, , ,

Terkepung Sawit, 500 an Warga Kuala Seumayam Hanya Miliki 3 Hektar Lahan (Bagian 2)

Rawa Gambut Tripa, nyaris tak menyisakan tutupan hutan, yang dulu luas dan kaya keragaman hayati. Menurut penelitian Professor Carel Van Schaik tahun 1998, kawasan ini tempat tinggal orangutan Sumatera yang cukup padat. Ia menjadi habitat bagi harimau Sumatera, beruang madu, dan beragam jenis tumbuhan rawa gambut dari tipe malutua-pandan. Ada juga kayu komersial meranti, atau pohon  melaka, puwin dan cemengang, yang menjadi pakan orangutan di rawa ini.

“Dalam lima tahun terakhir orangutan menurun drastis dari 600 individu menjadi 200. Mereka sekarang tinggal di hutan yang terfragmentasi yang membentuk pulau-pulau kecil di tengah rawa gambut,” kata Anto, peneliti dari Yayasan Ekosistem Lestari.

Keringnya rawa karena pembangunan kanal-kanal, menyisakan tegakan-tegakan pohon malutua yang mulai mati di sana sini. Kedalaman gambut di Tripa, dari tahun ke tahun makin menurun. Padahal daerah ini memiliki tiga kubah gambut besar dengan  kedalaman antara 2-5 meter.

Ada lima perusahaan memiliki konsesi di Tripa, di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya dengan luas 5.000-14.000 hektar. Mereka adalah PT. Surya Panen Subur II, PT. Kalista Alam, PT. Gelora Sawita Makmur, PT. Cemerlang Abadi dan PT. Patriot Guna Sakti Abadi, yang menguasai 43.796,51 hektar atau 71 persen hutan gambut Tripa. Sebagian kecil dimiliki oleh perorangan.

Perkebunan sawit berkembang di dekat Rawa Tripa sejak zaman Belanda. Sebuah perusahaan Belgia, PT. Socfindo mulai membuka perkebunan sawit sejak 1930-an dan mendirikan pabrik pengolahan minyak sawit di Alue Bilie. Para pedatang dari Jawa membuat kawasan ini mulai ramai dengan pemukiman transmigrasi masa Orde Baru. Mereka ada yang bekerja di perkebunan HGU dan sebagian memiliki lahan menanam sawit.

Ada 20 lebih desa tersebar di sekitar Tripa,  12 desa langsung dalam kawasan hutan.  Namun hanya dalam waktu lima tahun, hutan di sekitar mereka sudah hilang karena dibuka perusahaan. Sebagian warga desa di sekitar Rawa Gambut Tripa di Nagan Raya, punya kebun sawit.  Saat ini, sawit merupakan salah satu pilihan komoditas di Tripa dan salah satu sumber utama pajak daerah di Nagan Raya.

Namun pembukaan hutan untuk sawit menyisakan masalah baru bagi lebih dari 5.000 orang yang tinggal di dalam rawa gambut Tripa. Frekuensi banjir bisa terjadi 10 kali dalam setahun, merusak tanaman pertanian dan harta benda. “Di sini hujan dua hari air sungai langsung naik sampai satu setengah meter ke dalam rumah,” kata Busra, warga Kuala Seumayam.

Sawit PT Kalista Alam, yang baru ditanam beberapa tahun lalu. Foto: Chik Rini
Sawit PT Kalista Alam, yang baru ditanam beberapa tahun lalu. Foto: Chik Rini

Afrizal, wakil Mukim di Kuala Tripa mengatakan, warga di Tripa tak ada pilihan lain. Kondisi alam berubah, banjir sering datang membuat mereka tak bisa lagi menanam padi atau palawija. “Sekarang warga menanam sawit, karet atau coklat di kebun, karena itu tanam yang lebih tahan dengan kondisi alam.”

Rawa yang kering juga menghilangkan banyak limbek dan lokan di sungai warga Kuala Seumayam. “Dulu kalau celup jari di air dan digoyang-goyang limbek datang. Sekarang kami mesti pasang bubu di tempat-tempat yang masih agak bagus hutannya,” katanya. Afrizal tinggal di Desa Neubok Yee, berbatasan dengan HGU PT. Gelora Sawita Makmur. Di sana hutan gambut dekat pantai sudah hancur, air laut pun mulai masuk ke daratan.

Orang-orang di Tripa yang merasakan dampak penghancuran hutan gambut mulai bersatu menyelamatkan Rawa Tripa. Pada 2010, 21 kampung di Tripa membuat surat petisi kepada pemerintah daerah meminta melindungi 20 ribu hektar sisa hutan. Meminta pemerintah, melakukan penghijauan di sepanjang pantai dan sungai serta mengevaluasi keberadaan HGU yang menghancurkan hutan di Tripa.

Dalam Rencana Tataruang Wilayah Aceh yang sedang disusun, Pemerintah Aceh memberi kabar akan menetapkan 12 ribu hektar sisa hutan di Tripa sebagai kawasan lindung di luar kawasan hutan. “Ada kemungkinan kawasan 1.605 hektar yang sudah dibatalkan izin untuk PT. Kalista Alam, menjadi kawasan lindung juga,” kata Abu Bakar Karim, Kepala Bappeda Aceh di hadapan lembaga lingkungan  minggu lalu.

Sedang Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, belum memiliki rencana melindungi  rawa gambut Tripa yang tersisa. “Untuk pemulihan Tripa perlu konsorsium pemerintah pusat, provinsi dan daerah karena kami tidak punya dana. Kalau patok batas sudah jelas, kami siap tempatkan petugas untuk mengawasi,” kata Teuku Zulkarnaini, Bupati Nagan Raya.

Ilham Sinambela dari Transparancy Internasional Indonesia menyatakan, proses penyelamatan Rawa Tripa berjalan lambat karena pemerintah lokal tidak paham. Penyelamatan gambut Tripa penting tidak hanya bagi warga juga komitmen mengurangi emisi karbon dari pembukaan lahan gambut. (Habis)

Sungai yang mendangkal, air yang keruh dan beberapa ikna, seperti lele, sudah sulit ditemukan. Padahal, dulu, sebelum hutan menjadi sawit, masyarakat bisa mengandalkan hasil dari sungai sebagai mata pencarian utama mereka. Foto: Chik Rini
Sungai yang mendangkal, air yang keruh dan beberapa ikan, seperti lele, sudah sulit ditemukan. Padahal, dulu, sebelum hutan menjadi sawit, masyarakat bisa mengandalkan hasil dari sungai sebagai mata pencarian utama mereka. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,