- Di masyarakat pesisir Pulau Bangka, terdapat mitos tujuh lumba-lumba penjaga wilayah tanjung yang selalu dipanggil saat pelaksanaan ritual taber laot.
- Hingga saat ini, ada dua jenis lumba-lumba yang sering terlihat dan terdampar di Pulau Bangka, yaitu lumba-lumba hidung botol [Tursiops aduncus] dan pesut atau Irrawady Dolphin [Orcaella brevirostries].
- Kedua jenis ini punya preferensi area teluk atau area inshore yang lebih dangkal. Mitos masyarakat menggambarkan hubungan kompleks antara wilayah darat dan perairan beserta ekosistem di dalamnya.
- Berbagai aktivitas ekstraktif yang berada di kawasan tanjung ataupun pesisir-laut mengancam nilai penting ekosistem tersebut, serta memutus hubungan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat.
Lumba-lumba memiliki nilai penting bagi masyarakat pesisir Pulau Bangka. Mamalia cerdas ini dianggap sebagai “penjaga” tanjung yang mengelilingi pulau seluas 1,1 juta hektar itu.
“Ada tujuh lumba-lumba yang bertugas menjaga tanjung-tanjung di Pulau Bangka. Mereka semua akan dipanggil saat pelaksanaan ritual taber laot,” kata Cik Jali, tokoh adat di Dusun Tanjung Berikat, Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [4/4/2024].
Di kalangan nelayan yang sering mencari ikan dan cumi-cumi di sekitar perairan Pulau Bangka, kemunculan lumba-lumba bisa menjadi pertanda baik atau buruk.
“Lebih baik mengalah dan pindah lokasi kalau ada lumba-lumba di sekitar perahu, karena ikan-ikan pasti takut, itu memang jatah mereka. Lumba-lumba juga sering menjadi penolong dengan menggiring kami menuju pesisir atau tanjung terdekat saat terjadi badai,” kata Ismubay, nelayan Tanjung Berikat, menceritakan pengalamannya.
Mengutip buku [Maharadatunkamsi et al., 2020] yang diterbitkan Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], lumba-lumba masuk ordo Cetacea; kelompok mamalia laut bersama dengan paus dan pesut. Diperkirakan, ada sekitar 87 spesies Cetacea dalam 14 famili di dunia, yang 34 spesies di antaranya terdapat di perairan Indonesia.
Menurut M. Rizza Muftiadi, peneliti dan dosen Manajemen Sumberdaya Perairan di Universitas Bangka Belitung, ada dua jenis yang cukup sering terlihat di perairan Pulau Bangka, yaitu lumba-lumba hidung botol [Tursiops aduncus] dan pesut atau Irrawady Dolphin [Orcaella brevirostries].
“Mereka sering terlihat dekat pesisir hingga lepas pantai, khususnya di sejumlah perairan yang masih terjaga, sehingga memiliki sumber ikan dan cumi-cumi [pakan] yang melimpah seperti di Tanjung Berikat, Tanjung Tuing, dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Gelasa,” katanya.
Berdasarkan Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020, zona migrasi mamalia laut mencakup Pulau Air Masin-Perairan Simpang Pesak, Pulau Gusunggurak-Tanjung Berikat, Perairan Tanjung Kelayang-Perairan Tanjung Berikat, dan Perairan Pulau Kalimambang-Perairan Tanjung Berikat.
Di sisi lain, analisis Walhi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan, ada sejumlah izin usaha pertambangan [IUP] yang tumpang tindih dengan jalur migrasi penyu dan mamalia laut dilindungi ini. Tercatat, sepanjang 46,45 mil jalur migrasi mamalia laut dan 105,95 mil jalur migrasi penyu akan hilang akibat IUP timah di wilayah tersebut.
Sekar Mira, peneliti Mamalia Laut PRO-BRIN mengatakan, Kepulauan Bangka Belitung merupakan jalur migrasi penting bagi mamalia laut. Aktivitas pertambangan tentunya memberikan tekanan, seperti kebisingan dan limbah.
“Pengaruh tekanan pertambangan dapat berupa pergeseran habitat mamalia laut, gangguan tingkah laku, gangguan kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian jika melewati ambang batas tolerir,” lanjutnya.
Mongabay Indonesia mencatat, dalam beberapa tahun terakhir peristiwa terdampar dan matinya pesut atau lumba-lumba cukup sering terjadi di Pulau Bangka. Terbaru, dikutip dari bangkapos, 29 Maret 2024, satu individu lumba-lumba yang terdampar berhasil diselamatkan warga di sekitar Pantai Koala Jembatan Emas, Desa Air Anyir, Kabupaten Bangka.
Menjaga tanjung
Sebagai provinsi kepulauan, Bangka Belitung memiliki banyak tanjung yang diapit oleh teluk. Meskipun belum ada data pasti terkait jumlah tanjung dan teluk, diperkirakan ada puluhan teluk dan tanjung di Bangka dan Belitung. Apa hubungannya dengan lumba-lumba?
Sekar Mira mengatakan, beberapa jenis lumba-lumba memang punya preferensi area teluk atau area inshore yang lebih dangkal.
“Terutama individu muda. Karena memudahkan perburuan ikan. Para betina yang ingin melahirkan juga punya preferensi melahirkan di area yang lebih dangkal,” katanya.
Dikutip dari penelitian Kreb dkk. [2020], dari semua jenis mamalia laut di Indonesia, yang paling rentan adalah mereka yang tinggal di perairan dekat pantai; pesut atau Irrawaddy [Orcaella brevirostris], bungkuk Indo-Pasifik [Sousa chinensis], lumba-lumba hidung botol [Tursiops aduncus], lumba-lumba tak bersirip Indo-Pasifik [Neophocaena phocaenoides] dan duyung [Dugon dugong].
Masih penelitian yang sama, meningkatnya pembangunan wilayah pesisir berpotensi menyebabkan konversi hutan bakau dan peningkatan beban sedimen, yang berdampak pada kekeruhan.
“Peningkatan kekeruhan dapat mengakibatkan efek biologis pada organisme akuatik seperti gangguan migrasi dan pemijahan, pola pergerakan, efek sublethal [misalnya kerentanan terhadap penyakit, pertumbuhan dan perkembangan), penurunan keberhasilan penetasan, dan kematian langsung [Kjelland et al., 2015],” tulis penelitian tersebut.
M. Rizza Muftiadi mengatakan, adanya mitos masyarakat tentang lumba-lumba dan kaitannya dengan tanjung yang terhubung dengan pesisir dan perairan dangkal, memberi peluang untuk memperkuat upaya konservasi dan memastikan lanskap ini harus dijaga.
“Mitos ini menggambarkan keterkaitan antara bentang alam di darat [tanjung] dan perairan beserta ekosistem di dalamnya. Pengetahuan yang sangat kompleks ini sudah semestinya dijadikan landasan untuk melindungi wilayah ini,” kata Rizza.
Terancam
Tanjung merupakan salah satu wilayah rentan di Kepulauan Bangka Belitung. Topografi tanjung yang menjorok ke arah laut, menjadi target pembangunan pelabuhan yang strategis di Kepulauan Bangka Belitung. Dalam Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020, seluas 49.683,8 hektar dialokasikan untuk pembangunan pelabuhan.
Sebagian besar titik pembangunan berada di kawasan tanjung yang mengelilingi Bangka Belitung, seperti Tanjung Ular, Tanjung Pura, Tanjung Berikat [Lubuk Besar], Tanjung Tuing, dan lainnya.
Selain itu, wilayah tanjung juga rentan untuk ditambang karena memiliki deposit berbagai jenis mineral [kuarsa, timah, dsb], termasuk logam tanah jarang [LTJ] atau rare rarth.
Di Tanjung Berikat, meskipun sudah ada tindakan dari KPHP Sungai Sembulan, aktivitas penambangan pasir ilegal masih menunggu untuk ditertibkan. Menurut Ismubay, warga Dusun Tanjung Berikat, hasil tambang yang dijual merupakan pasir utuh, tanpa dilimbang terlebih dahulu.
“Saat ini, banyak lubang terhampar di sekitar pantai Tanjung Berikat. Kami harap segera ditertibkan, karena mengancam wisata pantai, laut kami, dan memperparah abrasi” kata Ismubay.
Sejumlah penelitian [Gustiantini et al., 2021; Kamiludin, 2019] menyatakan, kawasan Tanjung Berikat tersusun atas empat tipe endapan; Aluvium Holosen, Formasi Ranggam, Formasi Tanjung Genting, dan intrusi granit Klabat.
“Keberadaan Formasi Ranggam menunjukkan kemungkinan terjadinya endapan mineral placer, meskipun tidak ditemukan bentuk pengisian saluran,” tulis Gustiantini dkk. [2021].
Mengutip Haldar [2013], endapan plaser terbentuk oleh pelapukan permukaan dan aksi laut, sungai atau angin yang menghasilkan konsentrasi beberapa mineral berharga yang tahan berat dan bernilai ekonomis.
“Endapan plaser yang paling umum adalah emas, mineral golongan platina, batu permata, pirit, magnetit, kasiterit, wolframit, rutil, monasit, dan zircon,” tulisnya.
Selain itu, penelitian Kamiludin [2019] juga menyatakan, di sekitar perairan Tanjung Berikat terdapat lembah purba memanjang dengan volume 63.942.927,63 m3, dan diduga sebagai wadah mineral plaser dan mineral ikutan pembawa unsur tanah jarang.
Jessix Amundian dari Tumbek for Earth menyatakan, wilayah tanjung beserta sempadan pantai di Pulau Bangka harus dilindungi.
“Bagi masyarakat, kawasan ini merupakan wilayah penting, karena menjadi titik dilaksanakannya ritual taber laot, sehingga memiliki nilai spiritual tersendiri yang digambarkan dengan adanya mitos lumba-lumba yang terikat dengan tanjung dan pesisir,” katanya.
Di sisi lain, wilayah ini juga termasuk kawasan hidrologis gambut [KHG] yang terdiri dari ekosistem hutan kerangas yang penting untuk menjaga keseimbangan antara ekosistem darat dan laut.
“Rusaknya kawasan ini dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati [termasuk tumbuhan obat], banjir dan kekeringan, terlepasnya karbon yang memperparah krisis iklim, abrasi, intrusi air laut yang mengancam pertanian, hingga terputusnya nilai-nilai budaya dan spiritual pada masyarakat,” tegas Jessix.
Referensi jurnal:
Gustiantini, L., Kamiludin, U., Zulfikar, M., Noviadi, Y., Hernawan, U., & Ismayanto, A. F. (2021). Subsurface Sediment Deposits of Tanjung Berikat Coast, Bangka, Determined from GPR Interpretation. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 873(1), 12019.
Haldar, S. K. (2013). Chapter 2 – Economic Mineral Deposits and Host Rocks (S. K. B. T.-M. E. Haldar, Ed.; pp. 23–39). Elsevier. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-12-416005-7.00002-7
Kamiludin, U. (2019). Indikasi Lembah Purba sebagai Wadah Mineral Plaser dan Unsur Tanah Jarang di Perairan Tanjung Berikat dan Sekitarnya, Bangka Tengah, Bangka Belitung. Jurnal Geologi Kelautan, 16(2).
Kreb, D., Lhota, S., Porter, L., Redman, A., Susanti, I., & Lazecky, M. (2020). Long-Term Population and Distribution Dynamics of an Endangered Irrawaddy Dolphin Population in Balikpapan Bay, Indonesia in Response to Coastal Development. Frontiers in Marine Science, 7, 533197. https://doi.org/10.3389/fmars.2020.533197
Maharadatunkamsi, M., Phadmacanty, N. L. P. R., Sulistyadi, E., Inayah, N., Dwijayanti, E., Farida, W. R., Wirdateti, W., Wiantoro, S., Nugraha, R. T. P., Fitriana, Y. S., & Kurnianingsih, K. (2020). Status Konservasi dan Peran Mamalia di Pulau Jawa. In Status Konservasi dan Peran Mamalia di Pulau Jawa. Jakarta: LIPI Press. https://doi.org/10.14203/press.290