- Kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi 2019 yang menghanguskan ratusan ribu hektar di berbagai pulau di Indonesia, salah satu Jambi, hampir 40.000 hektar. Ratusan ribu warga terdampak, puluhan ribu menderita ISPA di Jambi.
- Pada 2015, Indonesia mengalami bencana karhutla yang berimbas pada jutaan orang. Ada 12 anak-anak meninggal dunia karena asap kebakaran hutan dan lahan. Empat balita di Kalimantan Tengah, tiga di Jambi, satu di Kalbar, tiga di Riau dan satu orang di Sumatera Selatan.
- Karhutla meluas dan asap pekat terutama terjadi di lahan gambut. Dari penanganan kasus kepolisian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, konsesi perusahaan banyak terbakar, terutama di lahan gambut.
- Berbagai aturan tata kelola gambut dibuat tetapi belum bisa mencegah karhutla. Bagaimana soal penetapan fungsi lindung dan budidaya gambut?
Kebakaran hutan dan lahan berulang sejak 1997 hingga sekarang, menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Salah satu daerah rawan karhutla di Indonesia, adalah Jambi, Sumatera. Karhutla berulang di provinsi ini. Pada 2015, selama tiga bulan asap menutupi daerah ini.
Karhutla di Indonesia pada 2015, menghanguskan lebih 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar, sekitar 1,72 juta hektar di lahan mineral dan 891.000 hektar di gambut. Kala itu, Pemerintah Indonesia umumkan total kerugian karhutla mencapai Rp221 triliun.
Kebakaran menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan, 600 juta ton gas rumah kaca lepas karena kebakaran hutan di Indonesia tahun itu. Jumlah itu, kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.
Sekitar 25,6 juta orang terpapar asap dan menyebabkan 324.152 jiwa menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit lain karena asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya.
Ada 12 anak-anak meninggal dunia karena asap kebakaran hutan dan lahan. Empat balita di Kalimantan Tengah, tiga orang di Jambi, satu di Kalbar, tiga di Riau dan satu orang di Sumatera Selatan.
Anak-anak pun terpaksa libur dari sekolah. Di Riau, Jambi dan Kalteng, penerbangan lumpuh.
Kelima daerah menyatakan “darurat asap” hingga perlu upaya negara untuk memadamkan api selama tiga bulan lebih.
Kebakaran menyebabkan kerusakan lingkungan, menimbulkan kerugian masyarakat, bangsa, dan negara. Polusi asap pun bisa mengganggu hubungan regional dan internasional.
Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura.
Tahun ini, kebakaran hebat kembali berulang. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, Januari-Oktober 2019, karhutla di Jambi, diperkirakan sekitar 39.638 hektar, sebagian di lahan gambut. Warga pun banyak jadi korban. Data Dinas Kesehatan Jambi, misal, menyebutkan, hingga September 2019, korban ISPA mencapai 64.147 orang.
Satu sisi, Polda Jambi sudah menyatakan 12 perusahaan menyebabkan kebakaran. Sedangkan menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jambi, tujuh perusahaan disegel, enam perusahaan di lahan gambut. Perusahaan ini pada 2015 juga terbakar.
Kebakaran konsesi perusahaan
Pemegang izin wajib bertanggung jawab terhadap konsesi mereka. Bagi perusahaan yang beroperasi di lahan gambut, selain pengelolaan harus tunduk dengan mekanisme aturan dan regulasi, juga harus mempunyai peralatan mendukung, baik pencegahan maupun penanggulangan. Mekanisme inilah, yang jadi materi dalam pemeriksaan proses hukum.
Sedari awal, problema kebakaran terutama d areal gambut adalah soal pemberian izin. Regulasi masih membolehkan pengelolaan gambut yang terlihat dalam berbagai aturan tata kelola gambut, seperti PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, peraturan Menteri Lingkungan Hidup soal pedoman teknis pengelolaan ekosistem gambut, pengembangan hutan tanaman industri sampai Permentan No. 5/2018 soal pembukaan dan atau pengolahan lahan perkebunan tanpa membakar. Berbagai aturan itu, tak mampu mencegah kebakaran.
UU No. 32/2009, sudah mewanti-wanti agar meletakkan gambut sebagai kawasan unik (ecosystem essensial). Sebagai kawasan unik, gambut haruslah diperlakukan “khusus.” Tidak dapat disandingkan dengan model pengelolaan dengan entitas lain seperti “minyak, panas bumi, sawit, hutan.”
Turunan UU No. 32/2009 seperti PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, Pasal 9 ayat (2) kemudian menyebutkan fungsi gambut, yakni, fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pasal 9 ayat (4) PP No. 71/2014 ,menyebutkan kategori gambut lindung seperti kedalaman tiga meter lebih, terdapat plasma nutfah spesifik dan spesies yang dilindungi.
Pertanyaannya, apakah gambut pada kedalamanan tiga meter merupakan areal aman untuk dikelola?
Dalam istilah lokal di masyarakat, gambut sering disebutkan seperti “tanah redang” (Riau), soak, danau, lopak, payo, payo dalam, bento, hutan hantu pirau (Jambi), rawang hidup, lebak lebung, lebak berayun (Sumsel), tanah sepo’, gente (Kalbar), pakung pahewa, tanah petak, petak sahep (Kalteng), tanah ireng, tanah item (Kalsel), tanah begoyang (Papua).
Tempat-tempat itu tidak dibenarkan untuk dibuka (konversi) baik untuk pertanian apalagi perkebunan. Daerah ini hanya untuk mengambil ikan dan air bersih (akses). Daerah ini kemudian dikenal sebagai “gambut dalam.” Secara keilmuan ditempatkan sebagai kawasan lindung.
Berapa kedalaman gambut lindung berdasarkan praktik di tengah masyarakat ? Pada masyarakat Dayak, dikenal proses mengetahui tekstur tanah. Dengan menancapkan mandau dan kemudian menarik, akan ditentukan apakah daerah itu boleh dibuka atau tidak. Apabila, pada ujung Mandau terdapat tanah, tanah boleh digunakan. Apabila di ujung mandau tidak ada tanah, daerah itu tidak boleh diganggu.
Di Kumpeh, ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Di daerah Hilir Jambi dikenal dengan “dua-tigo mato cangkul” (Perdes Sungai Beras, Tanjabtim). Semua itu bermakna sebagai fungsi lindung dengan rata-rata kedalaman 0,5 meter.
Di daerah lindung gambut inilah, hanya untuk mengambil ikan, air dan pandan serta purun.
Areal lindung masyarakat ini kemudian dianggap sebagai daerah tak bertuan atau tanah liar (woeste grond). Jadi, ketika tanah, hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong, kemudian negara memberikan izin baik kepada perkebunan di areal alokasi penggunaan lain (APL) maupun kepada pemegang konsesi kehutanan (kawasan hutan). Pemberian massif sejak 2006.
Pemegang konsesi kemudian membangun kanal utama (kanal primer), mengeringkan dan menanam sawit jadi daerah-daerah kemudian kering, dan mudah terbakar.
Kebakaran terjadi berulang, pada 2006, 2010, 2011, 2012, 2013, 2015 sampahlah tahun ini, menimbulkan persoalan dalam tataran empiris.
Di Desa Sungai Aur, nama-nama tempat seperti Danau Ara, Danau Selat, Danau Rumbe, Talang Babi, Lubuk Ketapang, Pematang Kerangi, Pematang Kayo, dan Pematang Duren. Juga, Sungai Batanghari, Sungai Sumpit, Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam. Ini adalah tempat-tempat penyedia air untuk tanaman padi, khas payo.
Kebakaran 2015, menghanguskan seluruh areal yang semula ditanami padi kemudian jadi sawit. Padahal, Desa Sungai Aur, terkenal sebagai lumbung padi sebelum kedatangan sawit tahun 2000-an.
Begitu juga di Desa Kota Kandis Dendang, dikenal tempat seperti Hutan Hijau, Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung Pematang Sirih, Ujung Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).
Berdasarkan, data-data empiris berangkat dari praktik pengetahuan di desa sekitar gambut– sebagai daerah budidaya gambut berdasarkan regulasi negara–adalah daerah lindung yang harus kembali ke fungsinya. Ia harus kembali basah atau lakukan restorasi gambut.
Jadi, penetapan fungsi lindung dengan kategori kedalaman tiga meter terbantahkan dengan kebakaran massif yang berulang hingga 2019. Regulasi menetapkan kedalaman tiga meter harus sesuai tipologi gambut. Dari kebakaran berulang dan praktik pengetahuan di tengah masyarakat, regulasi mestinya menetapkan kedalaman gambut 0,5 meter sebagai fungsi lindung, sesuai praktik masyarakat gambut yang turun temurun.
Bukankah Pasal 11 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) PP No. 57/2016 soal perubahan atas peraturan pemerintah nomor 71/2OI4 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, sudah mengamanatkan perubahan fungsi. Fungsi budidaya kembali ke fungsi lindung. Menteri kemudian dapat melakukannya, sesuai Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 57/2016. Bagi pemegang izin berkewajiban untuk memulihkan gambut. Mandat tegas dinyatakan dalam Pasal 30 ayat 1 PP No. 57/2016 junto Pasal 31A PP No. 57/2016.
*Penulis adalah pegiat lingkungan dan advokat di Jambi. Tulisan ini merupakan opini penulis pribadi.
Keterangan foto utama: Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia