,

Terkait Qanun RTRW, Warga Aceh Gugat Mendagri, Gubernur dan DPR

Warga Aceh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menggugat Menteri Dalam Negeri (mendagri), Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh.

Evi Susanti, salah satu kuasa hukum warga, Selasa (6/10/15) mengatakan, warga yang tergabung dalam GeRAM tersebut sebanyak sepuluh orang dan berasal dari berbagai daerah. Diantaranya, Efendi (Aceh Besar), Juarsyah (Bener Meriah), Abu Kari (Gayo Lues), Dahlan (Lhokseumawe), Kamal Faisal (Aceh Tamiang), Muhammad Ansari Sidik (Aceh Tenggara), Sarbunis (Aceh Selatan), Najaruddin (Nagan Raya), dan Farwiza (Kota Banda Aceh).”

Evi menjelaskan, gugatan tersebut dilakukan karena RTRW Aceh yang dituangkan dalam Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW tidak memasukkan beberapa substansi penting dalam RTRW Nasional. “Di antaranya adalah tidak dimasukkannya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai satu dari lima Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang berada di Aceh. Ini mengabaikan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.”

RTRW Aceh juga mengabaikan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional, SK Menteri Kehutanan RI Nomor 227/KptsII/1995, Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998, dan SK Menteri Kehutanan Nomor 190/Kpts-II/2001. “Pengabaian amanat dari ketentuan peraturan-peraturan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Dalam hal ini, Gubernur dan DPR Aceh,” sebut Evi.

Menurut para penggugat, lanjut Evi, pengabaian KEL sebagai bentang alam yang terintegrasi (eco-region) akan mengancam keunikan keanekaragaman hayati dan ekologi yang ada. Akibatnya, akan meningkatkan intensitas risiko bencana. “Selain itu, tidak diakuinya Kawasan Rawa Gambut Tripa sebagai bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN), tidak diakomodirnya jalur evakuasi bencana, serta tidak mencantumkan wilayah kelola Mukim sebagai wilayah asal usul masyarakat adat Aceh, padahal mereka diakui nasional dan internasional harus ditinjau ulang.”

Evi juga mengatakan, perbuatan penyelenggara negara, dalam hal ini Gubernur  dan DPR Aceh telah melanggar Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. “Pasal tersebut mengatur penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Pelaksanaannya melalui; partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;  partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.”

Farwiza, salah seorang penggugat  mengatakan, proses pembentukan Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh yang ditetapkan di Banda Aceh pada  31 Desember 2013, dan diundangkan pada 3 Maret 2014 juga tidak menindaklanjuti hasil evaluasi mendagri melalui keputusan Nomor 650-441 Tahun 2014 tertanggal 14 Februari 2014. “Perbuatan tidak menindaklanjuti hasil evaluasi mendagri oleh Gubernur dan DPR Aceh merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008.

Selain itu, ujar Farwiza, mendagri juga telah lalai menerbitkan dan menyampaikan hasil evaluasinya terhadap Rancangan Qanun RTRW Aceh 2013-2033. Gubernur Aceh telah menyampaikan rancangannya pada 18 Desember 2013 perihal Evaluasi Rancangan Qanun tentang RTRW Aceh beserta lampirannya. “Surat diterima oleh Kementerian Dalam Negeri pada 20 Desember 2013 dan hasil evaluasi disampaikan pada 20 Februari 2014.”

Mendagri ungkap Farwiza juga telah melakukan pembiaran atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan Gubernur dan DPR Aceh yang menetapkan dan mengesahkan Rancangan Qanun Tentang RTRW Aceh Tahun 2013-2033 menjadi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tanpa terlebih dahulu menindaklanjuti hasil evaluasi. “Sampai saat ini, mendagri tidak melaksanakan/mengabaikan kewenangannya untuk membatalkan Qanun Nomor 19 Tahun 2013 sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 15 ayat (1).”

Untuk tahap awal, gugatan yang mereka lakukan dalam bentuk notifikasi atau pemberitahuan terbuka. “Notifikasi disampaikan dalam jangka waktu 60 hari. Apabila tidak diindahkan, gugatan akan didaftarkan ke pengadilan Banda Aceh dan Jakarta,” tutup Farwiza.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,