Hasil survei menunjukkan mayoritas sampah di pesisir Bali adalah plastik dan sumbernya dari daratan, sampah manusia yang dibuang sembarangan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Tahun baru lagi, tahun baru banyak resolusi. Resolusi tanpa aksi sama aja basa-basi. Tahun baru lagi politisi sibuk susun janji. Janji yang ditepati juga janji tuk mengibuli.
Penggalan lirik lagu “Tahun Baru Lagi” dari band indie Bali, Nosstress ini masih relevan dengan kondisi lingkungan di Bali. Mungkin juga di Indonesia.
Salah satunya ancaman sampah daratan bagi laut. Tahun baru mandi, berenang, berselancar, dan berjemur di pantai-pantai bersampah lagi di tahun baru 2018 ini. Terutama pesisir di Selat Bali.
Papan informasi yang dipasang pengelola pantai memberi permakluman jika ini adalah fenomena alam tahunan tiap Desember sampai Maret. Bukankah ini ulah manusia dan bisa dikurangi dampaknya?
Sepanjang pesisir Pantai Kuta, Legian, sampai Bali Barat, laut membawa beban berat ratusan ton sampah, terutama anorganik. Didominasi plastik kemasan, botol minuman, dan sampah manusia lainnya. Demikian juga pesisir Selatan sampai Timur Bali saat arah angin menuju daratan.
baca : Siaga Sampah Bali. Ada Apakah?
Dr I Gede Hendrawan Peneliti dari Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana memberi prediksi puncak sampah bisa terjadi akhir Desember atau awal tahun 2018.
Ia dan timnya memantau pergerakan sampah dan jenis sampah yang mendarat ini sejak 2014, terutama di pantai-pantai berhadapan dengan Selat Bali. “Dari simulasi model menunjukkan potensi sampah yang berasal dari pesisir timur Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana dan Tabanan akan tiba dalam waktu 1-2 bulan. Jika musim hujan terjadi akhir November atau awal Desember 2017 maka Kuta akan memanen sampah di akhir Desember sampai Januari,” paparnya.
Sementara untuk pesisir lain, misal jika sampah dari muara sungai-sungai di Bali Selatan seperti Teluk Benoa akan mendarat ke mana belum bisa disimpulkan karena pihak peneliti belum memodelkannya.
baca : Sampah Plastik Semakin Ancam Laut Indonesia, Seperti Apa?
Jika melihat gambaran pergerakan sampah di atas, bisa disimpulkan sampah siapa saja dari darat yang mencemari laut akan berdampak ke daratan lainnya. Namun sebelum terdampar kembali sudah menginfeksi dan meracuni isi laut. Misal menghambat pertumbuhan terumbu karang dan membunuh satwa laut dari racun serpihan sampah atau mikroplastik yang termakan.
Ketua Satgas Pantai Desa Adat Kuta I Wayan Sirna yang sedang bertugas saat ditemui pada 26 Desember lalu menyebut disiagakan 20 truk untuk mengangkut sampah yang bisa dikumpulkan. Lebih dari 1000 pedagang yang terdaftar di Pantai Kuta sepanjang 4 kilometer juga sudah diminta menyapu sampah tiap hari. Selain puluhan petugas kebersihan khusus.
Ekskavator terlihat mondar mandir di pantai mengeruk sampah-sampah yang baru terdampar agar pantai lebih cepat bersih. Maklum, jelang tahun Baru. Pantai Kuta masih menjadi salah satu lokasi tujuan wisatawan ke kawasan ini.
baca : Inilah Para Pahlawan Sampah Bali
Sampah yang sudah terdampar sehari sebelumnya dikumpulkan menjadi gundukan-gundukan kecil oleh pedagang tiap pagi dan sore di sepanjang pantai. Lalu truk pantai memindahkan ke timbunan besar, selanjutnya truk dinas kebersihan pemerintah mengangkut ke TPA Suwung.
“Banyak pengamat datang tapi belum ada solusi. Dulu pernah dicoba jaring, sepertinya mubazir tekanan arus kuat bisa cepat rusak,” ujar Sirna ketika ditanya solusi penanganan sampah ini. Ia hanya fokus pada pengurangan sampah terdampar.
Membandingkan sekitar 20 tahun lalu, pria yang sudah sejak remaja menghabiskan waktu di Pantai Kuta sebagai pedagang acung ini menyebut jika ada sampah terdampar ya organik. Misalnya kelapa tua dan kayu. Jadi dibiarkan saja sementara kayu diambil warga untuk kayu bakar. “Misal buat pamor untuk bahan bangunan,” Sirna mengingat masa lalu. Puluhan tahun lalu warga membakar batu karang untuk membuat bahan perekat membangun rumah.
Gede Hendrawan mengatakan jaring konvensional untuk menangkap sampah jika didesain khusus dengan karakter kekuatan arus dan gelombang selat Bali mungkin dapat dilakukan, tapi biayanya sangat besar. Menurutnya solusi jangka pendek di antaranya Kabupaten Badung yang kaya dari pajak industri pariwisata bisa mengalokasikan dananya membantu menyiapkan penangkap sampah (trash trap) di sungai-sungai kabupaten-kabupaten yang berpotensi masuk Selat Bali.
baca : Indonesia Siapkan Dana Rp13,4 Triliun untuk Bersihkan Sampah Plastik di Laut
Hasil survei timnya pada 2014 memperlihatkan sampah yang terdeposisi di pantai Kuta didominasi 75% sampah plastik, dengan konsentrasi rata-rata sampah sebesar 0,25/meter persegi. Saat itu hasil pemataan sampah di pantai Kuta berasal dari aktifitas di darat mencapai sekitar 52%, aktifitas laut sekitar 14%, dan aktifitas secara umum baik darat maupun laut sebesar 34%.
Dilanjutkan dengan riset pemodelan matematik untuk mengetahui pergerakan sampah yang ada di Selat Bali, dan mekanisme pergerakannya sampai terdeposisi di Pantai Kuta. Model matematik yang dikembangkan pada prinsipnya menghitung besarnya arus dan pola pergerakan arusnya yang digerakkan oleh pasang surut dan angin.
Dari pergerakan arus tersebut kemudian dilakukan pelacakan terhadap partikel yang mengapung di perairan Selat Bali. Dari hasil model, secara umum sampah yang terdeposisi di Pantai Kuta berasal dari Pulau Bali sendiri, seperti dari kabupaten Tabanan dan Jembrana. Juga disumbangkan dari pesisir pantai di Banyuwangi dan Samudra Hindia.
Waktu yang dibutuhkan sampah tersebut terdeposisi di pantai Kuta sekita 5-28 hari. Pada kondisi angin ekstrem akan mempercepat pergerakan sampah dari sumber ke Pantai Kuta. Jika dilihat dari hasil model, hampir 20-30% sampah yang mengapung di Selat Bali akan terdeposisi di Pantai Kuta.
baca : Terus Berulang Terjadi, Dari Mana Sampah di Pantai Kuta?
Dampak sampah laut
Tak hanya penikmat wisata air yang terganggu dengan sampah di laut. Juga pengelola taman nasional dan satwa di dalamnya. Misalnya Taman Nasional Bali Barat kini sibuk mengurus sampah yang terdampar di perairan kawasannya. Jika sebelumnya ancaman oleh pemburu kini penyampah.
Aksi pengumpulan sampah makin digiatkan di berbagai lokasi di dalam kawasan yang menjadi titik konsentrasi sampah anorganik. Dari data yang tercatat, pada 19 Februari sampai 29 Juni 2017 sampah anorganik terangkut sekitar 9,1 ton.
Dampak pada satwa laut langka juga terbukti. Sejumlah peneliti kelautan mengecek jumlah mikroplastik pesisir laut Bali dan NTT sejak akhir 2016 lalu. Tepatnya di sekitar perairan jalur migrasi Pari Manta yakni Nusa Penida dan Taman Nasional Pulau Komodo.
Mereka adalah Elitza Germanov, Andrea Marshall, I Gede Hedrawan, dan Neil Loneragan. Kolaborasi Marine Megafauna Foundation, Universitas Murdoch-Australia, dan Universitas Udayana-Bali. Mikroplastik ditemukan pada setiap pelaksanaan survei di kedua lokasi selama musim hujan (wet northwest monsoon season). Kategori mikroplastik adalah serpihan plastik di bawah 5 milimeter.
baca : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini…
Wilayah penelitian adalah tempat mencari makan bagi Pari Manta. Rata-rata serpihan plastik yang ditemukan di perairan Nusa Penida yaitu 0,48 potong per meter kubik dan di Taman Nasional Komodo 1,11 per meter kubik. Sehingga diperkirakan potensi Pari Manta menelan mikroplastik berkisar 40-90 potong per jam. Ini dinilai keracunan luar biasa.
Dampak jangka panjang yang diperkirakan adalah reproduksi terganggu dan populasi hewan yang dilindungi ini menurun terus. Selanjutnya membahayakan ekosistem dan berpengaruh pada dua kawasan pesisir yang terkenal karena obyek wisata bawah lautnya itu.