- Seekor Paus Sperma sepanjang 11 meter terdampar mati di pantai Babarru, Desa Bowombaru, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Informasi berasal masyarakat setempat, Kamis (9/1/2020). Ketiadaan alat berat membuat evakuasi mamalia laut itu baru bisa dilakukan pada Sabtu (11/1/2020).
- Saat evakuasi paus itu, sekaligus disosialisasikan tentang perlindungan paus sperma yang merupakan satwa dilindungi kepada masyarakat setempat. Harapannya pengetahuan dan kesadaran masyarakat semakin meningkat, serta dapat melibatkan diri dalam pelestarian biota laut tersebut.
- Fenomena mamalia laut terdampar telah berlangsung selama beberapa tahun belakangan di perairan Sulawesi Utara. Bahkan, menurut catatan BPSPL wilker Manado, hampir tiap 2 tahun sekali terdapat siklus mamalia laut terdampar di wilayah Nusa Utara.
- Fenomena itu membuat jejaring informasi menjadi penting. Selain itu, edukasi dan pelibatan masyarakat merupakan cara lain yang dipandang dapat mengoptimalkan proses evakuasi mamalia laut terdampar.
Seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) terdampar dalam keadaan mati di sekitar pantai Babarru, Desa Bowombaru, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Fenomena itu diketahui berdasarkan informasi masyarakat setempat pada Kamis (9/1/2020). Beberapa hari setelahnya, Sabtu (11/1/2020), aparat berwenang melakukan penguburan bangkai biota laut tersebut.
Pitron Maalua, Koordinator Satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Kepulauan Talaud ketika dihubungi Mongabay Indonesia menceritakan, pihaknya tiba dilokasi kejadian pada hari Jumat (10/1/2020) untuk melakukan identifikasi dan pengukuran morfometrik. Diketahui, paus sperma itu berjenis kelamin betina dengan panjang 11,10 meter.
Selain itu, kehadirannya di lokasi merupakan upaya untuk mengedukasi masyarakat sekitar untuk tidak dimemanfaatkan bagian tubuh paus atau melakukan tindakan-tindakan tak patut. Sebab, dia menilai, masyarakat masih minim pengetahuan terkait cara memperlakukan satwa laut dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati.
“Kami harus cepat turun lapangan karena kemarin ada masyarakat yang berfoto sambil berdiri di tubuh paus. Itu tidak boleh. Karena ini termasuk satwa dilindungi yang harus diperlakukan dengan baik,” terang Pitron, Jumat (10/1/2020).
baca : Seekor Paus Sperma Terdampar Mati, Giginya Hilang
Meski demikian, proses pemusnahan bangkai paus baru bisa dilakukan keesokan harinya setelah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Talaud meminjamkan alat berat untuk proses evakuasi. Melalui alat berat tersebut, bangkai paus dikubur pada lubang sedalam sekitar 2 meter.
Dalam kesempatan itu, Pitron kembali mensosialisasikan tentang perlindungan paus sperma pada sekitar 70 orang warga yang hadir di lokasi penguburan bangkai. Dia berharap kesadaran masyarakat semakin meningkat, serta terlibat dalam pelestarian biota laut tersebut.
“Kami berharap, masyarakat tidak lagi membongkar untuk memanfaatkan bagian-bagian tubuh paus. Karena paus sperma ini termasuk mamalia laut yang dilindungi,” ujar Pitron.
baca juga : Mengerikan, Paus Sperma Mati dengan 100 kg Sampah Plastik Diperutnya
Siklus Terdampar dan Edukasi Masyarakat
Fenomena mamalia laut terdampar, hidup maupun mati, telah terjadi di perairan Sulawesi Utara dalam kurun beberapa tahun belakangan. Karenanya, otoritas berwenang terus berupaya memperkuat keterlibatan masyakat, khususnya dalam mengevakuasi mamalia laut terdampar, seperti paus.
Mohammad Yasir, Koordinator Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) wilayah kerja Manado menyebut, sejak tahun 2010 terjadi sekitar 20 kasus fenomena mamalia laut terdampar di perairan Sulut. Bahkan, yang lebih menarik, hampir tiap 2 tahun fenomena itu berulang di wilayah kepulauan Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud dan Kepulauan Siau Tagulandang Biaro).
“Di wilayah Nusa Utara, pada 3 Maret 2016 ada paus pilot terdampar, pada 2017 dugong (terdampar), 11 Januari 2018 paus pilot (terdampar). 2020 ini muncul lagi,” ujar Yasir.
Rentetan fenomena tersebut mendorong BPSPL Wilker Manado untuk terus menggiatkan edukasi pada masyarakat. Tahun lalu, kata Yasir, pihaknya sempat mengadakan pelatihan dan membuat jejaring penanganan mamalia laut terdampar.
Jejaring tersebut ditujukan untuk mempercepat distribusi informasi, serta upaya melibatkan masyarakat dalam menangani mamalia laut terdampar. Apalagi beberapa kali fenomena mamalia laut terdampar terjadi di lokasi yang agak jauh. Sehingga koordinasi antara berbagai pihak dipercaya dapat memudahkan proses evakuasi mamalia laut terdampar.
“Jejaringnya memang masih agak terbatas, tapi nanti akan ada tindak lanjut lagi. Kami sudah punya nomor quick respons. Kalau lokasinya dekat kami biasanya langsung melakukan penanganan. Tapi kalau jauh, kami komunikasikan dengan dinas di daerah (DKP),” tambah Yasir.
perlu dibaca : Paus Sperma Kerdil ini Mati dalam Penyelamatan
Stephen Robert, koordinator Search, Rescue, Casualty Evacuation and Logistics program Scientific Exploration in Manado Bay sambil mengutip data KKP tahun 2018, mengatakan, Sulawesi Utara berada di urutan kedua wilayah mamalia laut terdampar.
“Fenomena paus sperma terdampar di Sulut terjadi pada tahun 2014 di Manado dan Minahasa, 2016 di Minahasa Utara, Minahasa Selatan juga Siau, 2017 di Tahuna, Sangihe dan Minahasa Selatan,” katanya merunut.
Stephen menilai, edukasi menjadi penting agar masyarakat dapat berkoordinasi memahami standar penanganan mamalia laut terdampar, serta melakukan penanganan secara aman. Selain itu, otoritas berwenang dipandang perlu membentuk forum masyarakat di seluruh kabupaten atau kota di Sulawesi Utara.
“Sehingga melalui forum di tiap daerah, data dan kebijakan mamalia laut terdampar dapat tersedia,” tambahnya.
baca juga : Setelah Terjebak Hampir Sebulan, Hiu Paus Paitonah Berhasil Diselamatkan
Sekar Mira, Peneliti Mamalia Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menerangkan, di tingkat pusat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengadopsi program penanganan mamalia laut terdampar. Sejumlah simpul di daerah sempat dibentuk, namun untuk menjaga keberlanjutan pengetahuan, perlu edukasi lebih lagi pada masyarakat sekitar.
Melalui edukasi yang baik, kata Sekar, masyarakat dapat mengetahui tahap stabilisasi, menjaga suhu tubuh mamalia laut, serta mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. “Karena pada banyak kasus, masyarakat berniat baik menolong mamalia laut terdampar, tapi penanganannya salah.”
“Perlu kerjasama berbagai pihak, tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah saja. Sangat bergantung dari siapa yang paling dekat dan bisa mengakses lokasi kejadian,” ujar Sekar.
Selain itu, maraknya fenomena mamalia laut terdampar di Indonesia dinilai membuka peluang untuk melakukan kajian mengenai faktor yang mendorong peristiwa tersebut.
“Jika kita bisa menganalisa, mungkin bisa lebih bermanfaat dan mengetahui bencana apa yang menimpa mereka, apakah laut ada polusi yang cukup masih di perairan kita, apakah ada overlapping antara habitat biota dengan aktivitas manusia yang mengganggu mereka,” pungkas Sekar.