- Puluhan jenis ayam dengan ciri khusus dipamerkan dalam eksebisi pelestarian ayam Bali
- Satwa domestik ini menjadi bagian penting kehidupan orang Bali, dari ritual sampai komodifikasinya
- Apung, warga pecinta dan pelestari ayam membuat pameran dan diskusi agar warga mempelajari dan terlibat melestarikan ayam-ayam untuk upacara adat dan agama
- Tiap ritual memerlukan jenis dan ciri khusus sesuai jenis upacara dan maknanya
Puluhan ekor ayam jantan dipamerkan di halaman luar sebuah pura di Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali. Puluhan orang pembudidaya ayam dan jaringannya berkumpul menunjukkan ayam-ayam kesayangannya.
Pameran Pelestarian Ayam Bali ini dihelat untuk kali pertama pada 15 Oktober lalu, diinisiasi Apung, pria pelestari ayam yang menekuninya sejak 1993. Ia adalah salah satu pria yang paling dicari warga yang hendak menghelat ritual adat dan agama Hindu, untuk mendapatkan jenis ayam dengan ciri khas khusus.
Tak hanya para pembudidaya atau pembiak ayam. Tiap sudut kebun pisang dan kelapa yang dibersihkan dan ditata sehingga resik dan indah ini ada sejumlah warga dalam lingkaran ekosistem ayam Bali ini.
Misalnya ada Kadek Sasmitari, perempuan tengah baya dari Klungkung. Ia menjalin pelepah pohon pisang yang sudah menua menjadi tali. Pelepah pisang yang ringkih, dipintal dengan alat sederhana dari kayu sehingga jadi lebih solid dan kuat. Ia juga memintal ijuk pohon kelapa dan enau menjadi tali.
Pekerjaan yang langka saat ini. Itulah yang membuat Kadek diundang, selain ia juga membantu memelihara sejumlah ayam yang berhasil dibiakkan dengan ciri khusus. Kedua jenis tali alami itu tak tergantikan di kalangan pecinta ayam. Tali-tali ini digunakan mengingat kandang, wadah ayam dari anyaman daun kelapa (kisa), dan lainnya.
baca : Ayam Cemani, Harga Selangit dan Dibunuh Hanya Gara-gara Mitos
Ada juga Wayan Kuat yang tekun menganyam daun kelapa menjadi anyaman wadah ayam atau di Bali disebut kisa ini. Pria lanjut usia ini cekatan mengubah setangkai daun kelapa menjadi anyaman dalam waktu singkat. Bentuknya seperti dompet besar namun terbuka di kedua sisinya agar kepala dan ekor ayam bisa leluasa.
Di pojok lain ada komunitas pelukis cat air yang khusus berkarya on the spot, langsung di lokasi peristiwa atau objek lukisan mereka. Sejumlah pelukis merespon situasi sekitarnya ke dalam kanvas. Rudita, melukis seorang kakek sedang membawa ayam putih. Ayam ini berbulu putih di keseluruhan kulit dan bulunya, berjambul merah, dan pembawaannya tenang.
Ayam putih adalah jenis yang kerap dibutuhkan dalam sarana ritual. “Seputih sangkur sandeh. Ayam saya S3, ini sulit sekali bikinnya,” seloroh Mangku Sandi, seorang breeder dari Kabupaten Buleleng menunjuk ke sebuah kurungan. Artinya ayam yang seluruhnya putih, tidak berekor (sangkur), dan berkuncir (sandeh). Ia mengambil ayam S3 dari kandangnya dan memeluknya sayang. Sejumlah pengunjung bertanya berapa harganya. Mangku mengelak sambil mengajak berhitung biaya pemeliharaan khusus selama tiga tahun. Ia belum tertarik menjualnya.
Para pembiak ini berpengalaman mengawinkan ayam untuk mendapatkan jenis atau ciri khas tertentu. Namun tak selalu berhasil. “Hasilnya tidak pasti seperti induknya. Setelah percobaan kesekian mungkin baru berhasil,” tuturnya. Ayam kesayangan Mangku lainnya adalah brumbun jangkepan, lahir dari induk berbulu hitam, bapaknya berbulu merah. Hasilnya ayam berbulu putih, merah, abu-abu. Ia akan memeliharanya sampai akhir hayat si ayam.
“Warga paling banyak nyari ayam-ayam seperti ini untuk upacara, karena diperlukan yang spesifik warna dan tanda-tandanya,” lanjut Mangku. Misalnya untuk mebayuh atau penyucian diri. Hobinya membudidayakan ayam pun sangat berguna untuk orang lain. Harga ayam termurah yang dipeliharanya adalah Rp750 ribu. Jenis ayam lain adalah burik, ijo sliwah (kakinya beda warna, satu kuning dan lainnya hitam).
baca juga : Pecinta Satwa Ajak Pebisnis Kuliner Tak Pasok Ayam Petelur dari Kandang Baterai
Dedikasi Apung
Ayam di Bali melingkupi tiga hal yakni etis, estetis, dan relijius. Putu Gede Paramadipa Medjana yang populer dengan nama Apung ini mengatakan populasi ayam Bali berkurang tapi terus dibutuhkan untuk upakara. Inilah yang mendorongnya membuat eksebisi pelestarian ayam Bali ini, tajuknya Apung Thanks to Bali.
Ia menyontohkan, jenis putih sekedas sangkur sandeh, sudamala, dan sliwah. Tiga jenis ayam dengan ciri khas khusus dan warna bulu yang diperlukan di ritual-ritul tertentu. Menurutnya belum banyak warga mengetahui ayam Bali seperti apa, kenapa terjadi kelangkaan, dan bagaimana solusinya.
Pada sebuah sesi diskusi tentang Ayam Bali di Taman Baca Kesiman pada 20 Oktober lalu, Apung juga berkisah soal perjalanannya sebagai pelestari. Ketika kecil ia pulang kampung ke Karangasem, timur Bali. Di bus ia melihat banyak hewan ternak, salah satunya ayam. Tiba di kampung, ia segera ingin memelihara seekor ayam yang disukainya. Tidak mudah karena orangtuanya tidak mendukungnya.
Sampai akhirnya ia mendapatkan keinginannya, ayam pertama. “Saya sayangi, sembunyikan di belakang sanggah (tugu sembahyang) biar tak dipotong,” ingatnya. Di rumah, memelihara ayam tak mudah karena orangtuanya gemar berkebun, dan ayamnya kerap ditimpuk karena berkeliaran.
Sejak 1993 ia tekun memelihara ayam, tak terhitung jumlahnya. Dari hanya menyukai jadi pembelajar, dan pembiak untuk menambah keberagaman jenisnya. Seiring makin banyak jenis ayam yang dipelihara, makin banyak orang ke rumahnya untuk mencari ayam keperluan sarana upacara agama. Ia penasaran, dan mempelajari sejumlah buku dan lontar terkait keberadaan ayam dalam kehidupan ritual di Bali, seperti Lontar Pengayam-ayam dan Wraspati Kalpa. Di buku-buku itu hanya dijelaskan ciri-cirinya, tidak ada gambar, jadi Apung mencoba memvisualisasikan dengan upaya pembiakan.
Caranya dengan menyilangkan. Setelah bertelur, anaknya disilangkan lagi, prosesnya lama, sampai menemukan ciri yang dicari. “Saat mengawinkan ayam, jika anakan pertamanya langsung prosentasenya besar, itu mendekati ras murni,” jelas Apung.
baca juga : Bagaimana Nasib Hewan yang Terdampak Awas Gunung Agung?
Di acara ini, ia mengajak pembiak lain dari 8 kabupaten di Bali dan warga yang dititip untuk membudidayakan. Sarjana Pertanian ini juga mengajak warga yang memiliki sejumlah kebun untuk menjaga lahannya. Salah satu caranya, mengajak memelihara ayam hasil budidaya ini.
Apung menunjukkan seekor ayam kesayangannya, dan tidak dijual. Ayam dengan variasi warna dan ciri khusus, wok (berjenggot), sandeh (kuncir di leher bagian belakang), jambul (kuncir di atas kepala), godeg (kaki berbulu), dan dimpil (tambahan jari kaki).
Karena pengalamannya, ia kerap diundang untuk mendiskusikan soal ayam, terutama orang asing. Pertanyaan terbanyak misalnya, kenapa ayam diperlakukan tidak baik di Bali, misalnya jadi caru (korban di upacara agama), dan tajen (adu ayam). Ia menjawab taktis, keperluan upacara kan sedikit, dibanding francise ayam goreng.
“Ayam yang saya sayangi kok diminta untuk dipotong atau jadi caru. Tapi setelah dikasi tahu saya ikhlas karena itu namanya beryadnya. Perbuatan baik. Saya berikan untuk kebaikan orang lain,” ingatnya soal memori masa remajanya.
Para pembiak ayam pun mulai berlomba-lomba mencari cara untuk mendapatkan ayam ciri khusus, mendekati induknya. Ayam juga menjadi simbol sembilan mata angin, dicirkan dari warna bulunya. Ada ayam selatan, ayam klawu di timur laut berwarna abu-abu, dan lainnya.
Manusia Bali sejak lahir sampai meninggal memerlukan ayam. “Tapi banyak orang Bali tidak tau maknanya. Ayam energinya besar, baru bangun sudah cari makan,” tutur Apung. Karena energi ini pula, ayam dikomoditaskan di arena-arena sabungan ayam.
Ida Ratu Pedanda Ishana Manuaba, seorang pemimpin ritual agama menjelaskan kegunaan ayam dalam agama Hindu paling banyak untuk caru (upacara Pitra Yadanya). Caru berasal dari kata car, artinya harmonis, upaya mengharmoniskan energi dalam diri dan sekitar (mikrokosmos) dengan semesta (makrokosmos) dengan sarana ayam.
Menurutnya program pelestarian ayam Bali ini sangat bagus, karena sejak 2002 menginginkan hal ini untuk pelestarian dan penghormatan semesta. Ida Ratu mengatakan sebelum kenal Apung, kesulitan mencari ayam khusus untuk sarana ritual. Dalam tiap lontar yadnya menurutnya pasti ada penggunaan ayam tertentu, misal Sri Purana dan Sunari Gama.
Terkait tajen, Ida Ratu menyebutnya sebagai bagian dari budaya, harus dilestarikan. Namun jika difokuskan ke judi jadi tidak bermanfaat. “Sebagai hiburan, dilaksanakan sesuai pakem. Seperti tarian. Misalnya memakai pakaian adat, dilaksanakan saat pecaruan, tidak lebih dari 3 sabungan,” paparnya. Jika melebihi itu sudah overdosis sama dengan minum.