Lindungi, Ekosistem Leuser dari Berbagai Kepentingan “Jahil”

16 Agustus 2016, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, telah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Surat Bernomor: 677/14266 tersebut berisikan dukungan untuk pengembangan potensi panas bumi yang akan dilakukan oleh PT. Hitay Panas Energy, perusahaan asal Turki. Pada poin 1 dan 2, surat itu dituliskan, berdasarkan Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013-2033 sudah ditetapkan sistem jaringan energi Aceh. Antara lain memuat rencana pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kabupaten Gayo Lues. Namun, rencana itu terkendala karena arealnya berada dalam kawasan TNGL yang terindikasi pada zona inti

Inti dari surat tersebut adalah, permintaan revisi sebagian zona inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menjadi zona pemanfaatan. Serta, memberi izin kepada PT. Hitay Panas Energy untuk melakukan eksplorasi panas bumi di daerah tersebut.

Luasan perubahan itu, berdasarkan presentasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Juni 2016, sebesar 18.110 hektare. Area potensi untuk satu unit panas bumi di Gunung Kembar, Kabupaten Gayo Lues atau di zona inti TNGL itu nantinya sekitar 7.766 hektare.

Baca: Pegiat Lingkungan: Menteri LHK Harus Tolak Surat Gubernur Aceh Mengenai Revisi Zona Inti TNGL

Sementara luas wilayah yang akan dimanfaatkan untuk perusahaan panas bumi itu sekitar 50 – 100 hektare. Rinciannya, Access Road atau jalan sekitar 25 – 30 hektare, power station (pembangkit listrik) dan separator (alat pemisah) 10 – 15 hektare, wellpad 16 – 25 hektare, dan fasilitas lain (40 hektare).

Gajah sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah
Gajah sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah

Terkait rencana proyek tersebut, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Dr. Surya Darma mengatakan, untuk pengeboran satu sumur proyek panas bumi biasanya paling banyak lahan yang dibutuhkan sekitar 1,2 – 1,8 hektare. Pada setiap lokasi potensi panas bumi, yang dibutuhkan hanya lima atau enam sumur.

“Proyek panas bumi membutuhkan lahan yang sangat sedikit, dibandingkan pertambangan. Luasan 1,8 hektare itu dibutuhkan saat pengeboran dilakukan. Setelah itu, bisa ditutup lagi dan untuk yang disemen hanya membutuhkan 10 – 20 meter sebagai pondasi,” ujarnya Surya Darma, di Jakarta, di penghujung Oktober.

Kalau dilakukan pembebasan lahan hingga 18.000 hektare, sambung Surya Darma, itu sangat mustahil. Sangat tidak mungkin hanya dilakukan untuk pembangunan proyek panas bumi semata. “Itu ada keperluan lain karena untuk melakukan pengeboran energi tidak membutuhkan lahan yang sangat luas. Bahkan di Kambajo, proyek panas bumi yang potensinya mencapai 240 megawatt hanya membutuhkan lahan seluas 35 hektare.”

Surya Darma mengatakan, jika potensi panas bumi berada di wilayah lindung, pemerintah dapat menggarapnya. Namun, dengan penerapan hukum yang tegas. Misal, daerah tersebut hanya bisa diakses oleh pekerja yang melakukan pengeboran dan intinya tidak ada kepentingan lain. “Orang lain yang tidak ada hubungan dengan kegiatan, tidak boleh diizinkan masuk. Dengan begitu, tidak ada pihak yang merusak kawasan lindung itu.”

Badak Sumatera yang terekam kamera pengintai di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: YLI
Badak Sumatera yang terekam kamera pengintai di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: YLI

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur secara tegas menolak proyek geothermal itu. Menurutnya, kawasan TNGL merupakan cagar biosfer dan ASEAN Heritage Park yang merupakan habitat bersama bagi gajah Sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatera yang merupakan empat spesies kunci Sumatera.

“Leuser mendapatkan skor tertinggi untuk kontribusi konservasi di seluruh kawasan Indo-Malaya. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera ada di Leuser.”

Badan Investasi dan Promosi Provinsi Aceh sendiri menyebutkan, rencana pembangunan proyek panas bumi di TNGL telah direncanakan sejak 2013. Awalnya, ada dua lokasi yang diusulkan untuk proyek itu, di Gunung Kembar, Kabupaten Gayo Lues atau di dalam Zona Inti TNGL, serta di Gunung Peut Sagoe, Kabupaten Pidie.

Listrik tenaga hidro di Gayo Lues yang memanfaatkan air sungai yang berhulu di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah
Listrik tenaga hidro di Gayo Lues yang memanfaatkan air sungai yang berhulu di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah

Petisi

Abu Kari atau Aman Jarum, salah seorang masyarakat Aceh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menuturkan, dirinya menolak apapun kegiatan yang dapat merusak TNGL. Apalagi, sampai ada rencana merubah zona inti menjadi zona pemanfaatan.

Bersama sejumlah masyarakat Aceh, ia telah menggugat pemerintah dan DPR Aceh, karena tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh. “Tidak boleh ada kegiatan apapun di TNGL, kecuali untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan,” ujar tokoh masyarakat Gayo Lues ini.

Aman menjaga hutan Leuser dari kerusakan berdasarkan amanah kakek dan neneknya. Jika Leuser rusak, jutaan orang di Aceh dan Sumatera Utara yang akan menanggung dampaknya. TNGL penting sebagai sumber air maupun habitat satwa. “Jangan sampai hutan ini hancur akibat perbuatan kita.”

Aman menjelaskan, Kamis (3 November 2016) ini, GeRAM akan menyerahkan “Petisi Selamatkan Leuser, Selamatkan Aceh” kepada Presiden Joko Widodo. “Kami akan menyerahkan petisi ini langsung ke Istana Negara. Kami yang tergabung di GeRAM, bukan hanya menginginkan TNGL diselamatkan, tapi juga KEL yang berfungsi sebagai penyangga TNGL,” ungkapnya.

Baca juga: Ahli: Kawasan Ekosistem Leuser Tidak Boleh Hilang dari RTRW Aceh

Dahlan M. Isa, perwakilan GeRAM yang turut membuat petisi mengatakan, petisi tersebut ditujukan untuk  Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Gubernur Aceh, serta DPR Aceh.

“Saat ini KEL yang merupakan penyangga TNGL tidak lagi terlindungi, setelah tidak dimasukkan kedalam RTRW Aceh. Bencana besar menunggu masyarakat Aceh dan Sumatera Utara termasuk generasi mendatang,” ujar warga Lhokseumawe ini.

Dahlah dan semua warga Aceh yang tergabung dalam GeRAM berharap, Presiden Joko Widodo mendengarkan aspirasi itu. Kondisi di KEL saat ini mulai dibangun jalan menembus hutan, pertambangan bermunculan di atas gunung, izin usaha perkebunan ribuan hektare diterbitkan, sehingga memunculkan potensi korupsi. “Leuser sebagai lambang kesejahteraan masyarakat Aceh dan warisan dunia tengah terancam,” paparnya.

Petisi yang dibuat GeRAM di www.change.org ini telah ditandatangani 67.608 pendukung. Salah satunya adalah Aktor Hollywood yang juga aktivis lingkungan, Leonardo DiCaprio, yang telah melihat langsung kondisi hutan Leuser, Maret 2016.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,