- Ramadhan, sebagai bulan suci, menahan segala nafsu, dan bulan mengevaluasi diri untuk menjadi pribadi-pribadi lebih baik. Dalam konteks lingkungan hidup, bulan puasa jadi masa evaluasi, bagaimana sebagai individu manusia bisa lebih peduli lingkungan hidup, hingga berkontribusi bagi kebaikan bumi.
- Musdah Mulia, pendiri Yayasan Mulia Raya mengatakan, tujuan dari berpuasa adalah menjadikan orang yang berpuasa lebih bertakwa. Kesadaran menjaga lingkungan hidup, katanya, termasuk dari takwa. Kesadaran jaga lingkungan,katanya, seharusnya jadi satu indikator ketakwaan seorang muslim.
- Dalam konteks Ramadhan ini, saatnya umat Muslim kembali merenungkan ajaran soal menjaga lingkungan. Dengan berpuasa, tak hanya menjaga pembicaraan juga tindakan tak merusak lingkungan.
- Fauzan Anwar Sandiah, dari Kader Hijau Muhammadiyah mengatakan, kalau bicara soal lingkungan dalam organisasi keagamaan, seakan masih jadi isu ‘di belakang’ alias belum jadi isu penting.
Masak nasi dan beragam lauk pauk, serta sayur mayur. Belum lagi, beragam juadah Ramadhan terhidang dari yang manis sampai asin. Minuman pun ada banyak jenis, teh, kopi, sampai cendol. Begitu banyak sajian ini biasa dibuat pada masa Ramadhan untuk hidangan berbuka maupun sahur. Akan habiskah makanan-makanan itu, atau terbuang jadi sampah? Belum lagi, saat berbelanja, berapa kantong plastik terpakai? Ke mana sampah-sampah dari proses dari belanja sampai memasak ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu mesti jadi renungan, terutama saat Ramadhan ini, sebagai bulan menahan segala nafsu, dan bulan mengevaluasi diri untuk menjadi pribadi-pribadi lebih baik. Itu baru satu contoh ‘renungan’ dari meja makan untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap lingkungan hidup. Masih banyak permasalahan lingkungan hidup di negeri ini, dari pencemaran udara, air, bencana ekologis, deforestasi, dan banyak lagi, yang semua itu bisa jadi evaluasi, bagaimana sebagai individu manusia bisa berkontribusi bagi kebaikan bumi. Demikian antara lain bahasan diskusi daring Muslimah Reformis dengan tema “Puasa untuk Kelestarian Lingkungan,” belum lama ini.
Musdah Mulia, pendiri Yayasan Mulia Raya mengatakan, tujuan dari berpuasa adalah menjadikan orang yang berpuasa lebih bertakwa. Kesadaran menjaga lingkungan hidup, katanya, termasuk dari takwa. Kesadaran jaga lingkungan,katanya, seharusnya jadi satu indikator ketakwaan seorang muslim.
“Jadi, kalau bicara takwa, harusnya jadikan kepedulian terhadap lingkungan itu jadi salah satu indikatornya,” kata profesor penerima penghargaan Yap Thiam Hien ini.
Perilaku konsumsi mempertimbangkan lingkungan hidup, katanya, juga penting. Dia contohkan, saat pergi ke restoran kadang orang pesan makanan dalam jumlah banyak dengan berragam menu tetapi tak mampu menghabiskan. Kemudian, pulang dan meninggalkan begitu saja. Padahal, makanan-makanan yang tak habis dan terbuang itu akan jadi limbah dan membebani lingkungan hidup kalau tak terkelola dengan benar.
Dalam konsep agama, katanya, itu masuk mubazir. “Agama Islam pun menegaskan sifat mubazir itu mendekati sifat setan.”
Jadi, kata Musdah, sebenarnya kepedulian lingkungan ini kudu mulai dari diri sendiri. “Apa yang kita makan, itu harus diperhatikan.”
Peduli lingkungan mulai dari dulu bisa dari barang-barang yang digunakan seperti kosmetik, sampai pembalut. Soal penggunaan pembalut maupun popok sekali pakai, katanya, menciptakan sampah di mana-mana. Kalau peduli lingkungan, bisa ubah dari bahan sekali pakai ke pembalut kain dan lain-lain.
Dia bercerita, dulu neneknya mengajarkan menggunakan pembalut dari kain yang membuat sendiri. Ajaran itu, sebagai bagian dari menghindari pembalut sekali pakai yang menciptakan sampah hingga jadi penambah beban lingkungan.
Berbagai persoalan lingkungan, seperti sampah ini, katanya, penting jadi bahan pembicaraan komunitas keagamaan.
“Dalam pikiran saya, bagaimana meletakkan dalam catatan dakwah bahwa kepedulian terhadap lingkungan, katakanlah mulai dari peduli sampah di rumah itu masuk bagian dari amal shaleh.”
Kenapa demikian? Kalau menelisik lagi apa tersurat juga tersirat dalam Al-Qur’an, ayat yang di dalamnya ada yaa ayyuhalladzina amanu, itu biasa bergandengan dengan waamilusholihati, berarti tidak cukup beriman tanpa diikuti perilaku yang menunjukkan kesalihan.
Dia berharap, bisa memberikan pemahaman kepada pemuka agama, tak hanya Islam tetapi pemuka agama lain supaya ketika bicara kebajikan salah satunya dengan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Dalam penegasan, katanya, sebagai umat beragama tidak sepantasnya melakukan perusakan terhadap lingkungan.
Dalam konteks Ramadhan ini, kata Musdah, saatnya umat Muslim kembali merenungkan ajaran soal menjaga lingkungan. Dengan berpuasa, tak hanya menjaga pembicaraan juga tindakan. “Kita puasa bukan hanya tahan lapar, tapi tahan segala hal termasuk jangan merusak lingkungan.”
Fauzan Anwar Sandiah, dari Kader Hijau Muhammadiyah mengatakan, kalau bicara soal lingkungan dalam organisasi keagamaan, seakan masih jadi isu ‘di belakang’ alias belum jadi isu penting.
“Ya, biasa kalau bicara Islam, ya fiqih, hanya seputar fiqih muamalah, siyasah, munakahat dan lain-lain. Sedang fiqih lingkungan ternyata belum tersentuh,” katanya.
Catatan literasi lingkungan di kalangan kader Muhammadiyah, Haidar Nashir pada 2000 menulis buku ‘Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah’. Di dalamnya, secara mengejutkan ternyata meletakkan salah satu pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah adalah pelestarian lingkungan.
Sebelumnya, pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah hanya seputar menjauhi larangan dan menjalankan perintah yang sifat menjalankan hidup kesalehan pribadi. “Ajaran teologi yang berkenaan dengan lingkungan hilang secara wacana.”
Namun rentang waktu 2004-2010, gagasan teologi yang berkenaan dengan lingkungan itu muncul kembali.
Kemudian terbentuklah Lembaga Lingkungan Hidup yang menjadi Majelis Lingkungan Hidup. Kemudian, di sela-sela waktu itu pada 2006 membuat lembaga yang jadi cikal bakal Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Belakangan, terbentuk kader Hijau Muhammadiyah.
Dia juga bicara kontribusi individu manusia terhadap lingkungan hidup, seperti penggunaan tas belanja atau wadah tak sekali pakai kala membeli atau konsumsi makanan dan minuman.
Fauzan juga singgung pembangunan rumah ibadah yang tak perhatikan lingkungan hidup, seperti bikin mesjid mewah tetapi tak disain ramah alam dengan gunakan AC. Secara simbol megah, tetapi jadi panas. Dulu, bangunan mesjid sejuk karena didesain angin masuk, sekarang tidak.
Tak hanya mesjid, sekolah-sekolah juga. Dulu, konsep sekolah biasa di halaman ada lapangan dan taman-taman. “Sekarang tidak ada. Desain megah, bahkan hampir semua ruang lingkup sekolah itu beton semua.”
Bagi Fauzan, fenomena ini merupakan sesuatu yang miris. Seharusnya, pendidikan menunjukkan jati diri bisa memberikan edukasi termasuk soal kepedulian lingkungan hidup.
Sapariah Saturi, editor Mongabay Indonesia mengatakan, konsep dalam Islam sendiri sudah bagus, seperti Islam itu rahmatal lil alamin, memaknai Islam itu sebagai rahmat bagi manusia dan seisi alam. ” Islam itu sudah keren banget. Ada konsep bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Artinya, Islam jadi rahmat bagi manusia dan makhluk lain.”
Namun, dalam menjalankan ajaran agama Islam belum sejalan dengan konsep itu. Manusia, masih merasa terpisah dari alam hingga dalam pemanfaatan alam tidak terkontrol berujung kerusakan, kepunahan dan konsekuensi lain.
Untuk itu, katanya, penting masing-masing individu manusia punya kepedulian terhadap lingkungan. Kalau mau merenung, berbagai permasalahan lingkungan, seperti deforestasi, kebakaran hutan, pencemaran udara, sampah dan lain-lain, itu masing-masing individu punya kontribusi.
Dia contohkan, deforestasi atau kebakaran hutan karena pembukaan kebun sawit di Kalimantan atau Sumatera, konsumen punya kontribusi terhadap masalah itu karena sebagai pengguna produk sawit.
Untuk itu, katanya, dalam Ramadhan ini penting merenungkan kontribusi yang diberikan pada lingkungan. Apakah berkontribusi sesuatu yang sifatnya menjaga atau justru sesuatu yang mengakibatkan kerusakan.
Dia contohkan lagi, dalam kehidupan sehari-hari seperti memasak sekalipun dari proses belanja sampai konsumsi mesti jadi perhatian. Kalau masakan berlebih dan tidak terkonsumsi, juga bisa jadi sampah. Sampah makanan, katanya, walaupun organik itu sumber emisi.
Karena itu, ketika masak, sebisa mungkin terukur. “Bisa masak banyak tapi misal ada lebih bisa dibagi-bagikan kepada siapapun yang butuh.”
Begitu juga sampah dari proses memasak, misal, sampah organik bisa jadi kompos maupun pupuk organik. Dalam belanja pun, minimalisir penggunaan sampah plastik sekali pakai.
Jadi, kalau secara individu tak peduli dengan cara hidup justru menambah beban lingkungan. “Karena itu, saatnya kita introspeksi diri soal apa yang kita makan, apa yang kita pakai dan lain-lain.”
*****
Foto utama: Sampah plastik yang merusak lingkungan, sebagian dari sampah-sampah rumah tangga. Foto: Ecoton