Para pebisnis sawit mendukung rencana Presiden Joko Widodo menghentikan sementara (memoratorium) izin kebun sawit. Kebijakan ini guna memperbaiki tata kelola sekaligus memberikan peluang peningkatan kapasitas dan kualitas petani sawit. Hingga produktivitas sawit mereka maksimal melalui praktik-praktik bertani berkelanjutan.
John Hartmann, CEO Cargill Tropical Palm mengatakan, tujuan Jokowi mengeluarkan moratorium guna mendukung keberlanjutan. “Ini menindaklanjuti restorasi lahan gambut, juga konsistensi penegakan hukum. Intinya kita mendukung moratorium itu,” katanya di Jakarta, pekan lalu.
Mereka mendukung dan menjalankan upaya perkebunan sawit berkelanjutan. Untuk itu, petani bagian penting dalam memenuhi permintaan global terhadap sawit berkelanjutan. Dia mencontohkan, petani plasma dan swadaya dampingan Cargill memungkinkan operasional lebih efisien, tepat guna, dan menghasilkan lebih tinggi.
Dia berharap, Jokowi dan kementerian mendukung sawit berkembang dengan mengedepankan keberlanjutan.
Agus Purnomo, Managing Director for Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement GAR mengatakan, perusahaan selalu patuh aturan dan siap mendukung kebijakan pemerintah. Begitu juga rencana kebijakan Presiden yang akan memoratorium izin sawit. “Gak ada koma, but, if. Dia bilang begitu, jawaban kita siap,” katanya.
Kebetulan, kata Agus, sejak November 2014, GAR tak melakukan pengembangan kebun sawit lagi hingga tak ada yang terhambat dengan kebijakan itu. “Kami fokus intensifikasi dan perbaikan kinerja dari berbagai bidang,” ujar dia.
Anita Neville, Vice President Corporate Communications and External Affairs, Golden Agri Resources menambahkan, inisiatif ini memberikan indikator penguatan pengelolaan sektor pertanian berkelanjutan. Sebelum ini, Presiden membentu Badan Restorasi Gambut, lalu rencana moratorium ini.
GAR, menanti kontribusi menyukseskan moratorium ini melalui aksi nyata dan program yang berdampak positif bagi kesejahteraan petani sawit.
Peta Meekers, Director of CSR and Sustainable Development Musim Mas Holdings mengatakan, moratorium ini akan membantu merefleksikan penggunaan lahan sekarang dalam mendukung upaya kebijakan satu map. “Juga akan membuka kesempatan merefleksikan petani sawit dan status dalam sebuah lanskap. Secara keseluruhan, moratorium ini akan sangat membantu transformasi sawit dalam keseluruhan rantai pasok,” katanya.
Nurdiana Darus, Direktur Eksekutif Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) berharap, moratorium menjadi langkah awal mensinergikan program pemberdayaan petani dari semua pemangku kepentingan guna mencapai sawit berkelanjutan.
“Kita harus benar-benar fokus intensifikasi untuk peningkatan produksi sawit dan menjaga daya saing sektor ini secara konsisten,” katanya.
IPOP dan Kadin, katanya, memiliki misi sama dengan pemerintah soal produktivitas kunci pembangunan sawit berkelanjutan. “Kami merancang aksi nyata menyelesaikan akar permasalahan mendasar dialami petani sawit dengan memetakan siapa dan kelompok pemangku kepentingan, kapan upaya ini harus dilakukan untuk mengidentifikasi dan memahami akar permasalahan petani sawit.”
Langkah ini, katanya, menentukan kesuksesan dukungan mengatasi permasalahan legal dan teknis yang memungkinkan petani mengimplementasikan praktik berkelanjutan di lapangan.
Semua penandatangan IPOP yakni Asian Agri, GAR, Wilmar, Cargill, Musim Mas dan Astra Argo Lestari, aktif dalam mengimplementasikan pemberdayaan petani baik plasma maupun swadaya. “Upaya kolektif akan membawa dampak lebih besar terhadap peningkatan produktivitas dan kapasitas petani Indonesia.”
Berbeda dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Gabungan perusahaan ini masih akan memantau perkembangan kebijakan ini.
Tofan Mahdi, Juru Bicara Gapki mengatakan, sedang dan terus membangun komunikasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak istana.
Dia menyebutkan, sawit sektor strategis yang mampu memberikan sumbangan ekspor cukup tinggi mencapai US%19 miliar pada 2015.
Angka ini, katanya, menyaingi devisa ekspor migas, hanya US$12 miliar. Indonesia juga menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi 31,5 juta ton pada 2015. Dia mengklaim sektor ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 6 juta jiwa dan mendorong pengembangan wilayah di daerah punggiran.
Plt Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi mengatakan, Musi Banyuasin, mendukung kebijakan ini. “Bukan hanya sawit juga tambang. Karena yang swadaya sudah luar biasa. Tinggal diintensifkan,” katanya.
Dia memang bertekad menyetop pemberian izin perkebunan sawit karena potensi yang ada sudah besar. “Kalau izin lokasi saya tak akan keluarkan lagi. HGU bukan wewenang kami. Kalau saya sebenarnya tak akan lagi mengeluarkan izin baru. Kalau perizinan sudah berjalan tentu kami proses. Misal, izin tiga tahun lalu, masa saya tutup? Tapi kita harus hati-hati.” Dia akan mengintensifkan perkebunan petani sawit swadaya seluas 57.000 hektar.