- Para peneliti dari Australia dan Indonesia berkolaborasi menghitung sampah mikro dan makro di sejumlah titik jalur megafauna seperti hiu paus dan pari manta.
- Dengan sejumlah metodelogi, disimpulkan jumlah serpihan plastik yang bisa tertelan satwa laut ini.
- Akumulasi sampah laut ini juga banyak ditemukan di pulau-pulau tanpa penghuni.
- Musim hujan adalah akumulasi sampah di laut terbanyak dan direkomendasikan sejumlah hal untuk mencegah.
Megafauna seperti paus dinyatakan sebagai satwa yang berpengaruh pada penyerapan karbon di laut. Selain mengurangi karbondioksida, juga menyuburkan pitoplankton. Namun, satwa ini makin terancam polutan plastik di laut.
Sebuah penelitian terbaru menyatakan puing-puing plastik dan mikroplastik ditemukan di semua tempat mencari makan untuk pari manta dan hiu paus di Indonesia, di area Segitiga Terumbu Karang (coral triangle). Megafauna itu tak bisa membedakan atau memilih makanannya, sehingga serpihan plastik dan mikroplastik termakan.
Studi kolaboratif yang dipublikasikan 19 November dalam jurnal Frontiers in Marine Science, menemukan bahwa pari manta dapat menelan hingga 63 buah plastik setiap jam yang dimakan di perairan Nusa Penida dan Taman Nasional (TN) Komodo. Hiu paus, yang secara musiman mengumpul di perairan Jawa, dapat menelan hingga 137 buah plastik per jam.
Publikasi ini melengkapi riset awal mereka yang pernah ditulis Mongabay Indonesia pada 2016.
Peneliti biologi kelautan dari Marine Megafauna Foundation, Murdoch University (Australia) Udayana University (Indonesia) berkolaborasi mengestimasi jumlah plastik yang terdapat di perairan Nusa Penida (Bali), TN Komodo (NTT), dan Pantai Bentar (Jawa Timur). Berdasarkan estimasi tersebut, dapat dikalkulasikan jumlah plastik yang dapat ditelan oleh pari manta dan hiu paus. Spesies tersebut menyaring air kaya nutrien melalui insangnya selama mereka berenang.
baca : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini…
Temuan awal ini menunjukkan bahwa pari manta dan hiu paus kemungkinan tidak dapat memilih serpihan plastik selama proses makan. Mereka secara teratur menelan bahan plastik di daerah dengan kepadatan tinggi permukaan plastik, tetapi mungkin dapat mengeluarkan setidaknya sebagian dari apa yang tertelan melalui regurgitasi atau melewatinya dalam kotoran.
Pengambilan sampel pukat (trawl) memungkinkan peneliti memperkirakan tingkat konsumsi plastik pari manta dan hiu paus di lokasi penelitian ini. Perkiraan kelimpahan serpihan plastik sesuai dengan perkiraan model saat ini (Maximenko et al., 2012; Eriksen et al., 2014; van Sebille et al., 2015), tetapi berbeda antara lokasi dan lebih tinggi selama musim hujan dibanding musim kemarau.
Gede Hendrawan, peneliti Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana yang menjadi bagian tim kolaboratif ini menjelaskan metode penelitiannya. Pertama, untuk mengukur mikroplastik yang termakan di perairan menggunakan trawl, pukat yang ukuran jaringnya 200-300 mikrometer.
Ada yang berbentuk lingkaran mulutnya sekitar 30-50 cm. Agar bisa menangkap sampah ukuran mikro di bawah 5 milimeter (mm). “Trawl ada yang ditarik dengan boat, lalu diulang tiga kali untuk memastikan kelimpahan mikroplastik,” jelasnya saat diwawancarai Kamis (5/12/2019).
Karena tujuan utamanya untuk menjawab apakah daerah makannya tercemar atau tidak dan potensi pari manta dan hiu paus terpapar mikroplastik, maka ada metode kedua dengan membawa trawl sambil berenang ke pantai. “Seolah trawl ini mulutnya manta. Pari Manta kan filter feeder menyaring seluruh air di mulutnya. Untuk memastikan mikroplastik yang tertelan,” lanjut Hendrawan.
Kesimpulannya, pada musim hujan lebih banyak mikro dan makroplastik yang tertelan, namun jumlahnya di tiap daerah beda. Plastik yang terdampar dan masuk perairan saat musim hujan, jumlahnya lebih tinggi dibanding kemarau. “Sangat erat kaitannya dengan run-off dari darat, ketika musim hujan, ada pembersihan di daratan terbawa ke laut. Konsentrasi sampah lebih tinggi di daerah pesisir,” jelasnya. Di Nusa Penida misalnya, mekanisme angin barat ke Samudera Hindia membawa sampah sekitar kepulauan ramai wisatawan ini. Volume sampah di laut ini bisa bertambah dari sampah penduduk sekitar yang terbawa ke laut.
baca juga : Riset Membuktikan Ini Jenis Sampah Laut Terbanyak di Pesisir Bali
Tahun ini musim hujan datang terlambat. Dibanding tahun lalu, menurut Hendrawan, jumlah plastik di perairan saat ini tak sebesar sebelumnya. Namun, saat musim hujan nanti, ia mewanti-wanti paparan sampah di sejumlah perairan yang berdampak pada satwa laut.
Misalnya di selatan Bali adalah jalur migrasi mamalia laut seperti lumba-lumba, paus, manta, dan penyu. Jika produksi sampah plastik 330 ribu ton tiap tahun seperti riset sebelumnya di Bali, maka risiko cemaran di laut masih tinggi. Tak hanya sampah dari Bali dan Jawa juga dari negara lain yang terbawa Samudera Hindia. Sementara di pesisir timur seperti Denpasar dan Klungkung jika tak ada perbaikan pengelolaan sampah maka yang terdampak kepulauan Nusa Penida.
Tiga lokasi terpisah di Jawa dan Pulau Sunda Kecil di Indonesia yang sering dikunjungi dengan memberi makan pari manta dan hiu paus dipilih sebagai lokasi studi. Teluk Manta atau Manta Bay (MB) di dalam Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida (MPA) di tenggara Pulau Bali dan Karang Makassar (KM) di kawasan tengah TN Komodo (NP), Flores. Pantai Bentar (PB), sebelah tenggara Probolinggo, Jawa Timur adalah tempat mencari makan hiu paus musiman (Desember-Maret).
Para peneliti mengevaluasi kelimpahan plastik dan mengelompokkan serpihan plastik dari tempat makan untuk pari manta Mobula alfredi dan hiu paus Rhincodon typus di tiga lokasi pantai tersebut. Jaring 200 μm plankton net digunakan untuk mengambil sampel 0,5 m bagian atas kolom air (survei pukat) dan plastik apung sepanjang 40.440 m transek panjang (survei visual) selama barat laut Indonesia (basah) dan musim hujan tenggara (kering) selama 2016–2018. Kelimpahan plastik mencapai 44 kali lebih tinggi di musim hujan daripada musim kemarau, dengan efek musiman terbesar terlihat di Nusa Penida.
Hendrawan mengatakan Pulau Komodo relatif daerah yang jauh dari kepadatan penduduk, namun mekanisme perairan di utara Nusa Tenggara memberi dampak pada paparan plastik di perairannya. “Survei kami ke pulau-pulau kecil dari Lombok ke Pulau Komodo saat 2018 ditemukan banyak sampah plastik di pulau kecil tanpa penduduk,” sebutnya.
Perkiraan emisi polusi dari sungai-sungai mendukung kelimpahan plastik relatif lebih tinggi selama musim hujan Indonesia (November-April). Faktor-faktor selain musim, seperti kepadatan populasi dan proses oseanografi lokal, mempengaruhi kelimpahan puing-puing plastik di laut.
“Sekitar 80% plastik di laut dari daratan, sungai sebagai jalur masuk. Idealnya tidak buang sampah ke sungai, kalau bocor ke lingkungan, sungai jadi target,” lanjut Hendrawan.
perlu dibaca : Sampah Plastik Bertebaran di Laut, Teknologi Pirolisis Terus Dikembangkan
Feses satwa laut
Penulis utama riset ini Elitza Germanov, seorang peneliti di Marine Megafauna Foundation dan kandidat PhD di Murdoch University mengingatkan seiring waktu, plastik akan terpecah-terpecah, dimana pecahan plastik tersebut disebut mikroplastik. “Pari manta dan hiu paus dapat menelan mikroplastik secara langsung dari air yang tercemar, atau secara tidak langsung melalui makanan mereka, plankton yang telah terkontaminasi,” sebutnya dalam siaran pers.
Plastik tipis dan dapat ditekuk dari plastik sekali pakai dan packaging, serta plastik keras merupakan plastik yang paling umum ditemukan (lebih dari 50% digabungkan). Dari seluruh plastik ditemukan, sekitar 80% berukuran lebih kecil dari 5mm, yang disebut mikroplastik.
Feses dan muntahan pari manta juga dites dan positif terdapat plastik. Hal tersebut mengartikan bahwa plastik mudah ditelan ketika binatang melakukan proses filter feeding dan kemungkinan mengekspos binatang tersebut terhadap kimia berbahaya dan polutan yang terdapat di plastik saat plastik tersimpan di sistem pencernaannya. Substansi toksik dapat terakumulasi selama beberapa dekade dan mengubah hormon yang mengontrol metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan, dan fungsi reproduktif binatang. Partikel plastik yang lebih besar dapat menyumbat absorpsi nutrien dan merusak saluran pencernaan binatang.
Neil Loneragan, Profesor Ekologi Laut dan Konservasi di Murdoch University menambahkan tak mudah menilai seberapa banyak plastik yang ditelan pari manta dan hiu paus. Dikarenakan metode konvensional untuk mempelajari diet binatang seperti analisis perut, tidak cocok untuk spesies terancam seperti mereka.
Pari manta dan hiu paus juga satwa yang terancam secara global akibat tekanan dari overfishing. Kedua binatang tersebut seringkali terlilit dan tersangkut pada jaring dan tali pancing ikan.
baca juga : Menagih Peran Para Pihak Tangani Sampah Plastik di Laut
Para peneliti ini mendukung peraturan untuk memberhentikan penggunaan plastik sekali pakai, sedotan dan bungkus makanan walaupun regulasinya belum terimplementasi secara maksimal dan belum mencapai bisnis-bisnis kecil.
Dengan proyeksi produksi plastik akan meningkat secara global, penelitian berikutnya perlu diutamakan pada kawasan pesisir dimana pencemaran banyak ditemukan di kawasan feeding dan breeding ground binatang-binatang besar tersebut. Banyak daerah seperti KKP Nusa Penida dan TN Komodo merupakan titik biodiversitas penting dan padat wisatawan,
Penelitian lapangan ini didukung oleh Ocean Park Conservation Foundation, PADI Foundation, Foundation FortUna, Mantahari Oceancare, Arenui Boutique Liveaboard, Current Junkies Liveaboard, Happy Days yacht, Scuba Junkie Komodo, Wunderpus Liveaboard, dan dilaksanakan di bawah izin Ristekdikti.