- Proyek datang, RTRW pun berubah. Peraturan Daerah DIY Nomor 5/1992 jo. Peraturan Daerah DIY Nomor 10/2005 tentang RTRW DIY tidak mengatur rencana tambang pasir besi di pesisir Kulonprogo adalah yang berlaku saat kontrak karya JMI. Sayangnya, RTRW DIY lantas berganti Perda Nomor 2/2010 tentang RTRW DIY 2009-2029. RTRW baru itu justru mengakomodasi penggunaan lahan Kulonprogo untuk bandara dan penambangan. Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari seri tulisan hasil peliputan Mongabay bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria sepanjang Maret– Juli 2021.
- Nazarudin, Ketua Pansus Perubahan RTRW DPRD DIY saat itu, meyakini tak satupun pasal dalam raperda RTRW yang disetujui DPRD memuat pasal tentang pertambangan. Pengaturan tentang penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo, sudah diusulkan eksekutif. Usulan itu kemudian ditolak para anggota DPRD DIY periode 2004–2009.
- Dari waktu ke waktu, penataan ruang di pesisir Kulonprogo makin tumpang tindih. Setelah kontrak karya JMI terbit pada 2008, sudah ada RTRW baru yang mengokomodir rencana penambangan JMI, nyatanya pesisir Kulonprogo justru jadi lokasi sejumlah proyek strategis nasional.
- Pengadaan tanah bagi proyek JJLS di pesisir Kulonprogo menjadi sengketa baru. Lagi-lagi, sengketa itu melibatkan para petani, termasuk Koordinator Lapangan PPLP-KP, Widodo. Dia menolak besaran nilai ganti rugi dari JJLS atas tanah dan bangunan rumah permanen yang ditempati bersama keluarganya.
Awalnya, penambangan di pesisir Kulonrogo itu tak masuk dalam RTRW Yogyakarta. Setelah aturan tata ruang perubahan, ‘masuklah’ klausal kawasan pesisir untuk tambang pasir.
Peraturan Daerah DIY Nomor 5/1992 jo. Peraturan Daerah DIY Nomor 10/2005 tentang RTRW DIY tidak mengatur rencana tambang pasir besi di pesisir Kulonprogo adalah yang berlaku saat kontrak karya JMI.
Pasal Pasal 37 A ayat (1) Peraturan Daerah DIY Nomor 10/2005 justru mengatur, pengembangan kawasan pesisir di Kabupaten Gunungkidul, Bantul, maupun Kulonprogo harus menjaga fungsi wilayah pesisir dan laut agar tetap lestari, menjaga dan mempertahankan batas teritorial dan kekayaan sumberdaya laut yang ada di dalamnya. Juga mengembangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, RTRW DIY lantas berganti Perda Nomor 2/2010 tentang RTRW DIY 2009-2029. RTRW baru itu justru mengakomodasi penggunaan lahan Kulonprogo untuk bandara dan penambangan.
Perubahan RTRW DIY yang mengakomodir tambang di Kulonprogo menimbulkan kontroversi. Sejumlah anggota DPRD Yogyakarta yang membahas rancangan menyatakan Pasal 58 dan Pasal 60 sebagai “pasal siluman” yang ditambahkan belakangan.
Nazarudin, Ketua Pansus Perubahan RTRW DPRD DIY saat itu, meyakini tak satupun pasal dalam raperda RTRW yang disetujui DPRD memuat pasal tentang pertambangan.
Dia yakin lantaran pengaturan tentang penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo sudah diusulkan eksekutif. Usulan itu kemudian ditolak para anggota DPRD DIY periode 2004–2009.
“Memunculkan norma baru dalam perda tanpa pembahasan (sidang di DPRD). Saya istilahkan kejahatan legislasi,” katanya ditemui di rumahnya, 21 Maret lalu.
Arief Noor Hartanto, alias Inung, anggota DPRD DIY saat itu, melayangkan protes atas kemunculan pasal itu ke Pemerintah DIY, Pemerintah DIY menjawab. “Saat itu, masa peralihan antara dua periode DPRD [hasil pemilu 2004 dan 2009], hingga surat itu tak direspons hingga melewati batas waktu surat itu.”
“Saya tidak tahu inisiatif keputusan perubahan RTRW itu dari Pemda DIY atau pemerintah pusat,” katanya Maret lalu.
Sadar RTRW baru itu bisa memuluskan rencana tambang PT Jogja Magasa Iron (JMI), Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo (PPLP-KP) melawan dengan mengajukan hak uji materiil Perda RTRW DIY ke Mahkamah Agung. Gugatan ditolak Mahkamah Agung dengan alasan pengajuan hak uji materiil melewati batas waktu.
Baca juga: Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]
Rani Sjamsinarsi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi dan Sumber Daya Mineral DIY kala itu, mengatakan, perubahan tata ruang itu sudah sesuai aturan. Perubahan peruntukan suatu lahan itu, katanya, sesuai kebutuhan pembangunan.
“(Tudingan pasal siluman) karena tak memahami saja, lalu digoreng sampai gosong,” katanya, kini Ketua Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Prioritas DIY, medio Juni, saat memaparkan perkembangan sejumlah proyek nasional.
Bagi Rani, perubahan RTRW itu mengikuti rencana pemerintah pusat. Pembangunan Bandara Kulonprogo, misal, merupakan rencana induk Kementerian Perhubungan hingga daerah harus bikin aturan baru guna mengakomodasi kebutuhan itu.
“Perda RTRW itu enggak bisa bikin sendiri. Daerah bikin sendiri? Ya, enggak bisa. Ada yang namanya pencadangan dalam aturan RTRW lama yang bisa diakomodasi dalam pembuatan RTRW baru. Termasuk izin tambang (JMI) di sana, ya, sudah sesuai. Maka, saat kami dipanggil ke MA, kami jelaskan, ya, tidak masalah.”
Belakangan, RTRW DIY pun diikuti dengan pengundangan Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1/2012 tentang RTRW Kulonprogo tahun 2012-2032. Pada Pasal 48 secara eksplisit disebutkan kawasan pertambangan mineral logam pasir besi meliputi Desa Jangkaran, Sindutan, Palihan, dan Glagah di Kecamatan Temon. Kemudian, Desa Karangwuni (Kecamatan Wates) dan Desa Garongan, Pleret, dan Bugel di Kecamatan Panjatan). Lalu, Desa Karangsewu, Banaran, Nomporejo, dan Kranggan di Kecamatan Galur.
Perda RTRW 2010 berganti Perda RTRW Nomor 5/2019 tentang RTRW DI Yogyakarta 2019-2039. Dalam beleid terbaru itu, alokasi pertambangan mineral logam di Kabupaten Kulonprogo disebutkan di Pasal 66 ayat 2 huruf a. Ia meliputi Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, Nanggulan, Pengasih, Wates, Kokap, Temon, Panjatan dan Galur, seluas 3.444,06 hektar.
Baca juga: Petani Hidup Makmur dari Menanam di Lahan pasir Pesisir Kulonprogo [2]
***
Sejak 2010, warga pun makin sering berkonflik dengan para pekerja JMI. Perusahaan makin banya beraktivitas di pesisir Kulonprogo.
Tukijo, petani asal Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, masih mengingat pahitnya jadi pesakitan di Pengadilan Negeri Wates. Pada Agustus 2011, Tukijo kena hukum tiga tahun karena ‘menyekap’ tujuh pekerja JMI yang melanggar larangan melintasi Desa Karangsewu pada 8 April 2011.
Selepas keluar dari Lembaga Permasyarakatan Wirogunan pada Oktober 2013, suami Suratinem itu tak lantas jera melawan rencana tambang pasir besi. Dia dan para petani yang tergabung dalam PPLP-KP tak punya pilihan selain melawan, lantaran tambang itu bakal membuat mereka kehilangan lahan tani, tempat yang menghidupi.
Mereka memilih bersikap berbeda dari kebanyakan tetangg. Pro-kontra tambang pasir besi terjadi di tengah warga bahkan berdampak pada kehidupan anak-anak mereka. “Kalau anak saya ikut main, teman-temannya pada pergi,” kenang petani PPLP-KP dari Desa Karangwuni, Suparno. Hingga kini, dia tetap menolak tambang pasir besi.
Terkepung proyek strategis
Dari waktu ke waktu, penataan ruang di pesisir Kulonprogo makin tumpang tindih. Setelah kontrak karya JMI terbit pada 2008, sudah ada RTRW baru yang mengokomodir rencana penambangan JMI, nyatanya pesisir Kulonprogo justru jadi lokasi sejumlah proyek strategis nasional.
Pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport di Kapanewon Wates, misal, jelas-jelas bertabrakan dengan rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo. Lokasi pembangunan pabrik peleburan JMI bergeser tiga km, gara-gara cerobong asap peleburan itu bisa membahayakan penerbangan di bandara.
Di konsesi JMI juga tengah ada proyek jalur jalan lintas selatan (JJLS) dirintis sejak 2004. proyek JJLS melintang di selatan Jawa di lima provinsi dari Banten hingga Jawa Timur, termasuk 116 kilometer di Yogyakarta. Di DIY, JJLS terentang 23,15 kilometer di Kulonprogo, Bantul 16,58 kilometer, dan 76,34 kilometer Gunungkidul.
Rani mengatakan, tak ada kendala berarti dalam proyek JJLS di DIY. Kini, perkembangan mencapai 70%. Hingga kini, jalur sepanjang total 116 kilometer itu telah bebas untuk dua lajur, dan untuk empat lajur 74 kilometer.
Konstruksi fisik terbangun hingga 63,8 kilometer. Untuk tahun anggaran 2021, Pemda Pemerintah Yogyakarta membangun empat jalan dan jembatan bagian dari JJLS dengan anggaran Rp257 miliar.
“Tahun ini, pengadaan lahan untuk segmen Garongan-Congot di Kulonprogo hampir 30.000 meter persegi,” katanya Senin 16 Juni lalu.
Ada deretan proyek strategis nasional lain di pesisir Kulonprogo, seperti pengembangan Pelabuhan Tanjung Adikarto, pengendalian banjir Bandara NYIA, ruas Jalan Tol Solo-Jogja-Kulonprogo dan Jalan Temon-Borobudur.
Masalah baru?
Pengadaan tanah bagi proyek JJLS di pesisir Kulonprogo menjadi sengketa baru. Lagi-lagi, sengketa itu melibatkan para petani, termasuk Koordinator Lapangan PPLP-KP, Widodo. Dia menolak besaran nilai ganti rugi dari JJLS atas tanah dan bangunan rumah permanen yang ditempati bersama keluarganya.
Rumah itu tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Bangunan paling depan persis di tepi Jalan Daendels, jadi tempat usaha kelontong yang dikelola istrinya. Sedangkan teras rumah jadi tempat usaha adik kandungnya, pengepul hasil pertanian warga khusus petani lahan pasir.
Ada timbangan duduk besar, karung-karung goni berisi cabai merah, kacang panjang dan jenis sayuran lain di sana.
Widodo bilang, nilai ganti rugi atas tanah dan bangunan rumah dengan sertifikat masih atas nama ayahnya, Sumarjo, tidak sepadan Dia juga mempersoalkan transparansi proses ganti rugi tim appraisal JJLS.
Widodo memperlihatkan dua lembar kertas berkop: nilai penggantian wajar pengadaan lahan untuk jalur lintas selatan ruas jalan Garongan-Congot, Kecamatan Panjatan, Wates Dan Temon, Kabupaten Kulonprogo. Meski obyek yang diganti rugi sama, hanya selisih satu meter persegi, namun nilai ganri rugi berbeda, begitu jomplang.
Di kertas itu terlihat, tujuh rincian obyek dan nilai ganti rugi. Di lembar milik Sumarjo (ayah Widodo), hanya berisi empat rincian saja. Kertas nilai ganti rugi milik Sumarjo, dinyatakan luas tanah terkena JJLS 55 meter persegi, dengan rincian: indikasi nilai pasar tanah Rp117, 095 juta, total nilai pasar Rp117, 095 juta. Total nilai non fisik Rp10, 688 juta, nilai penggantian wajar Rp127, 783 juta.
Perhitungan itu jauh berbeda dari nilai ganti rugi milik tetangga Widodo. Luas obyek 56 meter persegi. Perincian nilai ganti rugi indikasi nilai pasar tanah Rp118,608 juta, nilai pasar bangunan Rp643, 727 juta, nilai pasar sarana pelengkap lain Rp7.800.000. Nilai pasar tanaman Rp89.000, total nilai pasar Rp770, 224 juta, total nilai non fisik Rp170, 665 juta dan nilai penggantian wajar Rp940, 889.
Kejanggalan ini tak dapat diterima Widodo. Melalui kuasa hukumnya dari LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, dia ajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Wates 1 April lalu.
“Pak Sumarjo ini cuma dapat Rp127 juta. Itu gak masuk akal. Pada hal jelas-jelas ada bangunan (rumah), punya usaha pelelangan hasil bumi sama toko kelontong,” kata Julian, kuasa hukum di PN Wates, April lalu.
Adapun pihak yang digugat, tergugat I Kepala Kantor BPN Yogyakarta/Ketua Tim Pelaksana Pengadaan Tanah Proyek Pembangunan JJLS di Kulonprogo. Tergugat II, Kepala Dinas PUPR dan ESDM Yogyakarta/instansi yang memerlukan tanah untuk pembangunan JJLS di Kulonprogo. “Gugatanku ditolak. Aku kasasi,” ucap Widodo, 25 Mei lalu.
Memori kasasi telah dia kirim. Widodo tak sendiri. Gugatan soal ganti rugi JJLS juga dilayangkan Dwi Windu Pancayati.
Mayoritas, warga Kulonprogo termasuk petani PPLP-KP tak menolak tanah mereka diganti rugi untuk pembangunan JJLS. Transparansi proses ganti rugi JJLS yang menuai tanda tanya warga.
Musodik, Ketua RT di Dusun III, Desa Pleret, mencontohkan, tanah perkarangan di rukun tangganya termasuk lahan milik keluarga seluas 1.000 meter persegi terkena JJLS, harga ganti rugi sama dengan harga tanah sawah. Tak ada penjelasan warga soal itu.
“Warga diundang ke balai desa. Tahu-tahu dikasih harga (total ganti rugi) sekian. Cuman (di) kertas kliwiran,” kata Musodik.
Apa yang dialami Musodik diamini Dukuh Karangwuni, Sumarni. “Kami kan diundang, datang terus dikasih nominal. Kalau mau protes di waktu itu. Setelah itu gak bisa,” katanya.
Dia benarkan kalau ada perbedaan nilai ganti rugi tanah dari JJLS. “Itu beda-beda, antara utara dan selatan (Jalan Daendels), gak sama. Misal punya saya, beda-beda. Kemarin gak dijelasin sama tim appraisal.”
Penerima ganti rugi JJLS, Marwoto warga Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, mendapatkan nilai ganti rugi di luar ekspektasi. Lahan seluas 454 meter persegi dengan 20 pohon kelapa di selatan tikungan S, Jalan Daendels itu mendapat ganti rugi Rp96, 537 juta.
Dia mengambil pelajaran sebagai warga terdampak ketika membahas ganti rugi dengan pelaksana proyek JJLS. “Harusnya kompak. Sebelum ada pertemuan (dengan tim pengadaan tanah), harusnya kami mengadakan pertemuan, menerima atau tidak menerima harga segitu,” ucap Marwoto.
Tanah PAG yang terdampak proyek JJLS juga mendapat ganti rugi. Di Desa Karangwuni, tanah PAG yang digunakan untuk Kantor Kalurahan dan SD Negeri Karangwuni, turut terkena JJLS.
PAG kependekan dari Paku Alam Ground. Istilah itu mengacu pada bidang tanah yang diklaim sebagai milik Kadipaten Pakualaman, satu dari dua swapraja di DIY.
Kadipaten Pakualaman, secara turun-temurun dan dipimpin Adipati bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam—yang berdasarkan UU Nomor 13 Tahun tentang Keistimewaan DIY merupakan Wakil Gubernur DIY, secara turun temurun pula.
Dwi Purwanta Pj Lurah Karangwuni, mengatakan, ganti rugi atas tanah Kantor Lurah dan SD diterima Pakualaman, sedangkan ganti rugi atas kedua bangunan diterima pihak desa dan sekolah.
“Perwakilan Pakualaman yang menerima langsung (ganti rugi) saat pemberian secara simbolis (buku rekening), Maret,” katanya.
Sumarni bilang, di Dukuh Karangwuni nilai ganti rugi tanah PAG lebih tinggi dari nilai ganti rugi bangunan desa. “Bangunan (kantor desa) Rp1 miliar berapa, lupa. Lebih tinggi (nilai ganti rugi) tanah.”
Staf Bina Marga Dinas PUPR DIY M. Yunus Albar mengatakan, pembebasan tanah di Kulonprogo untuk proyek JJLS belum selesai.
“Masih ada yang berproses (untuk) kebutuhan empat lajur dari ujung timur dan ujung barat di Kulonprogo,” katanya 8 April lalu.
Sejak 2015, anggaran pembebasan tanah untuk JJLS di Yogyakarta bersumber dari Dana Keistimewaan (Danais), tiap tahun dianggarkan. Tahun 2021 anggaran Rp 90 miliar.
Proses ganti rugi JJLS sudah bergulir sejak 2017. Desa Karangwuni hingga 2021 tanah terdampak JJLS sejumlah 497 bidang.
Eka Prasetya Jagabaya (Kasie Pemerintahan Desa) Pleret mengatakan, total bidang tanah tergusur JJLS pada 2020 ada 110 bidang, data terbaru atau tahap kedua tahun 2021 sebanyak 29 bidang. “Sebanyak 29 bidang itu, 10 bidang tanah dan rumah.”
Di Desa Bugel, bidang tanah terkena JJLS kebanyakan tanah kas desa dan satu bidang tanah warga. Tanah kas desa, kata Tri Sujoko Jagabaya Bugel, satu bidang berupa sawah dengan luas empat hektar. Ganti rugi atas tanah itu sudah diterima pihak desa. “Sudah kami terima sekitar 60 miliar.”
Berharap tambang batal
Terjadi tumpang tindih antara konsesi kontrak karya JMI dan proyek JJLS, Kondisi ini menunjukkan betapa kacau penataan dan pemanfaatan ruang di pesisir Kulonprogo. Risikonya bermacam-macam, dari sekadar uang negara sampai sengketa tenurial.
Resistensi warga, termasuk para petani aktivis PPLP-KP, terhadap pengadaan tanah JJLS cenderung rendah. Warga bisa menerima bahwa sebagian tanah mereka dibebaskan untuk melebarkan jalan untuk umum.
Sebagian warga bahkan berharap JJLS mampu membatalkan kontrak karya JMI. Apalagi, ada deretan proyek strategis nasional lain di pesisir Kulonprogo.
Syahrul Fitra, peneliti Greenpeace, menyebut kelindan proyek di pesisir Kulonprogo itu, baik JMI maupun JJLS, berdampak buruk bagi warga dan petani.
“Kedudukan hukum KK (kontrak karya) itu mengikat secara hukum melebihi apapun. Karena KK itu hubungan privat, dianggap sebagai ‘UU’ kedua belah pihak,” katanya.
Karena itu, kontrak karya ditentang dan JMI menjadi yang terakhir. “Kontrak karya itu menjanjikan publics goods (barang publik ) ke pihak privat dan negara tidak bisa mengendalikan,”
Dia mempertanyakan kontrak karya JMI di kawasan yang jadi proyek nasional JJLS karena bakal ada ganti rugi dari pemerintah jika proyek berubah. “Jadi, memang proyek yang disengaja untuk dapat duit negara. Karena rencana jalan itu sudah ada,” katanya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yakin proyek JMI berlanjut. “Kalau positif, dalam arti memenuhi standarnya, ya mesti (pabriknya) dibangun,” katanya, awal Maret lalu.
Widodo bilang PPLP-KP tetap menolak pendirian pabrik, termasuk dengan cara jalanan.
“Bagi kami, prinsipnya, adalah bertani atau mati,” kata Widodo. (Bersambung)
Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).