Terbitnya PP 26 Tahun 2023, Walhi Babel: Bencana Ekologis di Bangka Belitung Berlanjut

 

  • Jika PP Nomor 26 Tahun 2023 diterapkan, maka bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung akan berlanjut.
  • Selain itu, aktivitas penambangan pasir laut, bepotensi merugikan negara dari rare earth atau tanah jarang.
  • Selama ini, aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung menyebabkan berbagai bencana ekologis dan sosial. Mulai dari hilangnya ruang hidup masyarakat pesisir, hingga bencana banjir dan intrusi laut.
  • Terbitnya peraturan [PP No.26 Tahun 2023] ini menambah daftar panjang regulasi yang dianggap tidak berpihak pada kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3.

 

Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut telah diterbitkan pada 15 Mei 2023. Jika peraturan tersebut diterapkan, bagaimana dampaknya pada wilayah Kepulauan Bangka Belitung?

Diperkirakan ada ratusan hingga ribuan kapal isap beroperasi di perairan pesisir Kepulauan Bangka Belitung, yang luasnya mencapai dua juta hektar. Selain itu, aktivitas penambangan pasir laut, bepotensi membuat kerugian negara dari rare earth atau tanah jarang.

“Dampak ekologis dari penambangan timah, mulai dari kerusakan terumbu karang, kematian atau hilangnya beragam biota dan mamalia laut, rusaknya mangrove, menurunnya daratan pulau-pulau kecil, serangan berbagai penyakit seperti malaria, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat pesisir di Kepulauan Bangka Belitung yang menetap di 160 desa,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung [Babel], usai jumpa pers, Rabu [28/06/2023].

Dijelaskan Jessix, setelah Reformasi 1998, penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung kian masif. Penambangan dilakukan bukan hanya di darat, juga di perairan, baik oleh perusahaan maupun masyarakat.

Di perairan, penambangan timah bukan hanya menggunakan kapal keruk dan kapal isap, juga ponton isap dan rajuk [tradisional].

“Tahun 2013, tercatat 68 kapal isap produksi [KIP] milik PT. Timah dan enam milik swasta, serta ribuan tambang apung yang beroperasi di perairan sekitar Pulau Bangka.”

Aktivitas penambangan timah ini menyisakan jutaan ton tailing yang mengendap di daratan dan dasar perairan Kepulauan Bangka Belitung.

“Berdasarkan informasi dari sejumlah pemberitaan di media, tailing dari penambangan timah mengandung unsur rare earth atau jarangan, yang nilainya sangat berharga. Rare earth dibutuhkan teknologi komunikasi, pertahanan, penerbangan, energi, otomotif, hingga kesehatan.”

Selain itu, Jessix memperkirakan semua pasir yang berada di perairan Kepulauan Bangka Belitung mengandung timah dan rare earth. Sementara, penambangan timah belum dilakukan pada semua wilayah perairan di kepulauan ini.

“Jadi, kami menduga jika penambangan pasir laut dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung,  berpotensi adanya kerugian negara, baik dari timah maupun rare earth.”

Sebagai informasi, PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dikeluarkan Presiden Jokowi pada 15 Mei 2023. Salah satu point pentingnya, PP ini melegalkan ekspor pasir laut.

Padahal, ekspor pasir laut pernah dihentikan Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementera Ekspor Pasir Laut.

Berbagai kritik disampaikan terhadap PP ini, terutama dari sejumlah lembaga non-pemerintah yang peduli dengan lingkungan hidup, khususnya laut.

Baca: Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut

 

Kapal Isap Produksi yang beroperasi di sekitar perairan Rebo, Pesisir Timur Pulau Bangka. Terlihat limbah dari kapal tersebut berwarna keruh. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bencana ekologis

Aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung menyebabkan berbagai bencana ekologis dan sosial.

Jessix menjelaskan, dimulai dari konflik antara penambang timah dengan masyarakat lokal [adat], dampak dari perebutan atau rusaknya wilayah perairan. Sekitar 480 ribu masyarakat adat di wilayah pesisir, kehilangan atau menurun pendapatannya dari hasil tangkapan perairan.

Lalu rusaknya terumbu karang. Terumbu karang yang luas sebelumnya 82.259,84 hektar, kini  tersisa 12.474,54 hektar. Sekitar 5.720,31 hektar karang mati. Rusaknya terumbu karang berdampak menurunnya populasi ikan, sehingga hasil tangkap masyarakat pesisir juga menurun.

Sementara mangrove, yang sebelumnya seluas 273.692,81 hektar, kini tersisa 33.224,83 hektar. Tahun 1993, luas mangrove di Kepulauan Bangka Belitung 273.692,81 hektar.

“Kepulauan Bangka Belitung kehilangan mangrove seluas 240.467,98 hektar,” kata Jessix.

Rusaknya perairan dan mangrove menyebabkan perubahan sosial pada masyarakat pesisir. Misalnya serangan penyakit malaria, anak-anak putus sekolah, hingga munculnya profesi “ngereman” yakni meminta jatah pasir timah dari penambang, yang dilakukan perempuan dan anak-anak.

Selanjutnya, masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung berulang kali terdampak banjir, intrusi air laut, abrasi, serta kerusakan rumah akibat puting beliung. Misalnya pada 2017,  sekitar 1.530 jiwa masyarakat di Pulau Pulau Belitung terdampak banjir, serta 1.947 jiwa yang tersebar di 7 desa di Kabupaten Bangka terdampak banjir.

Wilayah permukiman masyarakat yang mengalami banjir ini, merupakan areal penambangan timah.

“Maka, jika PP 26 Tahun 2023 diterapkan, bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung terus berlanjut,” kata Jessix.

“Kami menilai PP tersebut bukan solusi mengatasi sedimen pasir laut, tapi ancaman baru, sehingga kami menyatakan menolak dan menuntut pencabutan PP Nomor 26 Tahun 2023.”

Baca: Sampai Kapan Lubang Bekas Tambang di Bangka Belitung Dibiarkan?

 

Aktivitas penambangan timah di sekitar Pulau Dante, Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Reklamasi dan konservasi

Penambangan timah laut meninggalkan banyak lubang di wilayah pesisir. Lubang-lubang tersebut mengganggu aktivitas para pencari udang.

“Seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan terkait reklamasi eks penambangan timah di laut. Itu yang sangat dibutuhkan, bukan malah mengeruk pasirnya,” kata Jessix.

Lubang-lubang eks penambangan timah laut ini, berada di Pantai Batu Perahu, Toboali [Kabupaten Bangka Selatan], Desa Rebo, Sungailiat [Kabupaten Bangka], Tanah Merah {Kabupaten Bangka Tengah].

“Lubang-lubang ini menyebabkan terganggu ekosistem perairan dan pesisir. Terjadi abrasi. Jadi, harus direklamasi, bukan sebaliknya,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga harus fokus pada penyelamatan wilayah perairan yang masih terjaga. Saat ini, berdasarkan Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No. 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Tahun 2020-2040, kawasan konservasi pesisir dan perairan hanya mendapatkan porsi 14 persen atau 627.612,9 hektar, dari total 4.259.119,3 hektar.

Bahkan, dari luasan wilayah konservasi itu sebagian besar berada di Pulau Belitung, yakni 140,9 ribu hektar.

“Seharusnya wilayah konservasi ditambah, khususnya Pulau Bangka yang banyak rusak,” tegasnya.

Baca: Kawasan Konservasi Laut Pulau Bangka, Harapan Ditengah Dominasi Tambang Timah

 

Terumbu karang yang tertutup sedimen limbah penambangan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tidak berpihak pada rakyat

“Terbitnya peraturan [PP 26 Tahun 2023] ini menambah daftar panjang regulasi yang dianggap tidak berpihak pada kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3,” kata Dr. Fitri Ramdhani, Sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, Selasa [04/07/2023].

“Seharusnya, sumber daya alam yang dikuasai dan dikelola negara memberi dampak kesejahteraan bagi masyarakat, namun apa yang terjadi adalah sebaliknya. Bagaimana contohnya pertambangan timah sampai saat ini hanya menyisakan kerusakan bagi lingkungan dan masyarakat.”

Jika PP No.26 Tahun 2023 tersebut diterapkan, lanjutnya, yang pasti akan sangat terdampak adalah masyarakat yang selama ini bersentuhan dengan laut yaitu masyarakat pesisir.

Secara filosofis, kehidupan masyarakat pesisir yang sebagian besar adalah nelayan, menggantungkan sumber penghidupannya di laut. Mereka memanfaatkan sumber hidup yang tersedia di laut, dan menyesuaikan dirinya dengan hukum-hukum alam kelautan yang telah terbentuk dan terpola selama ini.

Terancamnya sumber penghidupan masyarakat pesisir yang bersumber dari laut, maka terancam pula aktivitas pengelolaan hasil sedimentasi di laut atau dengan kata lain aktivitas penambangan pasir laut.

Jelasnya, berbagai penelitian menunjukkan penambangan pasir laut terutama berdampak pada kekeruhan perairan. Kekeruhan ini menyebabkan hilangnya mikrobiologi, oragnisme, dan sumber daya ikan di laut.

Baca juga: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Lahan bekas tambang di Pulau Bangka yang belum perbaiki. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Kualitas air laut yang semakin buruk akan memengaruhi berkembangbiaknya hewan dan tumbuhan laut seperti plankton, ikan, udang, cumi-cumi, dan lainnya, sehingga hasil tangkapan nelayan juga akan berkurang.

Kondisi ini akan memperburuk kesejahteraan sebagian besar nelayan dengan hilangnya sumber penghasilan yang mengancam sumber pangan mereka, yang selama ini sudah terganggu oleh aktivitas penambangan timah di laut.

Tepatnya, msyarakat pesisir tidak hanya mengalami dampak ekonomi, juga sosial dan budaya yang menyebabkan mereka dijauhkan dari sumber penghidupan mereka di laut. Akan terjadi perubahan struktur sosial masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang selama ini telah hidup dan beradaptasi dengan laut.

“Jika laut tidak lagi menyediakan hasil, nelayan akan kehilangan penghasilan dan akan meninggalkan cara hidup sebagai nelayan. Maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi missing link yang menyebabkan perubahan struktur sosial,” katanya.

Missing link ini tidak sekadar putus atau hilangnya regenerasi nelayan dari satu keturunan ke keturunan, juga hilangnya sistem kehidupan, kebudayaan, dan kearifan lokal yang melekat pada sumber penghidupan mereka dengan laut.

“Jika nelayan tidak lagi bertahan hidup dengan menggantungkan penghasilan dari laut maka mereka akan mencari strategi baru untuk hanya bertahan [survival strategy]. Bisa jadi, mereka akan mencari pekerjaan lain seperti berkebun, berdagang, atau bahkan menjadi penambang, atau pindah ke wilayah lain,” terangnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,