- Model wisata alam yang memanfaatkan sempadan danau perlu disepakati agar tak menambah beban ekosistem
- Danau Batur adalah danau terbesar di Bali, sumber air utama untuk sebagian besar aktivitas warga sekitarnya
- Makin banyak tekanan lingkungan pada Danau Batur ini seperti pendangkalan, paparan limbah anorganik, sampah plastik, dan lainnya.
- Njung Jungle Camp menjadi model wisata yang ditekuni seorang warga setempat dengan gaya minimalis agar bisa menyatu dengan alam sambil menata sempadan danau. Apakah Njung bisa konsisten dengan konsep ini?
Tak ada yang meragukan keindahan Danau Batur di Kabupaten Bangli, Bali. Kaldera purba ini dikelilingi bebukitan, kebun sayur, dan Gunung Batur. Tak perlu bersolek dengan aksesoris seperti spot-spot selfie yang dianggap Instagramable.
Jika hanya melihat dari kejauhan, seperti dari Panelokan, semua lanskap itu terasa menentramkan mata dan jiwa. Namun, coba turun ke desa-desa di bibir danau Batur, sekitar 30 menit berkendara dari Panelokan. Menuruni bebukitan yang terjal, berkelok, dan melintasi bebatuan hitam hasil muntahan lahar gunung berapi Batur.
Lihat danau Batur lebih dekat, susuri perkebunan sayur dan akomodasi wisata yang cukup rapat di pinggirannya. Eceng gondok dan sampah plastik bertebaran di sejumlah sudut. Termasuk botol dan wadah bekas pestisida yang digunakan petani. Makin berat beban yang dihadapi ekosistem danau yang disucikan dan sumber air utama di desa-desa sekitarnya ini.
Tak sedikit orang yang tergantung pada danau Batur. Ratusan pembudidaya ikan nila dan mujair dalam keramba, usaha akomodasi, dan petani yang menyedot airnya untuk penyiraman kebun. Lalu bagaimana melestarikannya?
Seorang anak muda setempat mencoba membuat usaha piknik di tepi danau dengan menata sempadan danau. Nama tempatnya Njung Jungle Camp. Jika belum pernah ke Njung, bisa kesasar karena petunjuk sangat sedikit. Hanya titik lokasi di peta Gmaps, papan lusuh kecil pinggir jalan yang tertutup pepohonan.
baca : Eksplorasi Di Titik Terbaik Lanskap Gunung dan Danau Batur
Setelah itu mengandalkan keterangan warga, para petani yang sedang kerja di kebun. Mengikuti jalan setapak tanah berbatu yang ngepas untuk satu mobil. Sampai akhirnya menemukan jalan buntu menuju danau yang tak bisa dilalui kendaraan. Berjalan kaki sekitar 5 menit, barulah terlihat hamparan rumput jepang menghijau seperti karpet yang lembut. Kontras dengan kondisi jalan setepak yang dilalui tadi.
Hamparan rumput ini dijadikan lapangan golf mini, dengan puluhan bola golf dan beberapa stick pemukul. Beberapa kursi bambu dan kayu ditata alami tapi apik di pinggir danau. Pandangan lalu tertuju pada deretan tenda kerucut ala Indian, sebutannya Teeppee. Konstruksinya bambu dan kayu, dirakit dari kain, dilindungi atap jerami.
Tenda-tenda Teeppee ini terlihat asri dengan panorama danau dan rerumputan saja. Pemiliknya berusaha tidak mengubah bentang sempadan danau. Hanya membersihkan dan membuatnya asri. Menambahkan jalan setapak kayu yang menghubungkan satu area dengan lainnya. Kesan jorok di beberapa sudut lain danau pun sirna. Bahkan ikan-ikan tampak mudah dilihat di danau yang airnya tenang dan cukup jernih sekitar Njung ini.
“Saya suka rumput dan rumah kayu. Awalnya saya hanya menata halaman rumah sendiri tapi kemudian banyak yang bikin tenda di sini,” ujar Komang Sunarso, pria 33 tahun warga Desa Songan B, Batur. Rumah kayu mungilnya terlihat di sisi jalan setapak area ini.
Mulailah ia mendesain tata ruang sempadan danau yang luasnya hanya sekitar setengah lapangan sepak bola ini. Membuat toilet terbuka, menanam rumput lebih banyak, dan meletakkan sejumlah kursi. Karena makin banyak yang datang untuk bermalam, ia menyewakan tenda standar. Namun, gelombang pengunjung terus bertambah karena ketekunannya menata pinggiran danau. Rumputnya rusak.
baca juga : Mencari Lokasi Julia Roberts Mengobati Patah Hati
Sunarso mencoba membatasi kunjungan dengan membuat tenda-tenda ala Teeppee yang dibanderol sekitar Rp400-500 ribu per malam. Cukup mahal hanya untuk sarana tenda dengan kasur dan sarapan saja. Toh 7 unit tendanya laku dan kerap sold-out saat akhir pekan.
“Banyak warga yang underestimate. Setelah melihat langsung baru percaya,” kata Sunarso yang bermimpi pulang kampung dari perantauan saat masih muda dan menikmati hidupnya di desa. Konsepnya sangat sederhana, hanya tenda dengan memastikan kebersihan dan keasrian sempadan danau. Sering terjadi air danau pasang karena pendangkalan makin parah, tendanya seperti mengapung di atas danau.
Padahal menurut Sunarso, area yang ditata adalah kebun sayur dan tutupan gulma di danau. Tiga tahun lalu kumuh, namun kini jadi salah satu wisata alam alternatif di kawasan ini. Kebanyakan sarana akomodasi di Batur, Kintamani adalah penginapan, hotel, dan guest house dengan bangunan solid. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan panorama danau tapi tak merawat kebersihan sekelilingnya.
“Saya menjual rumput, saya tidak mau rumput ini rusak,” urainya. Ia mengaku tak menjual kemegahan kamar seperti akomodasi di Ubud dan Nusa Dua. Tapi kesederhanan, kesunyian menyatu dengan alam.
Sunarso menyadari tak sedikit masalah yang dihadapi desanya kini. Yang paling sering dibahas adalah terdegradasinya kelestarian danau karena beragam eksplorasi. Misalnya keramba budidaya ikan yang membuat sedimentasi dari sisa pakan, kualitas air karena paparan pestisida, sampah, dan lainnya.
“Saya sedang menyiapkan kebun sayur organik, saya akan buktikan bahkan bisa saya jual jadi menu mahal di sini,” seru mantan pemandu wisata ini. Sekali lagi, ia ingin menunjukkan dengan contoh nyata dulu, karena warga lebih bisa diyakini dengan itu bukan sekadar teori dan wacana saja.
menarik dibaca : Sejenak Melepas Kepenatan di Danau Beratan
Ia memantapkan diri balik kampung karena merasa sudah cukup banyak mendengar cerita para orang kaya dari lapangan golf. Suanrso mengaku senang main golf agar bisa mengenal bos-bos di Bali. “Menikmati hidup jangan sehari, tidak perlu mewah,” tambahnya.
Tendanya menggunakan bahan lokal seperti bambu dan kayu-kayu bekas. Insting artistiknya menyulap area sempadan danau jadi indah, danau pun terlihat lebih cantik. Kemewahan Njung adalah udara segar dan pemandangan sekitarnya.
Sunarso merasa usaha pertanian dan pariwisata di kawasan ini kurang terintegrasi. Bahkan berisiko meniadakan satu sama lain. Ini yang ia takutkan. Ia mengisahkan pamannya, seorang petani yang meninggal karena kanker liver. Ia menduga-duga salah satu penyebabnya adalah pestisida yang mengendap atau tersaring di hati. “Orang sini sering menyebut sakit ini ‘basang gede’ karena perutnya membesar,” kisahnya.
Hari mulai petang, kabut makin pekat menutupi bebukitan. Pengelola keramba mengayuh perahunya untuk pulang. Udara mulai dingin. Sebentar lagi api unggun dinyalakan di Njung yang sunyi ini, menambah syahdu suasana.