, ,

Nestapa Warga Dongi, Tersingkir di Tanah Leluhur

Yadin Wololi, berjalan melintasi lapangan golf PT Vale Indonesia Tbk. Pria berusia 60 tahun ini menginjakkan kaki di rumput yang tertata. Tiba-tiba dia melambatkan langkah. “Ini letak Kampung Dongi dulu. Rumah di sini rumah berjejer membentuk huruf L besar,” katanya.

“Di tengah kampung, ada lapangan. Di sana ada gereja.”

Dia menyebut beberapa nama orang. Menunjukkan letak rumah tetapi hanya bayangan. “Ini pohon jambu monyet, saya ingat. Jambu di halaman rumah.” “Saya kira ini juga pohon mangga ada sejak dulu, juga kelapa. Ada rumpun bambu,”

Dia menunjuk lagi. “Nah tempat kita berdiri ini dulu sawah. Tanah datar, tak ada bukit seperti ini. Semua rata. Ini sawah kepala suku kami.”

Yadin juga menceritakan, di kawasan itu ada mata air yang tak pernah kering. Air buat sawahpun selalu melimpah. “Tahun 1950-an saya menggembalakan kerbau sekitaran sini. Kadang-kadang membawa minum di pinggiran danau.”

Yadin bercerita seakan tak terputus. Derap langkah tak terlihat lelah, padahal kami hampir mengelilingi lapangan golf sekitar delapan hektar. Ketika dia memandang sekitar, satu mobil melintas di dekat kami. Petugas cekatan, memutar dan memindahkan selang penyemprot air untuk menumbuhkan dan menjaga kesuburan rumput.

Tambang PT Vale. Foto: Eko Rusdianto
Tambang PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Saya mencoba memegang air yang keluar dari keran, segar dan dingin. Di depan lapangan golf, tepat seberang jalan, berdampingan dengan lapangan perkemahan, puluhan rumah warga Dongi dari Suku Karunsie, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, harus mengirit air.

Rumah-rumah warga Dongi itu non permanen. Berlantai semen halus, atau rumah panggung dengan tiang dan dinding sederhana. Tak ada penerangan jalan di sekitar kampung. Begitu gelap, saat malam tiba.

Sebagian besar orang-orang Dongi menggarap kebun, atau menjadi  buruh, tukang ojek, memulung dan beberapa bekerja di perusahaan kontraktor Vale dengan upah kelas rendah. Mereka bak tuan rumah yang terlupakan.

Teror sepanjang masa

Pada 1952 ketika pergolakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung besar di Kecamatan Nuha– meliputi Sorowako, Towuti, Wasuponda– dan Malili, penduduk meninggalkan kampung.

Tahun 1953, warga di Kampung Dongi, mayoritas memeluk Nasrani, berpindah ke Malaulu–sekarang Kecamatan Malili. Hingga 1959, situasi tak kondusif, warga berpindah ke Mangkutana hingga akhir 1961.

Pergolakan refresif pasukan DI/TII makin kuat, Mangkutana pun dikuasai. Tahun 1962, warga Dongi kembali mengemas barang dan menuju Kampung Gontara di Beteleme, Sulawesi Tengah.

Di Gontara, warga Dongi bertahan dan memulai kehidupan hingga sekarang. Mereka bertani dan bercocok tanam. Beberapa warga menuai keberhasilan. Namun apakah mereka melupakan kampung leluhur? “Tidak sama sekali,” kata Yadin.

Kampung Dongi kini. Hanya ada 50 rumah dengan lahan pas-pasan. Warga bercocok tanam di lahan terbatas di samping rumah mereka. Foto: Eko Rusdianto
Kampung Dongi kini. Hanya ada 50 rumah dengan lahan pas-pasan. Warga bercocok tanam di lahan terbatas di samping rumah mereka. Foto: Eko Rusdianto

Pada masa pengungsian, katanya, beberapa orang tua kampung termasuk ayahnya, selalu mengunjungi Kampung Dongi. Mereka melewati belukar dan tebing tinggi Pegunungan Verbeek. Orang-orag Dongi dengan begitu hati-hati memasuki kampung, memanen beberapa tanaman yang dapat diangkut menuju tempat pengungsian. Tak sedikit dari mereka ditemukan pasukan DI/TII dan berakhir dengan kematian.

Pergolakan DI/TII berakhir tahun 1965. Kondisi kampung sekitar masih mencekam. Doktrin agama masih kuat. Saat itu, Yadin sudah menamatkan sekolah lanjutan pertama tahun 1967 di Manado. Saat pulang liburan, dia bersama empat orang tua dari Dongi menuju kampung mereka.

Alangkah terperanjat, ketika mendapati rumah dan kampung menjadi arang. Yadin menggambar dan menghitung letak-letak rumah yang hangus. Jumlah mencapai 57 unit.  “Saya ingat sekali, hanya gereja tidak terbakar, tapi atap sudah tidak ada,” ucap dia.

Tahun 1968, anggaran dasar pembentukan PT Inco (belakangan berganti Vale) disepakati. Tahun 1978 penandatanganan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia untuk konsesi seluas 118 ribu hektar, termasuk pemukiman warga Dongi.

Saat pengembangan penambangan berjalan, ada beberapa proyek infrastruktur dan fasilitas, seperti rumah karyawan, sekolah dan sarana pendukung lain seperti tempat olahraga. Pada tahap inilah, Kampung Dongi rata dengan alat berat dan disulap menjadi lapangan golf.

Awal 1970-an, orang-orang Dongi mencoba mengunjungi kampung halaman. Namun hanya mampu mengelus dada, melihat sisa-sisa rumah sudah tak ada lagi.

Tak ada yang dapat diperbuat. Tahun 1977, beberapa warga mengadu kepada pemerintah, karena melihat kampung teracak-acak. Sayangnya, jawaban Pemerintah Kecamatan Nuha– saat itu berkantor di Wasuponda–, tegas memihak perusahaan. “Lebih baik  kami kehilangan masyarakat daripada kehilangan perusahaan,” kata camat saat itu, ditirukan Yadin.

Kondisi masyarakat Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto
Kondisi masyarakat Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto

***

Rabu 15 Oktober 2014, mulai petang, Husein akhirnya menyelesaikan tugas di nursery kawasan taman Wallacea dan pembibitan PT Vale. Dia menyiram tanaman dan mematikan keran air. Husein bekerja di perusahaan kontraktor dengan upah Rp2,8 juta setiap bulan dengan jam kerja lembur padat.

“Untuk hidup dengan keluarga ya seperti ini. Harus sabar dan bersyukur.”

Di tempat pembibitan itu, Husein tak hanya merawat tanaman, juga menjaga 10-an rusa totol putih, anoa dataran tinggi dan anoa dataran rendah. Juga memberi makan, dan menyiapkan air untuk kubangan anoa. Tak ada seorangpun bekerja di nursery Vale yang paham tentang binatang, kecuali dia.

“Anoa itu liar tetapi begitu manja. Juga kotor, air kubangan ditempati mandi, buang kotoran dan minum, disitu.”

Dia mengajak saya ke taman itu melalui pintu belakang bersama Yadin. Ada pagar kawat setinggi dua meter mengelilingi taman dan menutup jalur penduduk menuju tempat pembuangan akhir sampah Nuha.

TPA disediakan Vale sebagai bagian kepedulian dengan masyarakat. Terletak di belakang kantor General Facilities and Service Vale, masih konsesi perusahaan. Beberapa warga Dongi mengatakan, akses ke TPA tertutup membuat mereka berpikir lebih keras lagi menambah penghasilan. “Ada banyak warga menjadi pemulung, mengumpulkan beberapa sisa air mineral kemudian dijual.”

“Jadi jika ada pertemuan pramuka, kami mengumpulkan sisa air mineral. Kami tak malu, itu kerjaan halal. Tapi perkemahan hanya ada beberapa kali dalam setahun, jadi tak berharap banyak,” kata Tini Lanapu, juga istri dari Husein.

“Saat akses belum tutup (akses ditutup petengahan 2014), setiap hari saya dan beberapa warga ke TPA. Mengambil sisa-sisa sampah yang dapat dijual kembali.”

Salah satu kuburan tua di Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto
Salah satu kuburan tua di Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto

“Saya ikut andil dalam memagari akses ke TPA. Tapi itu perintah perusahaan dan saya lakukan. Saya hanya jadi buruh. Kepada keluarga-keluarga lain, saya sudah minta maaf,” kata Husein.

Sebelum meninggalkan nursery Vale, Yadin menjelaskan jejak taman yang dilalui. Pohon dan rumput tertata apik, jalan-jalan beton untuk tempat berlari, dan duduk bersantai. Gundukan-gundukan tanah menopang kegiatan outdoor. “Coba lihat, kami sudah tak ada bukti. Dulu kawasan ini tanah adat yang luas. Ini lahan pertanian orang Dongi. Gundukan ini, dulu tak ada, ini sisa tanah kerukan dari Gunung Buton yang ditambang,” katanya.

Kini, Buton sudah terkelupas. Rasanya tak elok menggunakan kata gunung untuk Buton, lebih tepat bukit. “Dulu gunung ini tinggi. Ada pancuran yang menjadi tempat warga mengambil air. Dekat pancuran itu, ada tasima (kuburan leluhur). Tapi ya itu, semua sudah tak ada, sudah dikeruk dan diratakan,” ujar Yadin.

Kampung Dongi yang saat ini (samping depan lapangan golf) dihuni pertama kali oleh Yadin tahun 2003. Dia membuka dan membersihkan belukar. Membangun tenda kecil bersama keluarga. Beberapa hari kemudian, aparat kepolisian dan pengamanan dari perusahaan mendatangi. Yadin diancam.

Pada Oktober 2003 pagi, Yadin, sedang mencangkul di halaman rumah. Beberapa polisi menghampiri, mengokang senjata dan menyatakan dia sebagai keras kepala. “Saya disuruh keluar dari tempat ini. Padahal ini kampung leluhur saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya. Apapun yang terjadi. Mati sekalipun,” kata Yadin.

Akhirnya, polisi membawa menuju kantor keamanan Vale. Dalam ruangan yang bersuhu dingin, Yadin diinterogasi, dibentak dan diancam. Setelah kejadian itu, beberapa orang memasang plang larangan untuk tidak beraktivitas dalam kawasan konsesi perusahaan.

Yadin tentu tak menghiraukan. Akhirnya beberapa kali dia dijemput polisi dan pemerintah.

“Apakah bapak pernah dipukul?” “Soal seperti jangan ditanya. Saya sudah melalui dan sudah tak terhitung. Tetapi hingga sekarang saya masih ada disini.”

Beberapa kali perusahaan dan pemerintah daerah membuat kesepakatan mengeluarkan penduduk Dongi dari kawasan itu. Salah satu, membuat relokasi 2010 ke wilayah di Wasuponda.

Tahun 2010, perusahaan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membangun 57 rumah sesuai jumlah di Kampung Dongi (di lapangan golf). Letak perumahan baru di sisi bukit, dari pusat Kecamatan Wasuponda perlu sekitar 30 menit berkendara. Saat hujan mengguyur akan lebih lama, karena jalan batu dan tanah.

Saat terjadi perjanjian, beberapa warga Dongi tak menyetujui. Namun tetap berjalan. Dalam perjanjian awal rumah yang dibangun memiliki ukuran 6×8 meter, halaman 15 meter, dengan fasiitas air dan listrik. Kenyataan, bangunan rumah hanya 4×5 meter. Sangat kecil, dengan dinding batako rapuh. Bahkan tak ada fasilitas air bersih dan listrik. “Begitukah perusahaan dan pemerintah memanusiakan orang?” kata kepala Suku Karunsie (Mohola) Bali Pombu.

Akhir 2012, kemewahan listrik baru menyentuh perumahaan itu. Sebelumnya warga hanya menggunakan penerangan seadanya. Genset hanya cukup menerangi beberapa rumah dan dengan swadaya. “Alhamdulilah sudah ada listrik. Tapi untuk air bersih kami masih menggunakan air sumur. Saat kemarau seperti ini, kami membeli air bersih di Wasuponda untuk keperluan minum dan masak,” kata Elis, seorang warga.

PT Vale dari kejauhan. Foto: Eko Rusdianto
PT Vale dari kejauhan. Foto: Eko Rusdianto

***

Pertengahan 2014, Tini Lanapu bergegas membawa anaknya yang hendak melahirkan ke rumah sakit Vale. Petugas rumah sakit enggan memeriksa, dia meminta kartu pengenal sebagai masyarakat asli kawasan. Ironisnya, warga Dongi tak masuk daftar dan harus membayar sejumlah uang.

Beruntung seorang kawan dari Sorowako yang tergabung dalam Kerukunan Wawoinia Asli Sorowako membantu. Maka dia bisa berobat gratis. “Kalau dari Dongi, kami tak pernah dilayani. Itu terjadi beberapa kali,” kata Tini.

Dari segi pendidikan, masyarakat di Kampung Dongi, hanya mampu menyekolahkan anak hingga sekolah menengah dengan alasan biaya pendidikan tinggi. Padahal, 2000-an awal hingga 2013, program beasiswa perusahaan dan pemerintah daerah berjalan dan menelorkan beberapa alumni. Warga Dongi hanya mendengar, tak pernah merasakan.

Saat mengunjungi Kampung Dongi, hanya berupa jalan tanah. Jumlah rumah sekitar 50 unit. Halaman rumah jadi kebun-kebun kecil untuk menanam sayur dan tanaman musiman lain.

Secara administrasi pemerintahan, kampung ini masuk Kelurahan Magani, Kecamatan Nuha, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kepala Kecamatan Nuha, Kamal Rasyid mengatakan, kondisi masyarakat Dongi menjadi perhatian utama. “Saya tahu, disana listrik dan air diambil dari fasilitas perusahaan. Itu akan kami koordinasikan untuk mencari jalan terbaik.”

Beberapa tahun lalu, kata Kamal, ada kesepakatan antara pemerintah, perusahaan dan warga Dongi. Dalam perjanjiann, jika wilayah adat saat ini yang menjadi Kampung Dongi akan menjadi cagar budaya.

Bagaimana  konsep cagar budaya itu? “Inilah yang kami belum tahu seperti apa, karena belum dilakukan. Apakah warga bisa mendiami lokasi atau tidak?”

Orang Dongi dari Suku Karunsie. Masa awal bermukim di Witamorini di Lembo Mbo’o (lembah yang busuk). Penamaan Lembo Mbo’o karena masyarakat Karunsie memiliki usaha pertanian sangat maju, tanaman melimpah terkadang tak mampu di panen keseluruhan dan tinggal membusuk.

Karunsie berarti tiang lumbung pangan. Sekitar tahun 1880, saat Belanda masuk, penduduk Karunsie meninggalkan tempat secara terpisah, seperti di Lawewu, Kaporesa dan Balo-balo (masih dalam kawasan Luwu Timur). Dari Lawewu masyarakat berpindah ke Salonsa dan Tapulemo.

Tahun 1920, kepala distrik Nuha menyatukan kampung yang dikenal dengan sebutan kampung baru – sekarang lapangan golf Vale. Dari kampung inilah nama Dongi muncul.

Dongi adalah nama pohon yang memiliki buah masam dan kecut. Biasa buat memasak ikan. Dongi atau dengen tumbuh subur di beberapa tempat di sekitar Danau Matano. Bentuk buah lucu, seperti jeuk manis. Ketika matang, kulit terbuka dan jatuh ke tanah.

Perumahan sekitar Vale, di luar Kampung Dongi. Jalanan dan bangunan rumah tampak tertata dan bagus. Foto: Eko Rusdianto
Perumahan sekitar Vale, di luar Kampung Dongi. Jalanan dan bangunan rumah tampak tertata dan bagus. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,