Putusan pembatalan izin lingkungan atas pendirian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) unit II Cirebon, Jabar, menjadi kabar gembira sekaligus harapan bagi Jusmadi.
Usianya 70 tahun, namun Jusmadi masih tetap gigih memperjuangkan apa yang dianggap penting bagi penghidupannya. Bicaranya masih bersemangat , terutama saat mengisahkan tentang keadaan lingkungan yang dulu dirasa cukup memberikan kesejahteraan.
Kondisi itu mulai dianggap berubah semenjak 5 tahun lalu, saat beroperasinya PLTU unit I Cirebon. Dulu enak kata dia, berangkat pagi–pulang menjelang senja, hasil tangkapan ikan di pesisir pantai terbilang cukup untuk menghidupi keluarga. Jusmadi bersyukuri meski hidup jauh dari sentuhan program pembangunan ekonomi oleh pemerintah, namun setidaknya dia tidak pusing memikirkan persoalan perut.
(baca : Begini Nasib Nelayan yang Bertetangga dengan Pembangkit Listrik Batubara di Cirebon)
Jusmadi tercatat sebagai warga Desa Kanci Kulon RT 02/04 blok 1, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Hampir sebagian masyarakat disana bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani tambak.
Dari tahun ke tahun, hasil penghidupnya kian dirundung ketidakpastian. Keberadaan ikan sudah sulit didapat. Sawah sering gagal panen tercemar polusi dari PLTU begitu juga dengan tambak yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menuai tambahan penghasilan.
(baca : Proyek PLTU Unit II Cirebon Terus Berjalan, Ditengah Penolakan Masyarakat)
Kekhawatiran juga menghantui, Warsinah (67) istri dari Jusmadi. Perempuan yang telah memasuki masa senja itu harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer untuk mencari kerang. Menurut Warsinah, ada pipa berukuran besar yang ditanam dibawah permukan air laut. Dia tidak tahu persis maksud dari itu tapi kadang terlihat mengeluarkan buih – biuh.
Warsinah hanya tahu, semenjak itu ada kerang susah didapat. Diperlukan usaha keras hanya untuk medapatkan 2 kilogram kerang agar bisa diuangkan atau dijadikan sebagai teman makan nasi. Dia mengaku sudah pernah melapor ke perangkat desa disana terkait hal itu, namun sepertinya suara Warsinah kurang merdu untuk didengar.
“Maka dari itu kami kesini untuk mencari keadilan. Meski kami tidak paham dan bodoh. Kami ingin berjuang. Saya bukannya menentang kebijakan pemerintah. Mbok ya pemerintah juga jangan sampai merenggut hak hidup kami yang sudah dari dulu bergantung pada hasil laut,” kata Jusmadi ditemani belasan nelayan lainnya di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung, Rabu(19/4/2017) lalu.
(baca : Ongkos Kesehatan Sampai Ratusan Triliun, Batubara Itu Ternyata Energi Termahal)
Amar putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Sutiyono. Menurut Majelis Hakim, izin lingkungan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) Jawa Barat tidak mematuhi azas perundang-undangan yang berlaku.
Perundangan-undangan itu seperti UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang Wilayah Kesatuan Indonesia, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No.27/2012 tentang Izin Lingkungan serta Permen LH No.17/2012 tentang Keterlibatan Masyarakat.
Sehingga surat keputusan yang diterbitkan BPMPT Jabar dengan nomor 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU unit II berkapasitas 1×1000 MW di lahan 200 hektare kepada PT Cirebon Energi Prasarana (CEP) supaya dicabut.
“Majelis hakim menolak eksepsi dari tergugat. Majelis hakim mengabulkan gugatan daripada penggugat dan menyatakan batal terkait surat keputusan izin lingkungan yang diterbitkan BPMPT Jawa Barat. Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp11.349.000. Kepada pihak – pihak yang tidak puas, boleh melakukan banding terhitung 14 hari sejak perkara ini diputuskan selesai,” kata Sutiyono menutup persidangan.
Willy Hanafi salah satu kuasa hukum yang mendampingi masyarakat menerangkan gugatan yang dilayangkan telah berjalan lebih dari 90 hari. Majelis hakim akhirnya memutuskan pembatalan izin lingkunggan karena menabrak peraturan tentang rencana tata ruang wilayah.
“Sebetulnya izin itu masih ada namun dibekukan. Hal ini berlaku sampai ada inkrach atau keputusan hukum tetap sampai pada tingkat MA. Jadi memang pada pengadilan tingkat pertama itu batal. Maka dari itu pemerintah harus mencabut izin tersebut baru bisa dikatakan inkrach. Kalau tidak berarti akan banding,” jelas dia seusai persidangan.
Menurut Willy, hakim melihat adanya peraturan yang dilanggar. Izin lokasi PLTU II mencakup 3 kecamatan Astanajapura, Mundu dan Pangenan. Tetapi setelah ditelusuri Kecamatan Mundu tidak termasuk kedalam wilayah yang diproyesikan. Dengan demikian izin lingkungan dari BPMPT yang diterbitkan tanggal 11 Mei 2016 cacat hukum.
Sebelumnya, pihak PT CEP mengklaim bahwa dalam pelaksanaan proyek sudah mengantongi seluruh izin mulai dari izin lingkungan, AMDAL dan lainnya yang mengacu pada Perpres No.4/2016 tentang percepatan proyek insfraktruktur melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional.
Dalam persoalan lingkungan, PT CEP berdalih akan mengunakan ultra supercritical boiler pada PLTU unit II. Teknologi tersebut disinyalir lebih baik dari PLTU unit I supercritical technology tidak pengaruh terhadap lingkungan.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Wahyu Widianto, mengatakan teknologi yang pihak perusahaan terus dibangga-banggakan tersebut merupakan standar internasional yang memang diberlakukan sejak tahun 2017.
Sebenarnya teknologi itu hanya mengurangi atau menekan emisi karbon dioksida tidak lebih dari 10%. Sedangkan pencemaran polutan berbahaya seperti nitrogen sulfurdioksida tidak dapat tereduksi.
Dia menambahkan standar emisi di Indonesia terbilang jauh lebih rendah ketimbang dengan negara lain di dunia. Pemerintah Indonesia menentukan baku mutu polusi tidak boleh lebih dari 750 ppm, namun di luar negeri penetapan buangan kurang dari 300 ppm.
“Teknologi PLTU yang ada di Indonesia itu merupakan teknologi lama yang sudah tidak dipakai lagi oleh China dan Jepang. China dan Jepang merupakan investor PLTU. Banyak dana yang dikucurkan untuk membangun proyek itu di Indonesia. Semua proyek strategis dikerjakan, sampai banyak peraturan yang juga dilabrak dan dimanipulasi. Terkesan ada unsur politik dibalik itu semua antara pemerintah dengan korporasi ,” ujar dia.
Tumpang Tindih Regulasi
Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen batubara terbesar dan ekportir batubara terbesar di dunia. Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), mencatat Indonesia merupakan negara yang mengalami pertumbuhan produksi dan konsumsi yang cukup pesat.
Namun, Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya dalam dokumen Intended Nationality Determined Contribution (INDC) dengan target penurunan emisi karbon sebesar 29% pada 2030.
(baca : Indonesia Targetkan Penurunan Emisi Karbon 29% pada 2030)
Sedangkan dari sektor energi, ada program listrik 35.000 MW yang diprioritaskan Presiden Joko Widodo. Tetapi terlihat adanya tumpang tindih soal regulasi, semisal UU Minerba, UU Tata Ruang serta UU KLHK.
Demikian pula tumpah tindih dan ketidaksesuaian antara peraturan pemerintah pusat dengan daerah. Belum lagi dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025 yang menuliskan bahwa PLTU masih mendominasi sebagai penyupalai kebutuhan listrik.
Sementara itu juga harga batubara masih fluktuatif. Ditambah adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan pertambangan batubara untuk memenuhi pasar dalam negeri sebesar 10%.
Mulai Ditinggalkan
Tanggal 18 Maret 2017, China menutup terakhir pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) skala besar . Rata-rata konsumsi batubaranya lebih dari 8 ton per tahun. Pembangkit listrik tersebut telah berdiri selama 18 tahun di tenggara Beijing.
Perubahan itu dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Salah satunya yaitu untuk mengurangi ratusan ton polutan, termasuk sulfur dioksida, nitrogen oksida dan debu dampak dari beroperasinya “energi kotor” tersebut.
China berencana memperbaiki kualitas udara dengan mengurangi penggunaan batubara. Negara Tirai Bambu juga telah mengembangkan pembangkit listrik tenaga thermal dengan menggunakan gas alam sebagai bahan bakar. Pada proses transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan, perusahaan akan dibantu oleh pemerintah.
(baca : Oase Batubara untuk PLTU Bisakah Dihentikan?)
Hal serupa dilakukan oleh sebagaian negara di Eropa. Meski batubara telah menjadi pusat pembangunan di Eropa dalam mengembangkan revolusi industri, perdagangan dan lainnya.
Namun hal itu sudah disadari betul perihal dampak yang ditimbulkan. Banyak karbon dioksida ditambah racun mematikan seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan partikel yang bertanggung jawab atas 20,000 angka kematian setiap tahunnya.
Kini banyak negara di Eropa sudah mulai bergeser menggunakan sumber daya terbarukan seperti tenaga sonar dan angin yang melimpah. Sudah menyadari energi hijau menghasilkan listrik lebih murah dan mempekerjakan lebih banyak orang.