,

Jamaludin Latif, Aktivis Sepeda Penggagas Ijolan Sampah Dari Yogyakarta

Jamaludin Latif berambut gondrong dan beberapa helai rambut sudah memutih. Di rumahnya di Jalan Sugeng Jeroni, Gang Kartini, Suryowijawayan, Yogyakarta terparkir berbagai macam sepeda. Ada jenis BMX, Citybike dan Sepeda Post dari Jepang. Kemanapun pergi ia selalu bersepeda. Berkendaraan sepeda motor hanya selingan. Dari aktivitas itulah, ia jadikan sebagai mata pencarian yakni berjualan sepeda.

Pada tahun 1994, dari kampungnya di Pekalongan, Jawa Tengah, ia datang ke Jogja. Ia kuliah di kampus Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi). Setiap hari ia melihat banyak orang bersepeda, mulai dari pedagang, siswa sekolah, mahasiswa bahkan pekerja. Udara masih asri dan segar. Bangunan seperti mal, apartemen dan hotel sangat jarang dan tidak pernah ada persoalan krisis air.

Akan tetapi, saat ini hal itu tidak lagi dijumpainya. Persoalan lingkungan dan tata kota Jogja menurutnta semakin berantakan. Berbagai hal ia lakukan untuk menyuarakan berbagai persoalan lingkungan di Jogja, mulai dari menggagas ijolan sampah (bertukar sampah), mengajak masyarakat kembali bersepeda untuk sekolah dan bekerja, serta setiap aktivitas seni teater yang ia buat selalu bersinggungan dengan persoalan lingkungan.

Mongabay berkesempatan mewawancarai Jamaludin, berikut petikan wawancarnya:

Mongabay     : Apa yang membuat anda tertarik bersepeda dan aktif menyuarakan lingkungan di Yogyakarta?

Jamaludin     : Saya melihat Jogja secara geografis kotanya cocok untuk bersepeda dan sejarahnya. Kota Jogja didesain Belanda bukan untuk roda mesin karena cenderung lebih banyak dataran. Lalu alasan bersepeda itu harusnya jelas karena lebih ramah lingkungan. Tidak menggunakan bahan bakar yang menghasilkan polusi udara dan sudah tentu sehat. Saya punya komunitas pesepada dari berbagi jenis sepeda namanya Hub for Cycles. Komunitas ini punya konsen pada lingkungan. Awalnya kami berpikir alasan kami bersepeda itu harusnya otomatis karena cinta lingkungan, namun juga harus ada manfaatnya. Seperti ketika kami bersepeda lalu menemukan tempat pembuangan sampah liar, kami membersihkannya.

Lalu kami berfikir lebih jauh, jika hanya membersihkan sampah efeknya tidak begitu signifikan. Akhirnya kami membuat kegiatan bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jogja yakni ijolan sampah. Orang membuang sampah sembaranga semakin banyak dan edukasi pemilahan organik dan anorganik sampah masih kurang.

Ijolan sampah konsepnya adalah kami membuat publikasi ke masyarakat untuk mengumpulkan barang-barang bekas yang menurut mereka dianggap sampah, namun sesungguhnya masih layak dipakai. Seperti baju, sepatu, mainan anak, celana, buku, peralatan dapur dan barang lainnya yang semua barang tersebut bentuknya sumbangan.

Kami tanpa modal mengumpulkan barang tersebut. Kemudian kami buat pasar bernama ijolan sampah. Bentuknya seperti pasar, namun harga barang yang dijual lebih murah dibandingkan harga di pasar loak (barang bekas).

Setiap orang yang membeli barang tersebut tidak memakai uang, namun dengan membawa sampah plastik. Sampah ditimbang lalu dikonversi dari berat sampah tersebut dengan poin. Seumpama membawa sampah plastik 5 kilogram dikonversi poin senilai 50 ribu. Lalu dari poin itulah membeli barang-barang yang ada di pasar.

Sedangkan bentuk edukasinya yakni jika poin sudah habis mereka bisa isi ulang dengan belajar. Dan kami membuatkan permainan balapan sepeda di rimbunan sampah. Sepedanya berkeranjang, jadi balapan sambil mengumpulkan sampah. Ada treknya, sampai di finish peserta masih harus memilah sampah organik dan anorganik. Setelah itu dijumlah dan dihitung poinnya untuk bisa dibelanjakan lagi di pasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap dua bulan sekali.

Mongabay     : Bagaimana tata ruang kota Jogja saat ini, apakah telah memberikan akses baik untuk pengguna sepeda dan sudah tertata secara baik?

Jamaludin     :  Masih jauh dari harapan sebenarnya dan banyak persoalan di tata ruang Kota Jogja. Seperti gerakan para aktivis pesepeda yang dimulai sejak pergantian Walikota Jogja yakni Herry Zudianto berganti Haryadi Suyuti. Kebijakannya tidak ramah lingkunga. Contoh ketika kawan-kawan pesepeda ramai ketika menentang kebijakan “Sego Segawe” (Sepeda untuk Sekolah dan Bekerja) dihapuskan dan kawan-kawan yang tergabung di Jogja Last Friday Ride (JLFR) bikin lagu dan video klip “Rak Masalah Har”. Lalu muncul gerakan “Jogja Ora Didol” karena semakin banyak bangunan hotel yang merusak citra dan budaya Jogja sendiri tanpa ada kebijakan tegas dari pemimpin Kota Jogja.     

Kami dari lintas komunitas seperti Warga Berdaya, JLRF, Walhi, Komunitas Street Art dan lainnya mendatangi pemerintah yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Jogja dan instansi lainnya untuk memberikan konsep tata ruang kota yang ramah lingkungan dan mengedepankan nilai-nilai kebudayaan Jogja. Kami mendesak mereka untuk melakukan perubahan dan perbaikan.

Untuk akses sepeda, jalur sepeda sendiri masih tidak aman. Di Kota Baru yang awalnya menjadi desakan kami untuk menjadi percontohan tata kota dan akses yang baik untuk jalur sepeda-pun masih jauh dari harapan. Keberpihakan pemerintah Jogja tidak ada untuk berbagai hal yang ramah lingkungan. Artinya jika mereka berpihak pada lingkungan harusnya kebijakannya tegas untuk mengedepankan lingkungan. Ketika saya masuk Jogja motor dan mobil itu sangat sedikit, isinya para pesepeda. Namun atas nama pembangunan dan ekonomi, saat ini kredit kendaraan begitu murah dan bangunan hotel, apartemen dan mal bertebaran.

Pemerintah tidak berani untuk melakukan pembatasan kendaraan bermotor. Jika berani melakukan tindakan tersebut, kemacetan bisa dihindari. Lalu, jika bicara standar jalur sepeda yang baik, jalur sepeda di Jogja membahayakan dan salah. Tidak boleh ada jalur ruang tunggu sepeda di depan pemberhentian kendaraan bermotor.

Mongabay     : Anda membuat gerakan “Kota Untuk Manusia”. Seperti apa gerakan itu?

Jamaludin     : Gerakan ini sifatnya untuk memberitahu dan mengajak publik tahu bahwa di Jogja saat ini banyak persoalan lewat sosial media. Contohnya seperti pembangunan hotel, mal dan apartemen yang telah memberikan dampak seperti di konflik masyarakat, hilang dan berkurangnya air sumur warga, berkurangnya resapan air sehingga ketika hujan timbul banjir, dan persoalan lingkungan lainnya. Harapan dari informasi yang di sebarkan lewat gerakan ini masyarakat ikut kritis dan mau bergerak bersama untuk menyelamatkan lingkungan Jogja yang katanya istimewa ini.

Mongabay     : Sebagai seniman teater, apakah pernah membuat karya seni pementasan yang bersinggungan langsung dengan persoalan lingkungan?

Jamaludin     : Saat ini sering. Seperti pementasan teater berjudul “Trotoar” yang bercerita tentang tata kota Jogja yang tidak ramah bagi para pejalan kaki. Persoalan pelik tersebut menjadi lengkap karena Jogja juga tidak punya banyak taman kota dan ruang terbuka hijau. Saya pribadi membuat karya seni harus mempunyai nilai dan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Walau secara langsung tidak bisa membantu lahirnya suatu perubahan, tapi paling tidak pesannya sampai ke publik yang menyaksikan karya seni tersebut. Bahkan ada dampak lainnya, setelah karya seni pementasan terserbut sekitar enam bulan masyarakat di Jogja ramai membicarakan persoalan trotoar dan tata ruang kota Jogja. Banyak masyarakat yang menyampaikan persoalan trotoar di sekitaran rumahnya atau ketika mereka melihat sesuatu persoalan di jalanan. Paling tidak kepedulian masyarakat muncul.

Mongabay     : Bagaimana tanggapan anda terkait pembangunan hotel, mal dan apartemen di Jogja yang begitu masif?

Jamaludin     : Tentu ini berkaitan dengan kebijakan dan niat pemerintahnya. Selama ini alasannya selalu untuk meningkatkan pendapatan daerah. Saat ini ratusan hotel sudah mendapatkan ijin untuk dibangun dan ada yang dalam proses pembangunan. Namun hasil riset dari beberapa kampus, hotel di Jogja hanya ramai disaat liburan saja, dihari biasa sepi. Harusnya hal tersebut jadi tolak ukur dan pemerintah punya data kuat terkait kebutuhan hotel dan kamar untuk wisatawan yang datang ke Jogja. Model desa wisata yang lebih ramah lingkungan dan mengedepankan kultural Jogja seharusnya bisa dioptimalkan. Dampaknya lebih bermanfaat untuk masyarakat asli Jogja.

Di tahun 2000-an, seniman di Jogja ramai-ramai membuat karya seni menolak pembangunan mal. Saat ini persoalannya pembangunan hotel dan apartemen. Beberapa kali dikritisi namun pemerintah tetap diam. Setelah dampak riil-nya terlihat, yakni kekeringan air sumur disekitar bangunan hotel dan apartemen, barulah pemerintah bertindak. Mirisnya lagi BLH Jogja mengatakan kekeringan karena musim kemarau panjang, butkinya setelah ketahuan hotel mencuri air (tidak ada ijin pemanfaatan air tanah), disegel dan di stop, air sumur warga perlahan membaik.

Beruntung masyarakat sudah mulai sadar bahwa pembangunan terebut berdampak pada lingkungan khususnya air. Gerakan warga menolak pembangunan tersebut mulai ramai belajar dari kasus yang terjadi.

Mongabay     : Bagaimana seharusnya tata ruang dan tata kelola Jogja yang lebih ramah lingkungan menurut anda?

Jamaludin     : Seharusnya pemerintah mulai berbenah, seperti memaksimalkan pemanfaatan dan pengelolaan transportasi publik. Memberikan akses dan jalur sepeda yang lebih aman dan tertata secara baik. Perlu pembatasan sepeda motor dan harga pembeliannya mahal atau pajaknya tinggi, sehingga masyarakat akan lebih tertarik menggunakan transportasi umum atau bersepeda. Bangunan hotel, mal dan apartemen dihentikan, jika perlu dicabut bahkan dihukum jika terbukti pembangunannya melanggar. Tentunya hal ini semua ditopang dengan kebijakan hukum yang jelas dan tegas.

Mongabay     : Apa harapan anda terhadap pemerintah dalam pengelolaan tata kota yang lebih ramah lingkungan?

Jamaludin     : Jogja itu perlu pemimpin yang benar-benar berani melakukan perubahan secara serius menata kota dan tata kelola serta berani membuat kebijakan tegas dan pro lingkungan. Perubahan membutuhkan waktu, namun jika tidak di mulai oleh pemimpin yang mau bersikap lewat tindakan maupun kebijakan hukum tentu tidak akan pernah terjadi. Terhadap ijin-ijin hotel, apartemen dan mal, saya menduga kuat tentu ada transaksi atau korupsinya, sehingga perlu diusut dan KPK bisa mencoba memeriksanya.

Jika Jogja ingin menujukkan keistimewaanya maka perubahan harus dimulai dari pemimpinnya untuk membuat kebijakan yang mengedepankan nilai-nilai yang turun berdasarkan kebudayaan atau nilai luhur Jawa atau prinsip “Memayu Hayuning Bawana” yang secara arti manusia harus melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin serta manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungannya. Karena manusia hidup tidak bisa lepas dari lingkungannya, berbuat arif, tidak merusak dan tidak semena-sema terhadap lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,