengan RGE,” katanya.
Selain itu, kata Arie, struktur perusahaan Mayawana juga memiliki hubungan dengan Apical, group sawit RGE yang diakui secara publik. Yap Ritchie, Sekretaris Green Ascend hingga 12 Januari 2024 juga sebagai sekretaris korporat Apical (Malaysia), perusahaan minyak sawit RGE di Malaysia. Pada 2022, Phang Kim Mee juga menjabat sebagai Sekretaris Apical (Malaysia).
Hilman contohkan lagi, individu yang teridentifikasi sebagai manajer operasional Mayawana adalah pemegang saham dalam berbagai perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan individu dan alamat yang juga terhubung dengan RGE.
Misal, katanya, Andrea Gunawan Suwandi bertanggung jawab atas operasi Mayawana sejak 2019 merupakan individu yang memiliki keterkaitan dengan berbagai perusahaan RGE di sektor pulp.
Hilman bilang, pada 2019-Februari 2024, Andrea memiliki separuh saham PT Cahayamas Lestari Jaya,. Andrea juga pemegang saham minoritas PT Super Mitra Nusantara Abadi (Super Mitra).
“Menariknya, alamat kantor Super Mitra itu sama dengan alamat kantor perusahaan sawit RGE, di Asian Agri di Medan, Sumatera Utara,” kata Hilman.
Pemegang saham mayoritas Super Mitra adalah PT Bintang Utama Lestari, yang beberapa tahun lalu memiliki alamat sama dengan kantor pusat RGE dan APRIL di Jakarta.
Hilman bilang, antara pemegang saham sebelumnya Super Mitra meliputi Sukanto Tanoto, Ketua Pendiri RGE dan pemilik manfaat perusahaan tersebut bersama istrinya, Tinah Bingei, hingga Agustus 2008.
Sedangkan, Super Mitra memiliki separuh saham dari perusahaan lain, yaitu PT Asiaraya Panelindo Hutanilestari, yang hingga baru-baru ini, juga memiliki alamat sama dengan kantor pusat RGE di Jakarta.
Dalam laporan Tanoto Foundation 2015, mantan komisaris PT Asiaraya Panelindo Hutanilestari, yaitu Protasius Daritan disebutkan sebagai “salah satu pemimpin senior RGE Indonesia.”
Adapun PT Asiaraya Panelindo Hutanilestari memiliki 50% saham di PT Wananugraha Bimalestari, yang mengoperasikan pengusahaan konsesi serat kayu di Sumatera. Hilman bilang, APRIL mencatat PT Wananugraha Bimalestari sebagai “mitra pemasok” jangka panjang.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Informasi dari rantai pasokan menunjukkan hal serupa. Pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya (AFR) menerima pasokan kayu hutan alam dari konsesi Mayawana.
Dia bilang, Sukanto Tanoto adalah yang sampai 2008 merupakan pemilik dari pabrik kayu lapis AFR. Kemudian, katanya, Sukanto mempertahankan sebagian kepemilikan pabrik melalui perusahaan induk, PT Dasa Anugrah Mandiri sampai Juli 2023.
“Ketika itu, saham dialihkan ke Glory Heights Limited, perusahaan yang berkedudukan di British Virgin Islands dan perusahaan itu pun terhubung dengan RGE,” kata Arie.
RGE melalui APRIL, unit bisnis pulp dan kertas di Indonesia membantah. Mereka sebut tidak memiliki hubungan pemasok dengan Mayawana.
APRIL menegaskan, RGE membantah hubungan antara RGE dengan pemegang sahamnya dan Mayawana. RGE menyatakan, tidak ada asosiasi sah antara RGE dan PRI.
Semua pasokan serat, termasuk sumber pihak ketiga, kata APRIL, akan sesuai Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang eksplisit berkomitmen untuk tidak deforestasi dalam rantai pasokan dari sumber manapun.
Pasokan serat APRIL saat ini dan masa depan sebagian besar bersumber dari konsesi APRIL dan pemasoknya. Sementara, informasi terkait individu hanya menunjukkan ada jaringan hubungan profesional standar, dan bagian dari perkembangan karier normal.
“Keterhubungan antara korporasi itu bersifat spekulatif dan tidak berdasar, serta kurangnya informasi rinci dan faktual,” tulis Geeta Ramachanran, Head of International Communications, APRIL Group melalui surat 8 Maret lalu untuk merespon laporan lembaga swadaya masyarakat yang berjudul “Pembalak Anonim.”
Arie mendesak, RGE akui relasi dengan Mayawana, dan berkomitmen membuka penuh struktur kendali dan kepemilikan terhadap subsidiari, afiliasi, dan korporasi lain yang terkait.
Dia juga minta, konsumen RGE dan para pemberi pinjaman menyelidiki temuan mereka dan menuntut penghentian segera penghancuran hutan tropis dan konflik sosial yang dipicu Mayawana dan “korporasi bayangan” lain yang terhubung dengan RGE.
“Mayawana juga segera menghentikan deforestasi dan memulihkan lahan gambut, mengungkapkan pemilik manfaat utama, dan menyelesaikan konflik dengan komunitas lokal,” katanya.
*****