- Perambahan untuk perkebunan dan pembalakan liar masih terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]
- Data Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menunjukkan, TNGL di wilayah Provinsi Aceh hingga Desember 2019 telah kehilangan tutupan hutan seluas 34.277 hektar.
- Pengamanan dan pengawasan hutan harus ditingkatkan agar kegiatan ilegal di TNGL dapat dicegah.
- Taman Nasional Gunung Leuser bersama Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], dijuluki sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera oleh Komite Warisan Dunia pada 2004, karena keanekaragaman hayatinya yang luar biasa.
Kegiatan ilegal di dalam Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] masih terjadi. Aktivitas seperti perambahan untuk lahan perkebunan dan pembalakan hampir terjadi di kawasan yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk.
Data Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menunjukkan, dari 625,115 hektar luas Taman Nasional Gunung Leuser di Provinsi Aceh, hingga Desember 2019 yang tersisa hanya 590,838 hektar. Artinya, TNGL telah kehilangan tutupan hutan mencapai 34.277 hektar.
Di Kabupaten Gayo Lues, jumlah tutupan hutan TNGL yang hilang pada 2019 mencapai 355,11 hektar, sementara di Kabupaten Aceh Tenggara [191,80 hektar], Aceh Selatan [22,50 hektar] dan Aceh Barat Daya [5,22 hektar]. Data tersebut merupakan hasil interpretasi citra satelit yang kemudian dianalisis dengan batas Taman Nasional Gunung Leuser.
Baca: Hutan Leuser Rusak Akibat Perambahan dan Pembalakan Liar

Dedi Wahyudi, warga Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, pada akhir September 2020 mengatakan, pembalakan liar dan perambahan terjadi hampir di semua desa yang berbatasan langsung dengan TNGL.
“Seperti di Kecamatan Darul Hikmah, Lawe Alas, dan Kecamatan Leuser, aktivitas itu berlangsung hampir setiap hari. Hanya berhenti kalau hujan,” ujarnya.
Dedi menambahkan, pembalakan memang terjadi dalam skala kecil. Kayu yang ditebang oleh setiap kelompok logger tidak dalam jumlah banyak, akan tetapi terus menerus.
“Kalau dihitung, dalam sehari lebih dari 100 meter kubik keluar dari TNGL. Bila setiap hari seperti ini pastinya akan menggundulkan hutan.”
Dedi mengatakan, penyebab utama pembalakan dan perambahan di TNGL, khususnya di Kabupaten Aceh Tenggara adalah, karena kurangnya pengamanan.
“Penangkapan hanya dilakukan beberapa kali dan yang diamankan baru pelaku lapangan. Pembeli maupun penampung kayu, sejauh ini belum tersentuh hukum,” terangnya.
Baca: Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser

Gayo Lues
Di Kabupaten Gayo Lues, perambahan dan pembalakan liar di TNGL terjadi di Kecamatan Putri Betung. Kecamatan yang terdiri 13 desa ini, sebagian besar wilayahnya berada di TNGL.
Tahun 2019, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan empat Kelompok Tani Hutan Konservasi [KTHK] di Kecamatan Putri Betung.
KTHK Aih Gumpang, KTHK Aih Kais, KTHK Aih Nuso, dan KTHK Gunung Kemiri, sepakat melakukan penguatan fungsi hutan guna pemulihan ekosistem di TNGL.
Baca: Aceh Kehilangan Tutupan Hutan, HAkA: Sehari 41 Hektar

Kepala Balai Besar TNGL, Jefry Susyafrianto mengatakan, kerja sama kemitraan konservasi bertujuan untuk memulihkan areal terdegradasi. Juga, sebagai resolusi konflik penanganan permasalahan perambahan. Kerja sama berlangsung lima tahun, melibatkan 298 kepala keluarga dengan luas areal kemitraan 550 hektar.
“Polanya dengan partisipatif pelibatan kelompok masyarakat/petani yang melakukan penggarapan di dalam kawasan TNGL,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Baca jugaa: Situs Warisan Dunia Masih Berstatus Bahaya, Bagaimana Nasib Leuser?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh pernah mendesak penegak hukum, khususnya Polda Aceh untuk turun tangan menindak para pembalak liar yang beroperasi di TNGL.
“Illegal logging terus terjadi. Ini membuktikan pengamanan dan pengawasan hutan harus ditingkatkan, sehingga Polda Aceh harus melakukan penindakkan agar kayu-kayu di TNGL tidak lagi ditebang,” terang Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, baru-baru ini.
Muhammad Nur mengatakan, Harus ada operasi gabungan semua penegak hukum untuk memberantas kejahatan lingkungan itu. “Pengamanan harus benar-benar dilakukan, tujuannya agar tidak terjadi lagi di masa mendatang,” paparnya.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan bagian Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], hutan tempat lebih 4,5 juta orang menggantungkan hidup, sekaligus penyedia air bersih.
Taman Nasional Gunung Leuser bersama Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dijuluki Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera oleh Komite Warisan Dunia pada 2004.
Tiga taman nasional ini ditetapkan sebagai warisan dunia karena alamnya yang luar biasa. Yaitu tempat berlangsungnya proses ekologi dan biologi dalam evolusi perkembangan ekosistem beserta keanekaragaman hayatinya yang mengagumkan.
Namun, akibat tingginya ancaman perburuan satwa, perambahan, pembalakan liar, ekspansi perkebunan monokultur dan pembangunan jalan, tiga taman nasional ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia dalam Bahaya [List of World Heritage in Danger], pada 22 Juni 2011.