- Deretan batu karang yang menjulang di pesisir pantai selatan desa Bola kabupaten Sikka, NTT, sejak dahulu hanya dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja oleh masyarakat.
- Sejak 2016, batu-batu karang cadas tersebut mulai ditata dengan menyusun tanah di atasnya lalu dipadatkan sehingga bisa ditanami aneka bunga dan pepohonan.
- Tanah dari tebing bukit di bagian belakang batu karang pun dikeruk untuk menjadi rata sehingga bisa dibangun pondok-pondok yang dipergunakan sebagai tempat wisata.
- Setelah tiga tahun, semua masyarakat desa dan wisatawan terpana menyaksikan karang cadas dan tebing bukit bisa berpadu menjadi sebuah tempat wisata yang ramah lingkungan berada di pesisir pantai menghadap laut lepas selatan pulau Flores.
Senja itu pesisir pantai desa Ipir kecamatan Bola kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), terlihat laut tampak surut. Masyarakat terlihat asyik mencari ikan. Aktifitas ini saban hari terlihat di pesisir pantai selatan yang terkenal ganas karena gelombang besar.
Duduk di depan warung makan miliknya, seorang lelaki tebing-tebing karang curam sepanjang sisi barat pesisir pantai. “Waktu saya melihat ke Tanjung Watukrus saya melihat tempat ini sangat berpotensi utnuk dijadikan tempat wisata. Tempatnya indah kalau ditata,” sebut Vinsensius Ferer (46) kepada Mongabay Indonesia pertengahan Juni 2019.
Fery sapaannya bertekad mengubah batu karang curam menjadi sebuah tempat wisata yang indah. Dirinya terinspirasi dari tempat wisata Tanah Lot di Bali yang sangat indah dan terkenal.
baca : Ini Pariwisata Kerakyatan Ala Pemprov NTT. Seperti Apa?
Pria yang pernah merantau ke Batam dan menetap selama 18 tahun ini pun tergolong penuh kreatfiitas. Sebelumnya dirinya telah sukses menggeluti usaha membuat batako, memelihara babi serta beternak lele. Sebuah warung makan permanen di pesisir pantai pun telah didirikannya.
“Saya ingin menjadikan desa saya menjadi sebuah destinasi wisata yang dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Potensi wisatanya sangat mendukung,” ungkapnya.
Bersusun Tiga
Keinginan menjadikan deretan batu karang menjadi sebuah tempat wisata pun mulai diwujudkan Fery pada 2016. Sendirian, dia memperbaiki batu karang serta menggali tanah dari bukit yang berada persis di atas pondok yang hendak dibuat.
Dirinya pun harus menggali tanah saat membuat jalan menuju lokasi pondok. Jalan sepanjang ± 200 meter ini dibuat persis di tebing batu. Untuk menghubungkan jalan raya dengan pondok dibuatlah jembatan bambu.
“Saya harus menggali tanah di tebing agar bisa memasang bambu. Sementara tiang lainnya ditanam di tebing persis di pesisir pantai. Saya juga harus menyemen untuk membuat pagar-pagar pengaman,” tuturnya.
baca juga : Flores Itu Tak Hanya Pulau Komodo dan Danau Kelimutu
Semua pekerjaan dilakukan Fery sendirian di saat ada waktu senggang. Warga desa menganggapnya sudah gila dan hanya memandang aktifitasnya penuh keheranan. Semua itu tidak membuatnya patah arang.
Pengerjaan pagar-pagar pembatas perlahan mulai dikerjakan dengan penuh kehati-hatian pasalnya pagar pembatas diletakan di atas batu-batu karang yang berbentuk tak beraturan.
Tanah dari bukit yang ada di atas batu karang ini digali dan ditimbun. Konsep bertingkat sengaja dipilih untuk menyesuaikan dengan bukit yang berdempetan dengan batu karang di utara pantai.
“Saya awalnya harus melintasi bukit dari jalan raya sambil memikul semen karena belum ada jalan. Terkadang saya terperosok sehingga saya masih tertahan di bukit semennya sudah jatuh ke laut,” ungkapnya tertawa lepas.
Lantai dasar merupakan areal terbuka yang berada persis di atas gundukan batu karang berbentuk setengah lingkaran. Persis di bawah rerimbunan pandan laut disisi barat dibuat kolam ikan. Airnya disedot dari laut menggunakan mesin pompa.
Lantai duanya berbentuk areal setengah lingkaran ditanami rerumputan hijau. Jarak lantai kedua dengan lantai tiga sekitar 2,5 meter. Batu-batu kali disusun dan diberi semen sebagai penguat agar tanah tidak mudah longsor.
“Saya sengaja membiarkan pohon Pandan Laut (Pandanus tectorius) tumbuh subur di tempat ini agar bisa menjadi pohon pelindung dan peneduh. Rencananya akan saya perluas ke samping kanan lagi dengan memanfaatkan batu karang yang ada,” ungkapnya.
menarik dibaca : Eloknya Puncak Kelimutu, Danau Kawah yang Terus Berubah Warna
Menyatu dengan Alam
Tempat wisata seluas 1.000 m² ini tergolong unik. Lantai tiga dengan tetap berbentuk setengah lingkaran luasnya pun tidak seberapa. Panjangnya ± 7 M dengan lebar ± 5 M. Terdapat 3 pondok dilengkapi meja dan kursi yang terbuat dari semen disusun melingkar.
Atap pondok pun berbahan ilalang. Pondok ini disipakan sebagai tempat bersantai sambil menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan dan bisa dipesan dari restoran milik Fery yang berada di samping jalan raya.
“Kamar mandi dan toilet tergolong unik karena dibuat di dalam tebing yang dilubangi dan dipasangi pintu. Pak Fery orangnya sangat kreatif sekali dan kami tidak menyangka tempat yang terlantar ini bisa disulap jadi tempat wisata menarik,” tutur Martinus Redemtus, warga kecamatan Bola.
Martinus mengaku salut karena butuh waktu 3 tahun untuk membangun tempat wisata ini dengan bekerja seorang diri. Meskipun pembangunan tetap berjalan namun kehadiran tempat wisata ini telah membuat banyak wisatawan tertarik mengunjungi.
Masyarakat kaget setelah menyaksikan tempat ini bisa disulap jadi tempat wisata. Padahal masyarakat menganggap tempat ini angker. Ini sebuah ide dan kerja keras yang patut diteladani.
“Sekarang sudah banyak wisatawan yang datang setiap sabtu dan minggu atau hari libur. Sudah banyak orang juga yang memperkenalkan tempat ini,” ungkapnya.
baca juga : Kisah Kampung yang Tenggelam di Angkernya Danau Koliheret
Fery mengakui hanya memungut bayaran Rp.10 ribu per orang untuk biaya masuk. Sudah banyak wisatawan asing baik dari Jerman, Korea Selatan, Swiss dan Belanda pernah datang ke tempat ini untuk bersantai sambil memandang laut.
Konsep menyatu dengan alam tetap dipertahankan dalam pembangunan lanjutan agar kelestarian pepohonan pandan laut, kelapa, waru dan lainnya tetap terjaga dan terawat dengan baik.
Dijadikan Home Stay
Saat menikmati pisang goreng dan kopi di lopo di lantai atas, Mongabay Indonesia menyaksikan beberapa ekor burung Camar terbang di pesisir pantai. Batu-batu karang tergeletak indah di sepanjang pesisir pantai saat air laut sedang surut.
Terdapat beberapa pohon pepaya yang sedang berbuah ditanam mengitari areal sekeliling lopo. Rumput yang ditanam di areal ini pun mulai menghijau. Setelah dibuka untuk umum 23 Desember 2018 silam, tercatat hampir 1.000 pengunjung datang ke tempat ini.
Fery pun mengakui sedang berkeinginan membangun beberapa penginapan atau home stay di perbukitan. Penginapan ini ditujukan untuk wisatawan yang mau bermalam menikmati keheningan di tempat ini.
Dirinya pun sedang merapikan tanah terjal di perbukitan. Selain itu, dia pun sedang berjuang membuat jalan dari jalan raya mendaki menyusuri bukit dari arah utara hingga ke kafe Tanjung Watukrus ini.
“Saya berencana membuat home stay dan jalan masuk ke tempat ini melewati bukit. Jalan di pantai tersebut saya sewa setahun dari pemilik lahan padahal itu cuma jalan di tebing batu saja,” ungkapnya.
Kebutuhan listrik dan air pun disalurkan dari rumahnya yang berjarak sekitar 250 meter dari tempat wisata ini. Dirinya berharap agar pemerintah bisa membantu modal usaha agar dirinya bisa cepat menyelesaikan mimpinya membangun home stay dan menata lagi tempat ini.
“Saya tidak pernah menyerah untuk terus mencoba sekuat tenaga menjadikan tempat ini menjadi sebuah destinasi wisata yang menarik.Tentunya tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan menggunakan bahan alami,” pungkasnya.