- Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sudah mendapatkan penetapan hutan adat sekitar 2.393-an hektar awal 2021. Sekitar 700 keluarga mulai memulihkan kembali hutan adat yang sempat masuk klaim TPL. Sekitar 20 hektar lahan mulai bersiap untuk ditanami.
- Hutan Haminjon adalah sumber kehidupan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Dari hutan tak hanya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari juga sekolah anak-anak dari hasil getah kemenyan.
- Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, pengetahuan peremajaan pohon alam pun, sudah masyarakat adat miliki turun-temurun. Biji kemenyan jatuh alami dan jadi tunas baru, lalu ditanam di lahan kosong, tak jauh dari pohon kemenyan lain.
- Pada 2019, Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbang Hasundutan menerbitkan Peraturan Daerah Humbahas No.3/2019 tentang Pengaturan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta.
Hari itu, Ganjang, memasuki hutan kemenyan sambil membawa parang panjang bersarung terikat di pinggang sebelah kiri. Sebelum masuk ke hutan, terlihat lahan kosong, cukup luas. “Itu tanah warga masih dikelola. Mau tanam kopi,” katanya.
Ganjang, warga adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Memasuki hutan kemenyan, melewati area perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kecamatan Tele. “Kami mau ke pohon kemenyan untuk menderes,” kata Ganjang kepada satpam di pos jaga.
Keluar masuk kebun melalui penjagaan.
Terlihat di kiri-kanan jalan berjejer pohon eukaliptus. Ada juga lokasi pembibitan. Alat berat menumbangkan pohon, lalu masukkan ke truk gandeng.
Sekitar satu jam perjalanan ke dalam hutan, kami singgah di pondok berukuran tiga kali tiga meter persegi. Di situ ada peralatan menderes getah kemenyan. Di dalam gubuk itu ada juga kayu bakar untuk membuat api, peralatan masak dan makanan untuk keperluan selama di hutan.
Setelah istirahat, Gajang mulai menderes getah kemenyan.
Kini, warga adat Pandumaan-Sipituhuta sudah mendapatkan penetapan hutan adat sekitar 2.393 hektar awal 2021. Sekitar 700 keluarga mulai memulihkan kembali hutan adat yang sempat masuk klaim TPL. Sekitar 20 hektar lahan mulai mereka rehabilitasi.
Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka
TPL mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) tahun 1992 dengan perubahan pada 2017 dengan luas 185.000 hektar. Ia tersebar pada 12 kabupaten, kota di Sumatera Utara termasuk Humbang Hasundutan.
“SK pencadangan hutan adat dikeluarkan Menlhk (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berdasarkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan seluas 5.172 hektar sesuai peta partisipatif, dengan melibatkan masyarakat,” kata Roky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Setelah verifikasi, usulan hutan adat jadi 6.000-an hektar.
Pada 2019, Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbang Hasundutan menerbitkan Peraturan Daerah Humbahas No.3/2019 tentang Pengaturan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta.
Awal 2021, ketika penetapan hutan adat Haminjon (Pandumaan-Sipituhuta oleh KLHK, hanya sebagian, sekitar 2.393 hektar.
Kala hutan adat masuk dalam konsesi TPL, Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, bertahun-tahun berjuang untuk mendapatkan kembali hutan adat mereka, yang sebagian besar berisi pohon kemenyan.
Warga aksi di daerah, sampai ke pemerintah pusat. Pernah terjadi bentrok, bahkan beberapa tetua dan warga adat jadi tersangka.
“Kami menolak TPL menanam lagi di wilayah kami,” kata Ganjang, dengan logat Batak, dengan suara sedikit serak.
Sambil bercerita dia menyisir pandangan ke bawah pohon kemenyan. Ganjang menemukan bibit kemenyan yang tumbuh liar di sekitar pohon inangnya, lalu menanam kembali.
Setelah itu dia kembali sadap kemenyan. “Parung simardagul-dagul sahali mamarung gok bahul-bahul gok ampang. [Sekali menderes karung sudah penuh].” Begitu mantra Ganjang rapalkan sebelum menyadap kemenyan.
Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta memiliki sejarah unik. Bagi mereka, hutan kemenyan adalah mitologi.
Cerita kemenyan dituturkan secara lisan turun menurun. Dulu kala, hiduplah seorang perempuan di Desa Pandumaan-Sipituhuta. Dia diasingkan karena dianggap melawan adat-istiadat, Sang gadis dibuang dan ditinggalkan sendirian di hutan. Beberapa tahun kemudian, orangtuanya kembali ke hutan, perempuan itu tidak ditemukan. Dia sudah menjelma jadi sebuah pohon tinggi dan besar.
Baca juga: Akhirnya Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka
Orangtuanya menyentuh batang pohon dan keluar air menyerupai tangisan manusia. Itulahgetah kemenyan, mereka menyebutnya haminjon. Lalu, mereka membawa pulang getah haminjon untuk jadi ramuan obat dan dupa. Aroma kemenyan jadi media untuk sembahyang, dipercaya bisa memanggil jiwa leluhur. Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta membakar kemenyan setiap ritual adat.
Pohon kemenyan, kata Roganda, memberi rezeki bagi petani dengan getah berlimpah ruah. Menderes kemenyan mereka lakukan sejak ratusan bahkan ribuan tahun dan jadi kemapanan bagi keluarga di sana.
“Bila aktivitas itu diganggu atau dirusak tanpa seizin warga, mereka akan marah besar,” katanya.
Dia bercerita soal bagaimana budaya ritual adat masih dilestarikan di Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta.
Menurut dia, warga tidak pernah menebang pohon kemenyan. Pengetahuan peremajaan pohon alam pun, katanya, sudah mereka miliki turun-temurun. Biji kemenyan jatuh alami dan jadi tunas baru, lalu ditanam di lahan kosong, tak jauh dari pohon kemenyan lain.
Sumber hidup
Hutan Haminjon adalah sumber kehidupan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Dari hutan tak hanya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari juga sekolah anak-anak dari hasil getah kemenyan.
Kemenyan, sudah dikenal luas di Indonesia antara lain sebagai bahan obat tradisional, batik dan upacara ritual. Penelitian Elimasni, 2005, menyebutkan, kemenyan Sumatrana (Styrax bencoin dryander) memiliki banyak senyawa bioaktif seperti asam sinamat dan turunannya. Ia berupa senyawa kimia bisa sebagai bahan baku industri kosmetik dan obat-obatan.
Menurut Ganjang, pohon kemenyan harus berusia 10 tahun ke atas baru bisa panen. “Batang pohon warna agak kemerahan, baru boleh dideres,” katanya.
Baca juga: Konflik dengan Perusahaan Perkebunan Kayu, Warga Sihaporas Lapor Komnas HAM
Kulit pohon dia tusuk memakai alat seperti obeng, lalu tunggu hingga empat bulan sampai keluar getah berwarna kekuning-kuningan dari batang. Kemudian panen bersamaan dengan kulit pohon, baru keringkan.
Harga getah kemenyan di pasar, katanya, Rp200.000-Rp250.000 perkg. Ganjang menderes tujuh batang sehari, dengan 10 lubang setiap satu batang pohon. Dengan alat tambahan, dia menderes hingga ke ujung batang pohon.
Hutan yang dia kelola sekitar tiga hektar, setiap satu hektar sekitar 700 pohon kemenyan, hasilkan sekitar 50 kilogram getah.
“Setelah dikeringkan dan dikumpulkan, hasil getah dijual ke pengepul,” katanya.
Getah hasil panen petani kemenyan semua dikumpulkan lalu kirim ke pasar atau pengepul utama di Dolok Sanggul, Ibukota Humbang Hasundutan.
Selain dari kemenyan, warga Pandumaan-Sipitihuta juga hidup dari bertani. Rusmedia Lumbangaol, perempuan adat Sipituhuta punya kebun kopi dan ladang padi.
Dia mengeluh, biji-biji kopi ada ulatnya. Sebelum hutan terbuka jadi kebun kayu, tak pernah kejadian seperti ini. Sungai yang mengalir pun berwarna merah, dan dangkal. Dulu, warna air bening dan jernih serta cukup dalam.
“Ini terjadi setelah ditanami pohon eukaliptus di sekitar hutan.”
Rusmedia, salah satu perempuan adat Pandumaan-Sipituhuta yang tampil ke depan bersuara. Dia sedih sekaligus haru setiap kali mengingat aksi-aksi bersama ibu-ibu lain kala turun ke jalan, berjalan kaki ke kantor-kantor pemerintah, hingga bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta.
Awalnya, Rusmedia takut orasi di depan umum. Sekarang, sudah terbiasa bersuara di depan para pejabat. Untungnya, suami dan anak-anaknya mendukung penuh Rusmedia dan kawan-kawan.
Baca juga: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba
***
Masyarakat adat di sekitar Danau Toba yang berkonflik dengan PT TPL tak hanya Pandumaan-Sipituhuta. Antara lain, ada Masyarakat Adat Sihaporas, dan Masyarakat Adat Natumingka.
Konflik dengan Masyarakat Adat Sihaporas bermula ketika warga hendak bercocok tanam di Desa Buntu Pangaturan namun dihalangi perusahaan pada 16 September 2019. Warga dianggap menanam di konsesi perusahaan.
Buntutnya, dua warga adat terjerat hukum. Di Pengadilan Negeri Simalungun, memvonis enam bulan penjara Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita, atas dakwaan mengeroyok humas dan satpam TPL sektor Aek Nauli.
“Kalau dicocokkan dengan rekaman video, dari keterangan saksi tak terbukti mereka melakukan penganiayaan,” kata Sahat, kuasa hukum dua warga adat ini. Jonni Ambarita dan Thomson Ambarita terjerat Pasal 170 KUHPidana tentang kekerasan secara bersama-sama.
Konflik dengan Masyarakat Adat Natumingka, Kecamatan Borbor, Toba, pecah pada Mei 2021. Roganda bilang, konflik bermula saat perusahaan berusaha menanam bibit eukaliptus di lahan bersengketa. Warga Natumingka menolak kedatangan petugas keamanan dan 500 pekerja TPL dengan puluhan truk berisi bibit eukaliptus.
“Terdengar sekuriti memberi aba-aba kepada pekerja untuk menerobos barikade warga. Mereka melakukan intimidasi dengan kayu dan batu, warga sontak berlarian,” kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak. Belasan warga adat luka-luka dalam kejadian itu.
Masyarakat Adat Sihaporas, Natumingka, maupun Pandumaan-Sipituhuta, hanya ingin mengelola hutan adat mereka– yang masuk dalam klaim perusahaan.
“Mereka berusaha mempertahankan wilayah adat. Mereka masih ritual mulai dari menanam hingga panen,” kata Roganda.
Menarik juga: Pandumaan Sipituhuta dalam peta dan gambar
*Liputan ini didukung Southeast Asia Rainforest Journalism Fund Pulitzer Center.
*******
Foto utama: Ganjang, memakai alat bantu memanjat pohon menderes getah kemenyan, Desa Pandumaan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia